Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat dengan menggunakan AI.
Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?
Di antara pergesertan posisi ratusan perwira tinggi TNI perdana Presiden Prabowo Subianto, promosi Letnan Jenderal TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I sangat menarik karena tampak menjadi sinyal khusus dari Sang Panglima Tertinggi.
Tak bisa dipungkiri dan sudah menjadi anggapan umum bahwa mutasi, rotasi, dan promosi para jenderal TNI sarat akan faktor bertendensi politis, utamanya yang secara konstruktif selaras dengan visi pemerintah.
Khusus bagi Letjen Kunto, promosinya itu dikatakan menarik karena sempat diredam kala digeser dari jabatan Pangdam III Siliwangi ke pos Wadankodiklatad dan Staf Ahli Bidang Ekonomi Setjen Wantannas.
Dua pos itu kiranya sekadar berkaliber “hanya” bagi sosok yang sebelumnya adalah komandan terirorial legendaris ujung barat Pulau Jawa.
Musababnya, anak Wapres ke-6 RI, Try Sutrisno itu cukup kritis memberikan pandangan terbukanya atas situasi politik-pemerintahan jelang Pemilu 2024, yakni melalui artikel berjudul “Etika Menuju 2024” yang dimuat Kompas pada 10 April 2023 lalu.
Value dan makna dari artikel itu dinilai cukup signifikan karena bisa dikatakan untuk pertama kalinya sejak Reformasi, ada perwira tinggi aktif TNI yang menyuarakan keresahannya terhadap situasi politik.
Proyeksi karier yang mendadak tersendat di era Presiden ke7 RI Joko Widodo itu seketika berbalik saat Letjen Kunto dipromosikan. Presiden Prabowo pun kemungkinan besar menjadi sosok yang merestui hal itu karena berbagai hal yang bisa membuka jalan konstruktif bagi relasi militer dengan politik-pemerintahan Indonesia ke depan. Mengapa demikian?
Pilih Jenderal Terbaik?
Di era presidensi Joko Widodo, relasi militer dan politik-pemerintahan jamak erat dengan frasa “Perwira Solo” dan “Perwira Istana”. Marsekal TNI (Purn.) Hadi Tjahjanto, Jenderal TNI Agus Subiyanto, serta Jenderal TNI Maruli Simanjuntak menjadi sederet nama yang relate dengan frasa tersebut.
Di mesin pencarian, publik dapat dengan mudah menemukan analisis pakar mengenai karakteristik Jokowi dalam mengelola relasi dengan militer.
Saat dielaborasi, pendekatan Jokowi terhadap militer adalah dengan reformasi struktur angkatan bersenjata dengan menempatkan loyalisnya saja. Ihwal yang dikatakan juga telah dilakukan Presiden Türkiye, Recep Tayyip Erdoğan.
Namun, efektivitas pendekatan itu hanya bersifat jangka pendek dan justru menciptakan polarisasi yang tajam dan terbentuknya faksi-faksi yang lebih banyak serta membuat organisasi menjadi tak sehat.
Dalam banyak tanggapan yang seolah menjadi keniscayaan, rotasi ratusan jenderal pertama di Pemerintahan Prabowo dianggap menjadi satu langkah untuk perlahan menggeser jenderal-nya Jokowi.
Kebanyakan analis tak menjabarkan alasan kausalitas tersebut. Tetapi, secara politik, hal itu kiranya sangat wajar dilakukan Presiden Prabowo untuk menciptakan keberlanjutan stabilitas organisasi dan menghindari dual-loyalisme.
Lebih dalam lagi, Presiden Prabowo pun kiranya akan sangat berhati-hati dan mencoba se-cermat mungkin mengelola relasi dengan TNI untuk menopang stabilitas pemerintahannya. Menariknya, pendekatan bisa saja dilakukan Presiden Prabowo dengan sangat berbeda dengan apa yang dilakukan Jokowi.
Era Letnan Bisa Jadi Menteri
Selain faktor kasat mata dikotomi latar belakang sipil dan militer, Jokowi dikenal mengaktualisasikan Machiavellianisme dalam mengelola relasi dengan TNI yang sayangnya terlalu jelas saat melakukan “penyingkiran”. Kembali, frasa “Perwira Solo” dan “Perwira Istana” dan perbedaannya dengan yang berstatus tersebut tak datang dari ruang hampa.
Sementara di sisi lain, Presiden Prabowo dinilai tak terlalu sulit untuk menyeimbangkan relasi dengan angkatan bersenjata. Dengan predikatnya sebagai legenda hidup militer, lahir dari keluarga terpandang di negeri ini, serta status konglomerat membuatnya memenuhi segala pra-syarat untuk dihormati, disegani, dan ditaati oleh siapapun, termasuk para jenderal.
Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Max Weber sebagai otoritas karismatik, yakni kemampuan membangun legitimasi tanpa harus menggunakan pendekatan radikal maupun yang kental dengan intrik.
Pendekatan Weberian yang auto dimiliki Presiden Prabowo menjadi salah satu soft power atau kekuatan pertama dan mendasarnya dalam mengelola relasi dengan TNI.
Kedua, pergeseran para jenderal perdana di eranya tak hanya menempatkan para loyalis atau eks kolega di medan tempur pada pos strategis, tetapi juga membuka jejaring meritokrasi yang lebih komprehensif dan dapat merangkul semua pihak.
Tendensi itu dinilai akan secara otomatis mengurangi dan menghindari faksi dominan tertentu di tubuh angkatan bersenjata. Terlebih, hal tersebut selaras dengan visi besar Presiden Prabowo mengenai persatuan nasional.
Kendati demikian, konsekuensi dari pendekatan itu adalah adanya sesuatu yang ditawarkan Presiden Prabowo, yang tak lain adalah perluasan peran prajurit aktif di berbagai pos, termasuk ranah sipil dan sedikit gap antarmatra, antarsatuan, maupun antarinstitusi.
Itu pun kiranya bukan menjadi soal karena reaksi yang seolah permisif dari publik saat lebih dulu telah dilakukan di era Jokowi.
Ketiga, berkorelasi dengan aspek meritokrasi, pergeseran para jenderal di era Presiden Prabowo kiranya akan dilakukan dengan metode hybrid meritocracy. Ini dilakukan dengan memasukkan variabel jejaring, urgensi, kondisi, dan aspek politis dalam kalkulasi pemberian kepercayaan strategis kepada sosok tertentu di TNI.
Menariknya, hal itu telah diimplementasikan Presiden Prabowo dalam penunjukkan menteri di Kabinet Merah Putih kendati dalam konteks barisan para purnawirawan.
Tercatat, terdapat nama Mayor Inf. (Purn.) Agus Harimurti Yudhoyono yang dipercaya sebagai Menko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Letnan Kolonel Kav. (Purn.) Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara sebagai Menteri Transmigrasi, serta yang cukup fenomenal, Letnan Satu Inf. (Purn.) Sugiono, sang Menteri Luar Negeri. Belum termasuk lucky soldier, Mayor Inf. Teddy Indra Wijaya yang bahkan masih aktif.
Nama-nama tersebut agaknya dipercaya Presiden Prabowo dengan mengacu pada hybrid meritocracy seperti yang disebutkan sebelumnya, sekaligus membuat kultur baru yang tak biasa saat serdadu purnawirawan nonjenderal berkesempatan mengampu jabatan sekaliber menteri.
Hal serupa dalam konteks perwira aktif adalah dengan dipertahankannya sejumlah jenderal yang dikatakan loyalis Jokowi seperti Jenderal TNI Agus Subiyanto di pos Panglima TNI dan KSAD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak.
Variabel menyeimbangkan relasi demi kepentingan stabilitas jangka panjang kiranya ditempuh Presiden Prabowo terhadap Jokowi, dan termasuk sosok berpengaruh lain seperti Luhut Binsar Pandjaitan.
Bagaimanapun, penjelasan di atas adalah interpretasi semata yang bisa saja menemjui relevansinya dalam derajat tertentu. Yang jelas, relasi militer dan kekuasaan di era presidensi siapapun diharapkan tak menggerus semangat berbangsa dan bernegara yang positif, terlebih dalam konteks penyalahgunaan kekuasaan serta kewenangan yang merugikan sesama warga negara. (J61)