KSPI memberikan dukungan kepada Prabowo Subianto sebagai capres. Ada anggapan bahwa dukungan tersebut bersifat transaksional.
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]erayaan Hari Buruh Internasional (May Day) membuat Istora Senayan bergemuruh. Peringatan tahunan tersebut dihadiri oleh ribuan massa dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Layaknya May Day tahun-tahun sebelumnya, acara tersebut tetap mengusung agenda soal pemenuhan hak-hak kaum buruh.
Meski ramai, gemuruh paling besar tidak muncul saat para petinggi-petinggi serikat buruh berorasi membahas hak-hak para pekerja. Sorak-sorai massa begitu membahana ketika tokoh non-buruh memasuki arena Istora Senayan. Lagu “Halo-halo Bandung” seketika berkumandang menyambut tokoh tersebut: Prabowo Subianto.
Kala itu, KSPI memberikan dukungan politiknya secara resmi kepada Ketua Umum Partai Gerindra tersebut. Deklarasi mendukung Prabowo oleh KSPI tersebut juga disertai dengan penandatanganan kontrak politik yang berisi sepuluh tuntutan.
Memang menyatakan dukungan politik bukanlah hal tabu dan hak bagi individu atau kelompok manapun. Meski begitu, sebagai kelompok yang dianggap mewakili progresivitas, KSPI justru mendukung Prabowo yang kerap diidentikkan dengan politik nasionalis berhaluan kanan. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Pertemuan Serikat Buruh dan Populisme
Di atas kertas, dukungan kelompok buruh terhadap Prabowo sebagai capres idealnya tidak bisa terjadi. Buruh merupakan kelompok yang kerap dianggap mewakili spektrum politik yang lebih progresif bahkan kerap diidentikkan dengan ideologi kiri.
Kondisi ini membuat serikat buruh lebih sering diidentikkan dengan partai-partai politik berideologi kiri. Di Indonesia misalnya, serikat buruh seringkali dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tidak jarang, corak politik progresif serikat buruh ini diwujudkan melalui partai tersendiri seperti partai buruh di berbagai negara di dunia.
Bertentangan dengan kondisi tersebut, Gerindra dan Prabowo kerapkali dikategorikan sebagai entitas politik yang berhaluan nasionalis sayap kanan. Para ilmuwan politik seperti David Bourchier dari University of Western Australia misalnya, menyebut Gerindra sebagai partai sayap kanan.
Nuansa politik kanan ala konservatif tambah kuat melihat relasi Gerindra, Prabowo dan juga kelompok Islam konservatif. Belakangan, Gerindra memang seringkali menempel dengan gerakan Islam konservatif seperti pada aksi 212 dan juga kemesraan mereka dengan PKS.
Meski terlihat saling bertolak belakang, fenomena tersebut sebenarnya tidak unik terjadi dalam kasus Prabowo dan KSPI. Dalam sebuah penelitan yang dilakukan oleh Kim Gabbitas dari University of Utah, memang ada fenomena pertemuan antara serikat buruh dan kelompok politik sayap kanan terutama di Eropa.
Kunci dari pertemuan dua kutub yang saling berlawanan tersebut adalah populisme. Di negara-negara Eropa seperti Perancis, Italia, dan Inggris, partai-partai berideologi kanan jauh kerapkali menggunakan populisme untuk menarik perhatian banyak pemilih, termasuk serikat buruh. Perlu diperhatikan bahwa menurut Cas Mudde, populisme dapat menarik kelompok manapun, sehingga kelompok progresif seperti serikat buruh memiliki kemungkinan untuk tertarik ideologi tersebut.
Kelompok kanan ini akan membangun nuansa bahwa ada kesulitan ekonomi dan pekerjaan yang mengancam kaum buruh. Kelompok populis tersebut akan memulai kampanye kebijakan proteksionis seperti pelarangan tenaga kerja asing (TKA) atau kebijakan lainnya. Hal ini tentu menarik bagi serikat buruh sehingga terjadi pertemuan antara serikat buruh dan juga populisme.
Hal ini sepertinya nampak pada perjanjian antara Prabowo dan KSPI. Prabowo dari kalangan nasionalis muncul sebagai politikus populis yang menawarkan proteksionisme kepada serikat buruh. Dalam janji-janjinya kepada KSPI, aroma proteksionisme seperti pencabutan Perpres TKA mulai tercium.
Politik Transaksional
Menurut Olle Tornquist dari University of Oslo, serikat buruh di Indonesia tidak mengusahakan untuk membentuk blok politik otonom. Banyak dari konfederasi serikat pekerja tersebut justru menjalankan politik transaksional yang populis. Menurutnya, langkah ini serupa dengan kelompok-kelompok yang mendukung gerakan politik sayap kanan di Eropa dan Amerika. Akibatnya, tujuan utama pembentukan serikat buruh untuk menyejahterakan anggotanya menjadi tidak tercapai.
Hal inilah yang menurut Tornquist membuat serikat dan gerakan buruh secara umum tidak dapat berkembang. Alih-alih mengejar kebutuhan dasar kaum buruh melalui blok politik yang otonom, mereka justru terjebak dalam politik transaksional bersama kelompok-kelompok populis.
Kondisi tersebut dibuktikan dengan mesranya beberapa kelompok serikat buruh di Indonesia dengan partai atau tokoh politik. Pimpinan serikat buruh seperti Said Iqbal dari KSPI dan Andi Gani Nena Wea dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) memang dikenal memiliki afiliasi politik tertentu.
Serikat buruh punya ga sih strategi baru dalam menghadapi kontestasi politik elektoral mendatang? Apakah politik transaksional bakal kembali menjadi pilihan yang diambil para pemimpin serikat buruh?
— Serikat Pekerja SINDIKASI (@SINDIKASI_) March 30, 2018
Nama Said Iqbal pernah tercatat sebagai salah satu calon anggota legislatif (caleg) dari PKS pada Pemilu 2009. Selain itu, ia juga terkenal karena memberikan dukungan kepada pasangan Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014.
Di lain pihak, Andi Gani Nuwa Wea selama ini dikenal sebagai salah satu kader PDIP. Pada Pilpres 2014 lalu, Andi memberikan dukungan kepada pasangan Jokowi-JK. Sebuah dukungan yang tidak percuma karena hal itu kini berbuah kursi komisaris BUMN PT Pembangunan Perumahan.
Para pemimpin parpol jelas tergoda untuk menarik simpati kelompok buruh. Kelompok ini jelas memiliki jumlah massa yang besar. Selain itu, pimpinan organisasi serikat buruh juga tergolong tokoh populer di kalangannya sehingga dapat menarik massa. Oleh karena itu, para pimpinan parpol ini tidak ragu menawarkan posisi atau jabatan tertentu kepada pimpinan serikat buruh.
Bak gayung bersambut, para pimpinan serikat buruh tersebut juga tertarik untuk bertransaksi dengan partai politik. Janji-janji dari para politikus membuat pimpinan serikat buruh mau menjual organisasi buruh yang mereka pimpin dan mendukung politikus tersebut.
Cari Jatah Menteri?
KSPI saat ini hampir tidak bisa dilepaskan dari sosok sang presiden Said Iqbal. Sebagai pimpinan konfederasi, semua tindakan KSPI akan diidentikkan dengan kiprahnya termasuk dalam hal politik.
Jika melihat pendapat Tornquist sebelumnya, bisa saja memang ada transaksi antara Said Iqbal dengan Prabowo. Publik bisa saja menduga ada janji-janji tertentu yang diberikan Prabowo kepada Iqbal agar serikat yang ia pimpin mau mendukungnya sebagai capres.
Iqbal menyatakan bahwa ia dan KSPI sangat mengharapkan ada salah satu kader KSPI yang dapat duduk sebagai menteri di kabinet Prabowo nanti. Ia menyebut bahwa kursi Menteri Tenaga Kerja (Menaker) dan juga Menko Perekonomian cocok untuk diisi oleh kader KSPI. Dengan percaya diri, Iqbal menyebut KSPI menawarkan kader terbaiknya untuk menjadi menteri yaitu Said Iqbal sendiri.
Ujung ujungnya Said Iqbal minta jadi Menaker kalau Prabowo jadi Presiden.
Siapa yang pantas mengisi posisi strategis tersebut ?
“Kader terbaik kami salah satunya adalah Presiden KSPI, Said Iqbal,” jawab Said Iqbal sendiri —> https://t.co/bXFusbK9gf #Mayday https://t.co/hjEddxg7Pz— Iman Brotoseno (@imanbr) May 1, 2018
Jika melihat sejarahnya, nama Iqbal pernah masuk ke dalam kabinet bayangan yang dirilis oleh Partai Gerindra pada tahun 2014. Saat itu, Iqbal dianggap Gerindra sebagai sosok yang tepat untuk mengisi kursi Menaker. Di tahun tersebut, Iqbal juga tengah membangun narasi serupa bahwa harus ada perwakilan buruh dalam kabinet. Pada saat itu, Iqbal juga memberikan dukungan kepada Prabowo sebagai capres.
Geliat Iqbal yang begitu rajin mendukung Prabowo bisa saja terkait dengan jabatan menteri yang kerap dibicarakan tersebut. Kondisi ini bisa menjadi penanda bahwa dukungan KSPI kepada Prabowo dapat dikatakan transaksional, di mana terjadi pertukaran antara jabatan menteri dengan dukungan politik kaum buruh.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah ,apakah transaksi ini terjadi antara KSPI dengan Prabowo, atau Said Iqbal sebagai pimpinan serikat buruh dengan Prabowo. Jika yang terjadi adalah hal yang kedua, maka dapat dikatakan bahwa transaksi suara kaum buruh terjadi hanya untuk kepentingan pribadi Iqbal. Jika demikian, maka kontrak dengan Prabowo belum menggambarkan suara KSPI sebagai serikat buruh, apalagi buruh secara keseluruhan. (H33)