Site icon PinterPolitik.com

Prabowo, Indonesia Miskin Selamanya?

Pidato Prabowo menyebut Indonesia terancam menjadi negara miskin selamanya. (Foto: Istimewa)

“Ini kondisi bangsa kita 2018. Pertumbuhan kita tidak naik. Kita terancam menjadi negara miskin selamanya,” Prabowo Subianto


PinterPolitik.com

[dropcap]S[/dropcap]iapa yang ingin kaya? Pertanyaan tersebut kerap terlontar di seminar-seminar yang dihelat oleh motivator atau Multi Level Marketing (MLM). Jawabannya tentu saja mau, tidak ada orang yang mau selamanya hidup dalam kemiskinan.

Tapi tampaknya tidak semuanya sepakat dengan jawaban peserta-peserta seminar penuh mimpi tersebut. Indonesia, disebut-sebut tidak akan lepas dari belenggu sebagai negara miskin. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum Partai Gerindra, sekaligus capres 2019. Dalam pidatonya saat meluncurkan buku Paradoks Indonesia, ia menyebut bahwa tanah air terancam menjadi negara miskin selamanya.

Prabowo menyebutkan beberapa indikator mengapa Indonesia terancam menjadi negara miskin. Salah satunya terkait pertumbuhan ekonomi yang tidak kunjung naik, sehingga mantan Danjen Kopassus ini berani mengatakan bahwa Indonesia bukan negara kaya. Ia juga mempersoalkan ketimpangan dan utang pemerintah yang terus-menerus membengkak.

Bagi sebagian orang, Prabowo seperti tidak memberikan harapan dengan pernyataan tersebut. Akan tetapi, mungkinkah justru Prabowo yang benar dan Indonesia akan menjadi negara miskin selamanya?

Indonesia Negara Miskin?

Indikator negara miskin ada banyak ragamnya. Lembaga internasional seperti PBB dan Bank Dunia memiliki kriteria khusus untuk menyebut sebuah negara itu tergolong negara miskin atau tidak. Umumnya, indikator tersebut berasal dari faktor-faktor sosial ekonomi dan beberapa faktor lain seperti Indeks Pembangunan Manusia.

Ada beberapa istilah untuk melabeli negara yang kemampuan sosial ekonominya tidak sebaik negara-negara maju. Istilah yang digunakan oleh Bank Dunia dan IMF adalah heavily indebted poor countries (negara miskin berutang banyak). Sementara itu, ada pula istilah Least Developed Countries (negara terbelakang) yang digunakan oleh PBB dan dapat dikatakan sepadan untuk menyebut negara dengan kemampuan sosial ekonomi yang rendah.

Jika merujuk pada kategorisasi tersebut, Indonesia tidak tergolong negara miskin berutang banyak ataupun negara terbelakang. Indonesia memang berutang, tetapi tidak mencapai titik di mana terjadi debt overhang atau utang sudah tak tertolong, sehingga tak bisa lagi diutangi seperti negara miskin berutang banyak. Dalam kategorisasi negara berkembang, Indonesia juga tidak tergolong negara terbelakang karena tergolong sebagai negara yang terindustrialisasi baru.

Jika merujuk pada data yang ditunjukkan oleh pemerintah, tidak semua yang dikatakan oleh Prabowo benar. Dari segi pertumbuhan ekonomi, ekonomi Indonesia memang tidak mengalami pertumbuhan pesat, akan tetapi dari tahun 2015 hingga tahun 2017 nyatanya tetap mengalami kenaikan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata tumbuh sekitar 5 persen. Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi berada di angka 4,8 persen. Di tahun 2016, angka ini mengalami kenaikan hingga mencapai 5 persen. Kenaikan kembali terjadi di tahun 2017 di mana pertumbuhan ekonomi menyentuh angka 5,1 persen.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2018 diproyeksikan akan mencapai sekitar 5,2 persen. Sejauh ini memang, hingga kuartal II tahun 2018 pertumbuhan ekonomi sudah mencapai 5,27 persen.

Angka tersebut memang tidak semewah pencapaian 6,5 persen di era pemerintahan terdahulu. Akan tetapi, secara statistik, terlihat bahwa ada kenaikan pertumbuhan ekonomi di setiap tahunnya. Dalam konteks ini, perkataan Prabowo bahwa ekonomi Indonesia tidak tumbuh memang tidak sepenuhnya tepat.

Meski demikian, ada pula pernyataan Prabowo yang mendekati kebenaran dan bisa mengkhawatirkan banyak orang. Prabowo menyebut bahwa utang pemerintah naik hingga mencapai Rp 1 triliun per hari.

Jika merujuk data dari beberapa sumber, utang pemerintah memang naik Rp 1,3 triliun per hari sepanjang tahun 2017 hingga 2018. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan utang pemerintah yang mencapai Rp 3.515 triliun di tahun 2016, melesat hingga Rp Rp 3.928 triliun di tahun berikutnya.

Angka tersebut tentu akan membuat masyarakat terutama kaum awam bergidik ngeri. Prabowo dalam hal ini telah memperingatkan pemerintah agar kengerian masyarakat itu tidak berbuah petaka. Meski pemerintah kerap mengklaim semuanya baik-baik saja, bukan berarti hal yang buruk mustahil muncul.

Narasi Ketakutan

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, sulit untuk mengatakan bahwa Indonesia benar-benar dianggap sebagai negara miskin yang tidak berdaya. Pernyataan tentang Indonesia selamanya akan berada di jurang kemiskinan juga boleh jadi sesuatu yang belum terbukti keabsahannya.

Dalam kadar tertentu, pernyataan Prabowo tentang Indonesia miskin selamanya ini dapat dianggap wajar karena ia tengah maju sebagai capres untuk Pilpres 2019. Segala cara tentu akan ia lakukan untuk mengurangi suara Jokowi yang jadi lawannya.

Dalam konteks itu, strategi yang digunakan oleh Prabowo dapat tergolong ke dalam fearmongering atau penggunaan narasi ketakutan. Ketakutan memang dapat menjadi salah satu alat ampuh untuk mendapatkan keuntungan. Pandangan seperti ini dikemukakan misalnya oleh Barry Glassner.

Menurut Glassner, para politisi menyebar ketakutan untuk memenangkan pemilihan, mendapatkan dukungan kampanye, atau  mendorong program-program yang meningkatkan kekuasaan pemerintah. Di titik ini, sebagai capres, terlihat bahwa motif Prabowo menyebar ancaman bahwa Indonesia miskin selamanya adalah untuk pemenangan Pemilu.

Strategi semacam ini bukan yang pertama kali ia lakukan. Berulang kali mantan Danjen Kopassus ini melakukan praktik fearmongering semacam itu. Ia misalnya terkenal dengan pidato “bocor” yang membahas kebocoran keuangan negara. Selain itu, ia juga pernah menyebar ketakutan tentang Indonesia bubar di tahun 2030.

Narasi ketakutan ini seperti melengkapi senjata Prabowo untuk menggerus elektabilitas lawannya, Jokowi. Banyak yang menganggap bahwa salah satu kunci kemenangan Prabowo terletak pada isu ekonomi. Oleh karena itu, bisa saja narasi Indonesia miskin selamanya lebih banyak motif elektoralnya ketimbang hitung-hitungan makro ekonominya.

Miskin Selamanya, Mungkinkah?

Secara ekonomi atau secara kemampuan sumber daya sulit untuk mengatakan Indonesia sebagai sebuah negara miskin, apalagi miskin selamanya. Akan tetapi, ada pandangan yang mengatakan bahwa negara miskin dan negara kaya bukan hanya perkara ekonomi saja.

Hal ini diungkapkan oleh Herbert H. Werlin. Menurutnya, perbedaan antara negara kaya dan negara miskin memiliki hubungan dengan tata pemerintahan (governance), alih-alih dengan sumber daya ekonomi. Ia menyebutkan pentingnya administrasi publik dalam menjelaskan kegagalan dan kesuksesan ekonomi sebuah negara.

Apa mungkin Indonesia jadi negara miskin selamanya? Share on X

Weiler menggunakan teori elastisitas politik untuk menggambarkan bagaimana sebuah negara dapat terjerembab ke dalam kemiskinan. Ia menjelaskan bahwa ada faktor-faktor seperti desentralisasi, korupsi, demokrasi, budaya, dan demokrasi yang menentukan negara bisa berada di dalam kemiskinan atau tidak.

Dalam konteks ini, kemampuan pemimpin untuk mengendalikan unsur-unsur tersebut menjadi sangat penting. Weiler menyebut bahwa status negara miskin bukanlah karena ketidakcukupan sumber daya, tetapi karena ketidakcukupan pemerintahan.

Berdasarkan kondisi tersebut, ramalan Prabowo bahwa Indonesia akan menjadi negara miskin selamanya bukan tidak mungkin terwujud. Ketidakmampuan pemerintah menjalankan tata kelola pemerintahan dapat menjadi biang keladi terperosoknya negeri ini ke jurang kemiskinan yang tidak berujung.

Lalu bagaimana dengan pemerintahan Jokowi saat ini? Lagi-lagi sebenarnya sulit untuk dapat memberi cap bahwa pemerintahan saat ini dianggap benar-benar tidak kapabel. Namun, bukan berarti Indonesia bisa bernapas lega.

Kegagalan untuk menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik dapat berujung petaka. Nigeria menjadi contoh yang digunakan oleh Weiler. Negeri ini sebenarnya adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Akan tetapi, negara di barat Afrika ini tidak terlalu baik perkembangannya secara sosial ekonomi.

Di negara tersebut, korupsi seperti tak terbendung. Posisi-posisi penting digunakan untuk memperkaya kelompok privat. Banyak posisi-posisi penting diberikan kepada orang-orang yang tidak kompeten. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang sempat mencapai 8,1 persen di tahun 1960 hingga 1980, hilang begitu saja di tahun 1985. Negara tersebut menjadi negara yang terjerat utang luar negeri yang besar.

Kondisi tersebut tentu mengkhawatirkan bagi Indonesia. Secara kuantitatif, korupsi di negeri ini belum juga surut. Memang, sampai saat ini belum ada bukti pemerintahan Jokowi seluruhnya korup. Akan tetapi, kecenderungan oknum tertentu yang ingin bermain di dalam pemerintahannya selalu ada. Partai-partai cenderung mencari celah untuk mendapat untung dan menaruh orang yang tidak terlampau kompeten.

Dalam konteks ini, Jokowi idealnya bisa menjauhkan diri dari belenggu kepentingan partai yang kerap bersikap seperti kartel. Sebagai seorang pemimpin, ia memiliki kendali penuh untuk menjalankan pemerintahannya agar mencapai good governance. Dengan begitu, Indonesia bisa terhindar dari kondisi miskin selamanya. (H33)

Exit mobile version