Di sebuah media massa, Deddy Mizwar mengatakan kalau Prabowo Subianto tengah mengalami kesulitan finansial untuk membiayai pencalonannya di Pilpres 2019. Benarkah?
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]artai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) saat ini tengah menjadi sorotan terkait pernyataan La Nyalla Mattaliti yang menuduh Prabowo Subianto meminta sejumlah uang, guna pencalonan dirinya sebagai Gubernur Jawa Timur (Jatim). Ketua Umum Gerindra ini dituding telah meminta mahar politik sebesar Rp 40 miliar untuk membiayai sejumlah saksi dan lainnya, terkait pencalonannya di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim.
Polemik tersebut berlanjut dengan terlontarnya pernyataan dari calon gubernur (cagub) Jawa Barat yang sebelumnya sempat akan diusung Gerindra, yaitu Deddy Mizwar (Demiz). Menurut Wakil Gubernur Jabar ini, Prabowo memang tengah mengalami permasalahan keuangan.
Kalo menghina prabowo susah tuh pak demiz teriak pak wowo lagi bokek.. artinya lagi susah..
Pak wowo horang kaya kok dibilang susah( bokek) ???— source_delight #FNI#KDN# ?? (@indra_zaids) January 14, 2018
Menurut Demiz, keluhan tersebut pernah disampaikan Prabowo beberapa kali kepada dirinya. Ia menyatakan kalau Prabowo tidak memiliki cukup uang untuk menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mendatang, namun Prabowo tidak berani meminta.
Dari pernyataan-pernyataan di atas, mungkinkah ada keterkaitan antara tudingan La Nyalla dengan pengakuan Demiz yang ditujukan kepada Prabowo? Yang jelas, hal ini membuat isu mahar politik menjadi ramai dibicarakan dalam beberapa hari terakhir.
Beberapa pihak menduga, tuduhan La Nyalla terkait permintaan uang yang dinyatakan sebagai mahar politik tersebut, mungkin berkaitan dengan masalah keuangan yang tengah dialami oleh Prabowo. Uang tersebut mungkin saja akan digunakan untuk kampanye Pilpres dan bisa saja praktik ini juga dilakukan oleh partai lain.
Namun publik juga tentu bertanya-tanya, apa benar Prabowo yang juga dikenal sebagai pengusaha sukses sedang ‘bokek’? Lalu, dari mana saja sebenarnya sumber pendanaan politik Prabowo selama ini?
Ke Mana Uangnya?
Beberapa pihak menyatakan, masalah keuangan Prabowo tidak lepas dari Pilpres 2014 yang menghabiskan cukup banyak biaya. Prabowo dan pendukungnya dinilai sudah jor-joran dalam memenangkan dirinya sebagai Presiden. Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan mengatakan kalau pasangan Prabowo-Hatta Rajasa mengeluarkan dana lebih dari Rp 166 miliar pada kontestasi tersebut. Apakah hanya itu jumlahnya?
Faktanya, jumlah ini diperkirakan jauh lebih besar jika melihat modal politik seorang calon presiden secara keseluruhan. Analisis ekonomi dari Forbes pernah mengungkapkan kalau seorang kandidat Presiden Indonesia harus menyiapkan dana setidaknya US$ 600 juta atau sekitar Rp 7 triliun untuk pencalonan dirinya.
Dana ini dipakai untuk ‘membayar’ partai, saksi, tim sukses, dan tim profesional seperti konsultan, lembaga survei, serta lainnya. Selain itu, pos-pos pengeluaran lain seperti kampanye door to door, media ruang publik seperti baliho, iklan di media massa, spanduk, dan lain sebagainya, juga menyedot anggaran yang tidak sedikit. Artinya, pengeluaran Prabowo sangat mungkin lebih besar dari laporan yang disebutkan ICW di atas.
Di sisi lain, pada Pilpres 2014, Prabowo dikenal sebagai calon Presiden terkaya dengan total kekayaan mencapai Rp 1.670.392.580.402 dan US$ 7.503.134. Kekayaan Prabowo memang meningkat drastis sejak tahun 2003, di mana sebelumnya hanya berjumlah Rp 10,1 miliar dan US$ 416.135.
Peningkatan nilai aset tersebut merujuk pada laporan harta kekayaan Prabowo sebagai calon Presiden yang disampaikannya kepada KPK, pada 20 Mei 2014. Setelah diverifikasi KPK, nilai aset Prabowo per Mei 2014 mencapai Rp 1.670.392.580.402 dan US$ 7.503.134.
Sejak diberhentikan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), Prabowo memang beralih profesi menjadi pengusaha. Namun dalam laporan harta kekayaannya di tahun 2003, Prabowo tidak mencantumkan jenis bisnis yang dilakoninya. Sedang dalam laporan 2014, Prabowo tercatat memiliki tiga peternakan dan surat berharga atas kepemilikan saham pada 26 perusahaan.
Kekayaan sebanyak itu, bila dibayangkan memang tidak akan habis untuk tujuh turunan. Namun, jika benar selentingan bahwa Prabowo sedang kesulitan keuangan, berarti kekayaannya ternyata bisa dihabiskan hanya untuk pencalonan dirinya sebagai Presiden.
Di sisi lain, pernyataan ICW kalau Prabowo mengeluarkan dana lebih dari Rp 166 miliar pada Pilpres 2014, tentu saja jauh lebih sedikit dari jumlah yang sebenarnya. Kalau hanya Rp 166 miliar, tentu saja kekayaan Prabowo masih lebih dari cukup untuk membiayai pencalonannya kembali di 2019. Apalagi pada Pilpres lalu, ia juga mendapat sumbangan dari calon legislatif Gerindra sebesar Rp 300 juta per orang.
Jika dielaborasi antara kekayaan yang dimiliki Prabowo dengan jumlah perkiraan nominal pengeluaran capres seperti yang disebut Forbes, yaitu mencapai Rp 7 triliun, maka bisa jadi benar kalau saat ini Prabowo tengah kehabisan uang.
Apalagi, Prabowo juga kerap mendukung calon-calon Gerindra pada saat Pilkada dengan mengeluarkan uangnya sendiri. Misalnya, pada saat Pilkada DKI Jakarta 2012, Prabowo terang-terangan mendukung pasangan Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama. Hal ini terlihat dari iklan di beberapa stasiun televisi yang kita tahu biayanya tidaklah murah.
Pernyataan Demiz mungkin saja benar adanya, kalau Prabowo sudah menghabiskan uang begitu banyak demi biaya politik semenjak 2014. Pantas saja di tahun 2018 ini Prabowo sudah mulai kebingungan, terkait kebutuhan dana untuk Pilpres 2019. Pesta politik yang kian mendekat, tentu membuat Prabowo harus semakin giat mencari sokongan dana dari berbagai pihak, untuk menutupi masalah keuangannya.
Bagaimana Dengan Hashim?
Masalah keuangan yang dialami Prabowo saat ini, mungkin saja juga dipengaruhi oleh Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo yang ikut membangun Gerindra. Hashim juga dikenal sebagai pengusaha sukses dan menempati posisi 35 dalam daftar orang terkaya di Indonesia, versi majalah Forbes tahun 2017. Jumlah kekayaannya mencapai US$ 850 juta.
Hashim menempati posisi direktur utama di beberapa perusahaan, seperti Arsari Group, PT Kiani Kertas, PT Tirtamas Comexindo, serta lainnya. Gurita bisnisnya mulai dari tambang, semen, kertas, perkebunan, dan banyak lagi. Perusahaannya juga tersebar hampir di seluruh dunia, seperti Myanmar, Vietnam, kawasan Timur Tengah, Eropa Timur, bahkan Rusia.
Dukungan Hashim juga sangat besar peranannya bagi pertarungan Prabowo di Pilpres 2014. Hashim mengaku, dukungannya itu diwujudkan dalam bentuk uang. Meski begitu, Hashim merahasiakan nilai nominal yang ia keluarkan dengan alasan “persoalan jumlah itu urusan keluarga”.
Keikutsertaan Hashim dalam mendukung Prabowo, menjadi masuk akal jika dikaitkan besarnya dana yang diperlukan ketika itu. Biaya triliunan tentu akan tertutup lewat bantuan Hashim dan rekan-rekan bisnisnya, yang mungkin saja ikut terafiliasi dengan Gerindra. Peran Hashim ini tentu karena adanya ikatan darah yang kuat antara putera-putera Sumitro Djojohadikusumo.
Namun kontestasi Pilpres 2014 lalu, ternyata juga berdampak pada menurunnya harta kekayaan yang dimiliki Hashim. Fakta ini terindikasi melalui jumlah kekayaan Hashim yang menurun, yaitu dari US$ 790 juta ke US$ 750 juta, antara tahun 2011-2013. Sehingga kekalahan Prabowo lalu, tentu juga menimbulkan kekecewaan pada diri Hashim. Apalagi upaya mereka ini, hanya dikalahkan oleh pendatang baru, yaitu Jokowi.
Di sisi lain, sebagai pemilik dan petinggi di beberapa perusahan minyak dunia, Hashim tentu ikut terimbas dalam krisis yang diakibatkan oleh penurunan harga emas hitam. Akibat kondisi keuangannya yang menurun inilah, mungkin saja ikut memaksa Hashim mengurangi pendanaannya bagi Prabowo.
Kabar yang beredar juga menghembuskan, kalau ada perbedaan pandangan antara Prabowo dengan Hashim belakangan ini. Beberapa pihak menduga, kedekatan Gerindra dengan PKS yang berhaluan Islam garis keras, dianggap tidak sesuai dengan pemikiran Hashim. Mengapa? Karena Hashim merupakan penganut Kristen Protestan yang cukup taat, berbeda dengan Prabowo yang beragama Islam.
Namun, benarkah rumor tersebut? Atau mungkin, ada alasan lain yang membuat Hashim tidak lagi membiayai Prabowo dan Gerindra belakangan ini?
Menantang di Pilpres 2019
Pilpres sudah ada di depan mata, tahun politik pun sudah dimulai. Prabowo perlu mencari cara lain untuk mendapat bantuan dana yang mungkin bisa berasal dari berbagai kalangan. Jangan sampai pernyataan Demiz mengenai dirinya tersebut, membuat peluang Prabowo semakin kecil untuk maju pada kontestasi di 2019.
Di sisi lain, apa yang terjadi antara Prabowo dan La Nyalla menunjukkan mahalnya ongkos politik di Indonesia. Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di Pilpres saja, melainkan juga di Pilkada. Akibatnya, calon yang memiliki kualitas jadi terhambat akibat tidak memiliki modal cukup untuk bisa maju di Pilkada.
Permasalahan biaya politik ini, bisa saja juga akan menjadi penghalang tersendiri bagi Prabowo dalam menyalurkan hasratnya menjadi presiden. Apalagi secara tersirat, ia masih punya ambisi untuk kembali maju di Pilpres 2019 dan berhadapan dengan Jokowi untuk kedua kalinya.
Tapi bagaimana caranya, kalau untuk berkampanye di Pilpres nanti saja, ia tidak memiliki dana yang cukup besar? Apalagi, elektabilitas Prabowo juga sudah jauh tertinggal dibandingkan Jokowi.
Menarik untuk ditunggu bagaimana kelanjutan persoalan yang terjadi antara La Nyalla dengan Prabowo ini. (LD14)