Dengarkan artikel ini:
Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik. Padahal, komunikasi yang baik adalah kunci sukses kepemimpinan politik.
Sejak awal masa pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto dan beberapa anggota kabinetnya kerap menjadi sorotan publik akibat pernyataan-pernyataan yang menuai kontroversi. Isu-isu komunikasi ini menimbulkan pertanyaan mengenai sensitivitas dan efektivitas komunikasi publik pemerintah dalam merespons berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Salah satu contoh yang paling banyak dibicarakan adalah ketika harga cabai mengalami kenaikan signifikan yang memberatkan masyarakat. Dalam menanggapi hal ini, Presiden Prabowo memberikan saran agar masyarakat mengurangi konsumsi makanan pedas. Ia berkelakar bahwa dirinya pun telah mengurangi makanan pedas atas saran dokter.
Pernyataan ini dengan cepat menuai kritik, terutama dari masyarakat yang merasa bahwa solusi yang ditawarkan tidak menjawab persoalan utama, yakni kenaikan harga bahan pokok. Banyak yang menilai bahwa komunikasi semacam ini tidak menunjukkan empati terhadap kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak.
Selain itu, dalam menanggapi kritik mengenai susunan kabinet yang dianggap terlalu gemuk, Presiden Prabowo juga pernah mengeluarkan respons yang menimbulkan kehebohan. Ketika ditanya mengenai kritik tersebut, ia hanya menjawab dengan kata โndasmu,โ sebuah ungkapan dalam bahasa Jawa yang berarti โkepalamu.โ
Meskipun ungkapan ini bisa dimaknai sebagai candaan atau ekspresi spontan, dalam konteks komunikasi politik, hal ini menimbulkan kesan bahwa Prabowo tidak terlalu peduli dengan kritik publik terkait efektivitas pemerintahan yang ia pimpin.
Namun, bukan hanya Presiden yang menuai kritik atas pernyataannya. Beberapa pejabat tinggi di pemerintahan Prabowo juga membuat pernyataan yang memicu polemik. Salah satunya adalah Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, yang menyebut bahwa salah satu alasan Timnas Indonesia sulit meraih kemenangan adalah karena masalah gizi pemain yang kurang baik sejak kecil.
Pernyataan ini sontak menuai respons negatif dari berbagai pihak, termasuk dari Komisi X DPR yang menilai bahwa Kepala BGN seharusnya fokus pada tugas utamanya dalam menyukseskan program Makan Bergizi Gratis (MBG) daripada mengomentari hal di luar kewenangannya.
Di sisi lain, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, juga mendapat kritik tajam setelah merespons teror pengiriman kepala babi ke kantor Tempo dengan menyarankan agar kepala babi tersebut dimasak saja.
Pernyataan ini dianggap menyepelekan ancaman serius terhadap kebebasan pers dan kurang menunjukkan empati terhadap situasi yang dihadapi media. Sikap semacam ini berpotensi menciptakan kesan bahwa pemerintahan Prabowo tidak serius dalam melindungi kebebasan pers, yang seharusnya menjadi pilar penting dalam demokrasi.
Wakil Menteri Agama, Muhammad Syafiโi, juga menimbulkan kontroversi dengan menyatakan bahwa permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) oleh organisasi masyarakat (ormas) kepada pengusaha adalah bagian dari budaya Indonesia. Pernyataan ini dikritik karena dianggap melegitimasi praktik yang berpotensi memberatkan dunia usaha dan tidak sesuai dengan prinsip transparansi serta akuntabilitas. Apalagi ormas kerap identik dengan aksi premanisme.
Tentu hal-hal ini perlu diperbaiki oleh pemerintahan Prabowo. Pertanyaannya adalah harus mulai dari mana dan apa sebetulnya intisari dari gagasan soal pentingnya komunikasi yang efektif dan efisien ke publik?
Lost in Translation?
Pernyataan-pernyataan kontroversial dari Presiden dan para pejabat pemerintah mencerminkan kurangnya koordinasi dan sensitivitas dalam komunikasi publik. Dalam dunia politik, komunikasi bukan hanya sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk persepsi dan memengaruhi opini publik. Ketidaktepatan dalam menyampaikan pesan dapat merusak citra pemerintah dan menurunkan kepercayaan masyarakat.
Dalam konteks ini, teori komunikasi politik dapat membantu menjelaskan bagaimana dampak dari komunikasi yang kurang efektif dapat berpengaruh pada legitimasi kekuasaan. Salah satu teori yang relevan adalah teori Spiral of Silence yang dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Neumann.
Teori ini menjelaskan bagaimana opini publik terbentuk berdasarkan dominasi komunikasi di ruang publik. Jika komunikasi politik seorang pemimpin tidak jelas atau membingungkan, ada kemungkinan bahwa pendukungnya merasa enggan membela atau menyebarluaskan pesannya. Dalam jangka panjang, hal ini bisa melemahkan dukungan politik dan menciptakan kondisi di mana kritik semakin mendominasi, sementara pembelaan terhadap pemerintah justru semakin berkurang.
Kemudian, sosiolog Erving Goffman juga memperkenalkan istilah framing yang dapat digunakan untuk memahami bagaimana cara suatu pesan dikemas dan disampaikan memengaruhi cara publik menerimanya. Dalam politik, framing sangat penting karena dapat membentuk persepsi masyarakat terhadap kebijakan dan tindakan pemerintah.
Jika seorang pemimpin tidak memiliki strategi framing yang kuat dalam komunikasinya, pesan yang ia sampaikan bisa menjadi kontraproduktif. Misalnya, pernyataan Prabowo tentang harga cabai bisa saja dikemas dengan cara yang lebih membangun, seperti dengan menyoroti langkah-langkah konkret yang diambil pemerintah untuk menstabilkan harga bahan pokok. Alih-alih menampilkan kesan tidak peduli, framing yang lebih baik dapat menciptakan narasi bahwa pemerintah sedang berusaha keras untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Dalam perspektif lain, teori performatif bahasa yang dikembangkan oleh John Austin dan kemudian diperluas oleh Judith Butler juga relevan untuk memahami dinamika komunikasi dalam pemerintahan Prabowo. John Austin memperkenalkan konsep speech acts atau tindak tutur, yang menjelaskan bahwa ucapan tidak hanya menyampaikan informasi tetapi juga memiliki kekuatan untuk menciptakan realitas sosial dan politik.
Judith Butler kemudian memperluas teori ini dalam konteks kekuasaan, menunjukkan bahwa bahasa dapat menjadi alat utama dalam membangun atau merusak legitimasi politik. Jika seorang pemimpin gagal dalam komunikasi, ia bisa kehilangan kendali atas realitas politik yang ingin dibangun.
Dalam kasus pemerintahan Prabowo, beberapa pernyataan kontroversial yang muncul justru berkontribusi dalam membentuk citra bahwa pemerintahannya tidak memiliki komunikasi yang solid, yang pada akhirnya dapat menggerus legitimasi di mata publik.
Apa Solusi Prabowo?
Untuk mengatasi permasalahan komunikasi yang telah terjadi, Presiden Prabowo dan jajaran pemerintahannya perlu mengambil langkah-langkah strategis yang lebih terarah. Salah satu langkah pertama yang dapat dilakukan adalah meningkatkan koordinasi dan konsistensi dalam komunikasi publik.
Setiap pejabat yang berbicara di hadapan publik harus memiliki pemahaman yang jelas mengenai pesan inti pemerintah serta cara menyampaikannya dengan tepat. Keselarasan dalam komunikasi ini penting agar tidak ada pernyataan yang bertentangan atau menciptakan kebingungan di kalangan masyarakat.
Selain itu, penting juga untuk memberikan pelatihan komunikasi bagi para pejabat pemerintah. Pelatihan ini dapat membantu mereka memahami cara menyampaikan pesan dengan lebih efektif, menghindari penggunaan bahasa yang berpotensi menyinggung, serta mengelola situasi krisis komunikasi dengan lebih bijak. Dengan adanya pelatihan ini, diharapkan para pejabat dapat lebih memahami dampak dari setiap pernyataan yang mereka buat dan lebih berhati-hati dalam berbicara di depan publik.
Pemerintah juga perlu lebih aktif dalam mendengarkan aspirasi dan kritik dari masyarakat. Dengan membuka saluran komunikasi dua arah, pemerintah dapat memahami kebutuhan dan kekhawatiran publik, sehingga dapat meresponsnya dengan lebih tepat dan empatik.
Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan meningkatkan keterlibatan dalam dialog publik, baik melalui media sosial, pertemuan langsung dengan berbagai kelompok masyarakat, maupun melalui forum-forum diskusi yang lebih terbuka.
Terakhir, membangun tim komunikasi yang solid dan profesional akan sangat membantu dalam merancang strategi komunikasi yang lebih efektif. Tim ini bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap pesan yang disampaikan oleh pemerintah sejalan dengan visi dan misi yang ingin dicapai, serta dikemas dengan cara yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Dengan adanya strategi komunikasi yang lebih matang, diharapkan pemerintahan Prabowo dapat memperbaiki citra komunikasi politiknya dan membangun hubungan yang lebih baik dengan publik.
Pada akhirnya, isu komunikasi politik ini perlu mendapatkan perhatian lebih dari Presiden Prabowo. Harapannya, riak-riak di publik bisa diredam dan penyampain pesan yang kerap sensitif sifatnya lebih bisa dipahami. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)