Site icon PinterPolitik.com

Prabowo (Masih) “Jualan” Pancasila?

Prabowo (Masih) “Jualan” Pancasila?

Istimewa

Melalui video streaming di media sosial, Prabowo Subianto kembali berpidato mengenai kondisi Indonesia yang terpuruk akibat Pancasila hanya sekedar jadi jargon semata. Tepatkah?


PinterPolitik.com

“Terbukti kalau suatu sistem, bahkan yang paling tidak manusiawi sekalipun, tidak akan dapat bertahan tanpa adanya ideologi.” ~ Joe Slovo

[dropcap]B[/dropcap]agi masyarakat Indonesia – terutama para Soekarnois – Juni termasuk bulan yang memiliki sejarah tersendiri. Salah satu tanggal yang paling penting adalah peringatan Hari Lahirnya Pancasila pada 1 Juni lalu. Di sisi lain, di bulan ini pula Sang Pendiri Bangsa – Ir. Soekarno – dilahirkan dan menghembuskan napas terakhirnya.

Menyambut Haul Bung Karno ke-48 pada 20 Juni lalu, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto ikut memperingatinya dengan melakukan pidato secara live streaming di media sosial. Pada pidato berdurasi sekitar 30 menit tersebut, ia kembali mengungkit tentang kondisi perekonomian yang hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.

Kondisi ini, menurutnya, merupakan akibat dari sistem bernegara, sistem politik, dan sistem ekonomi di jalur yang menyimpang. Mantan Danjen Kopassus ini juga menyayangkan Pancasila dan UUD 1945 yang hanya menjadi mantra dan jargon semata, tetapi hakikatnya tidak dipahami dan tidak mau dilaksanakan.

Secara garis besar, sebenarnya apa yang dikatakan oleh (mantan) menantu Soeharto ini bukanlah sesuatu yang baru. Isu ketimpangan perekonomian, sepertinya memang telah menjadi “barang jualan” bagi Prabowo untuk dapat menghantam pemerintahan saat ini. Namun tetap saja, pidatonya tersebut menuai reaksi.

Ketua DPP PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno, misalnya, menganggap apa yang dikatakan Prabowo layaknya “sirup lama dalam kemasan baru”. Sedangkan reaksi keras datang dari anggota Komisi XI DPR, Eva Kusuma Sundari yang mengatakan kalau yang terjadi saat ini tak lepas dari andil ayahnya sendiri, Prof. Soemitro Djojohadikusumo.

Pancasila sebagai ideologi terbuka, mau tak mau, akan mengalami banyak perubahan karena dapat disesuaikan dengan zaman dan Pemerintah yang berkuasa. Sehingga, keluhan Prabowo tersebut menjadi terkesan tidak jelas siapa yang ia tuding telah melakukan penyimpangan. Apa mungkin keluhannya ini hanya sekedar “jualan” saja?

Pancasila Diantara Tiga Konsensus

“Setiap tipe ideologi politik akan memiliki begitu banyak variasinya.” ~ John Mackey

Seperti juga berbagai ideologi lain, dalam perjalanannya, penerapan Pancasila memang – mau tak mau – tidak lagi murni  seperti apa yang dikatakan Prabowo sebagai cetak biru (blue print). Bahkan dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) saja, Pancasila sempat mengalami lima kali perubahan isi.

Sebagai suatu konsep yang terlahir dari gabungan ide-ide, menurut Filsuf Descartes, adanya perubahan inti pemikiran suatu negara adalah sesuatu yang lumrah. Lahirnya Pancasila sendiri, bahkan diakui Bung Karno dihadapan para anggota BPUPKI, diadaptasi dari ajaran San Min Cu I (Tiga Asas Kerakyatan) dari tokoh Tiongkok, Dr. Sun Yat Sen.

Dari tiga asas yang terdiri dari min t’sen (kebangsaan atau nasionalisme), min tsu (kerakyatan dan demokrasi), dan min sheng (kesejahteraan dan sosialisme), lahirlah lima sila yang terangkum dalam Pancasila. Sehingga tak heran bila pada sila ketiga hingga kelima, lebih banyak terpengaruh pada paham-paham sosialis.

Pandangan politik dan ekonomi Bung Karno yang lebih mengarah ke Tiongkok, juga berpengaruh pada model pembangunan politik dan ekonomi tanah air. Maka di era 60-an, Presiden Pertama tersebut membuat suatu model pembangunan ekonomi politik yang dikenal sebagai Jakarta Consensus.

Konsensus ini mensyaratkan perlunya membangun kemampuan perekonomian bangsa, dengan keberpihakan mutlak pada kepentingan rakyat. Kesepakatan ini tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 (sebelum diamandemen). Pasal ini juga memperbolehkan masuknya modal asing, namun dengan ketentuan yang sangat ketat.

Isi dari Jakarta Consensus ini, kabarnya sangat mirip dengan Beijing Consensus atau model pembangunan ekonomi yang mulai digunakan Tiongkok pada tahun 1976. Tepatnya setelah mangkatnya pemimpin legendaris Negeri Tirai Bambu, Mao Zedong, dan naiknya Deng Xiaoping sebagai penguasa baru di negara tersebut.

Baik Beijing maupun Jakarta Consensus, sama-sama mengandalkan State Capitalism atau kekuatan modal negara – baik dari sumber daya alam maupun manusianya, demi kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Namun dalam sejarahnya, model pembangunan ini terbukti gagal menyejahterakan rakyat, baik di Indonesia maupun di Tiongkok sendiri.

Ketika Orde Lama (Orla) berganti dengan Orde Baru (Orba) yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, model pembangunan Indonesia pun ikut berubah arah. Terutama karena The Smiling General tersebut lebih banyak berkiblat ke Barat atau Amerika Serikat (AS), baik dari sistem ekonomi maupun politik.

Meski memperlakukan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sesuatu yang sakral, namun dalam prakteknya, Soeharto mengubah model pembangunan Jakarta Consensus ke arah Washington Consensus, yaitu sistem perekonomian yang mengandalkan kebijakan berorientasi pasar (market-oriented policies).

Konsensus yang diintroduksi oleh John Williamson di tahun 1989 ini, memang menekankan pentingnya modal negara maju untuk masuk ke negara-negara berkembang. Kebijakan yang dipengaruhi Pemerintah AS ini, menggunakan lembaga-lembaga keuangan internasional, diantaranya Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.

Pancasila, Alat Jual Termudah?

“Perlahan, berbagai ide berkembang menjadi ideologi, melahirkan kebijakan dan menghadirkan tindakan.” ~ Nandan Nilekani

Sebagai Bapak Pembangunan Nasional, Soeharto memang sangat berhasil menyulap Indonesia menjadi negara berkembang hanya dalam jangka waktu singkat. Namun bukan berarti semua itu tanpa harga yang harus dibayar, sebab setelah mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, modal asing pun langsung membanjiri tanah air.

Menggunakan Washington Consensus melalui belitan utang dari IMF dan Bank Dunia, Soeharto juga menggunakan sistem perekonomian trickle down effect yang memberikan kemudahan dan keuntungan bagi para pengusaha untuk berbisnis di dalam negeri. Dua sistem yang akhirnya terbukti gagal, tak hanya di Indonesia tapi juga Amerika Utara.

Kegagalan sistem perekonomian di era Orba inilah yang harus dirasakan dampaknya saat ini, tak hanya di era Pemerintahan Jokowi, tapi juga presiden-presiden sebelumnya setelah Orba tumbang. Kegagalan sistem perekonomian Orba ini sendiri, sempat diakui Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat terpilih sebagai presiden kedua kalinya.

Tak heran presiden keenam tersebut menghentikan kerjasama dengan IMF dan memberlakukan kebijakan perekonomian inklusif, yaitu dengan memprioritaskan pemerataan kesejahteraan rakyat (mendekati Beijing Consensus). Konsep pembangunan yang nyaris sama juga dilakukan oleh Jokowi, namun lebih terfokus pada infrastruktur.

Sehingga, bila dikembalikan pada keluhan Prabowo yang mengatakan kalau negara ini tengah lemah, karena kekayaan negara dimiliki oleh segelintir orang dan pihak asing, siapa sebenarnya yang tengah ia tuding? Sebagai oposisi, bisa jadi ia berusaha menjatuhkan kebijakan ekonomi Jokowi, tapi apakah tepat?

Bila mengacu pada Teori Ideologi yang dikatakan oleh John B. Thomas, ideologi memang kerap digunakan sebagai simbol untuk meraih kekuasaan atau melestarikan dominasi. Meski begitu, apa yang dilakukan Prabowo mungkin sama dengan yang dikatakan Karl Marx, yaitu ideologi kerap dimanfaatkan untuk menyerang lawan melalui distorsi fakta.

Distorsi penerapan Pancasila ini, seperti kata Eva di atas – Soemitro ikut bertanggung jawab dalam pembuatan UU modal asing, akibat sejak lama direpresentasikan secara keliru oleh Soeharto. Sehingga bila tudingan tersebut hanya diarahkan ke Jokowi, maka pernyataan PDI Perjuangan kalau Prabowo salah alamat, memang masuk akal.

Terlebih, Gerindra begitu rajin menyerang Jokowi sebagai antek Tiongkok, padahal Pancasila versi Soekarno sendiri berasal dari adaptasi falsafah Negara Panda tersebut. Jadi, sebenarnya Pancasila versi konsensus mana yang menurut Prabowo telah diterapkan secara menyimpang, versi konsensus Beijing atau Washington? (R24)

Exit mobile version