Site icon PinterPolitik.com

Prabowo Harus Lebih Sering Nongol?

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (Foto: Nasional Tempo.co)

Meskipun elektabilitas Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto selalu berada di posisi paling atas sejumlah survei calon presiden (capres) Pemilihan Presiden (Pilpres 2024), angkanya dari waktu ke waktu mengalami tren penurunan. Apa yang bisa dilakukan Prabowo untuk menaikkan elektabilitas, tentunya sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai Menhan?


PinterPolitik.com

Meskipun Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 masih cukup lama, masyarakat dan partai politik (parpol) sudah berbondong-bondong menelisik calon presiden (capres) mana yang akan dijadikan sebagai orang nomor satu di Indonesia nantinya. Berdasarkan beberapa hasil survei, salah satu kandidat yang paling mencolok untuk dijadikan capres adalah Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto.

Survei dari Politika Research & Consulting (PRC) pada November lalu misalnya, menyatakan elektabilitas Prabowo masih menempati posisi teratas, memimpin di angka 14,07 persen, diikuti oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dengan angka 11,0 persen.

Meskipun Prabowo untuk kesekian kalinya berhasil menempati posisi paling tinggi, Direktur Eksekutif PRC, Rio Prayogo menilai elektabilitas Prabowo ada tren penurunan dibandingkan survei-survei sebelumnya. Pada Desember 2020, elektabilitas Prabowo mencapai 19,7 persen. Fenomena ini dinilai Rio karena masyarakat memiliki semakin banyak pilihan capres untuk Pilpres 2024.

Baca Juga: Prabowo Kalah Karena Kurang “Jawa”?

Tren penurunan ini juga sempat disorot oleh Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo. Ia mengutip hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dari Oktober 2020 sampai September 2021, yang memang masih menempatkan Prabowo sebagai kandidat capres terkuat, tetapi elektabilitasnya semakin menurun.

Menurutnya, selain karena ada kandidat lain yang semakin mencuat, tren penurunan elektabilitas Prabowo juga bisa terkait posisinya sebagai Menhan.

Melihat perkembangan kontroversi beberapa waktu ke belakang, Prabowo memang sempat disorot terkait posisinya sebagai Menhan. Contohnya adalah sikap Prabowo yang dinilai kurang tegas dalam menanggapi lalu lintas kapal Tiongkok di wilayah Laut Natuna. Lalu juga isu transparansi anggaran pertahanan, utamanya terkait kabar usulan anggaran Rp 1.700 triliun yang dinilai sebagian pihak terlalu berlebihan.

Lalu, bagaimana Prabowo dapat memperbaiki, sekaligus meningkatkan citra politiknya?

Perbaiki Komunikasi Publik?

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai Prabowo sebenarnya memilki beberapa faktor yang dapat menjadi peluang besar untuk memenangkan Pilpres 2024, seperti posisinya sebagai satu-satunya kandidat dari kubu petahana, sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra.

Kemudian, jabatannya sebagai Menhan, yang sesungguhnya bisa dijadikan sebagai momentum yang tepat untuk benar-benar menunjukkan kualitas kerja Prabowo kepada masyarakat luas.

Di sisi lain, selain sebagai jembatan langsung untuk melihat kualitas Prabowo, posisi Menhan juga mampu digunakan untuk meningkatkan sekaligus memperbaiki hubungan yang baik dengan masyarakat, termasuk para pemilihnya pada Pilpres 2014 dan 2019 yang kecewa karena Prabowo bergabung ke pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Namun kenyataannya, setelah menjadi Menhan, Prabowo justru jarang terlihat berkomunikasi langsung kepada wartawan maupun masyarakat. Pemberitaan seputar kinerja Prabowo mayoritas diisi oleh kabar dirinya menandatangani sejumlah perjanjian kerja sama alutsista, yang realisasinya pun sebenarnya membutuhkan waktu yang cukup lama.

Sementara itu, Prabowo juga cenderung sangat tertutup jika disudutkan untuk menjawab hal-hal yang sebenarnya menjadi pertanyaan mendasar publik terkait tugas dan fungsi Prabowo sebagai Menhan. Kembali, contohnya adalah seperti sikap tidak tegas di Natuna dan transparansi anggaran pertahanan.

Baca Juga: Populisme, Batu Ganjalan Prabowo?

Permasalahan ini adalah sesuatu yang dalam perspektif politik perlu diperbaiki. Pengamat ilmu komunikasi, Rizki Briandana dalam tulisannya Representation of Political Ideology in Advertising: Semiotics Analysis in Indonesia Television, mengatakan media massa merupakan kekuatan yang sangat penting untuk menyampaikan pesan-pesan politik dari seorang kandidat, media juga dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap calon tersebut secara signifikan.

Apa yang disampaikan oleh seorang politisi melalui media tidak hanya akan dilihat publik sebagai posisi politik politisi tersebut terhadap suatu isu, tetapi juga menjadi bentuk komunikasi yang merepresentasikan keterlibatan publik dalam kebijakan politik, terlepas dari apakah pernyataan yang dilontarkan politisi tersebut adalah kebohongan atau bukan.

Oleh karena itu, jika Prabowo ingin benar-benar membentuk persepsi publik yang suportif, penting untuk melakukan pendekatan media yang bisa lebih menjawab kekhawatiran publik, bukan hanya promosi tanda tangan kerja sama atau penutupan informasi.

Berangkat dari pandangan ini, konsep political marketing atau pemasaran politik berperan krusial. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa logika pemasaran politik berbeda dengan pemasaran komersial.

Adam Harmes dalam tulisannya Political Marketing in Post-Conflict Elections: The Case of Iraq, mengatakan political marketing bukanlah sebuah konsep untuk “menjual” suatu parpol atau kandidat kepada pemilih, tetapi sebuah konsep yang menawarkan bagaimana parpol atau kandidat tersebut dapat menjawab sejumlah kekhawatiran aktual yang dihadapi negara atau masyarakat.

Sederhananya, Harmes memahami bahwa political marketing efektif adalah yang dilakukan oleh politisi yang berniat menjawab pertanyaan besar khalayak. Agar itu berhasil, seorang politisi tentu perlu mengetahui keinginan dan kebutuhan pasar, sehingga kemudian bisa disesuaikan dengan citra politik seperti apa yang ingin diwakilkan oleh politisi tersebut.

Lantas, strategi seperti apa yang perlu dilakukan Prabowo untuk membangun citra politik, tanpa melanggar etika sebagai Menhan?

Butuh Strategi Hubungan Masyarakat?

Berangkat dari pandangan Rizki dan Harmes, sesungguhnya apa yang bisa dan perlu dilakukan Prabowo sebagai Menhan sudah jelas. Prabowo tidak perlu mengandalkan parpol atau tim suksesnya untuk menaikkan elektabilitas, ia sudah memiliki alat political marketing yang mumpuni, yaitu divisi Hubungan Masyarakat (Humas) Kementerian Pertahanan (Kemhan). Melalui Humas Kemhan, Prabowo bahkan tidak perlu membangun retorika politik yang kompleks seperti berkampanye lewat parpol.

Bagaimana strateginya?

Well, Prabowo bisa belajar dari salah satu politisi yang paling pandai dalam political marketing, yaitu mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama.

Carol E. Lee dalam artikelnya Obama’s Top 5 PR Tricks di laman Politico, menjelaskan 5 strategi utama humas Obama. Pertama, pertemuan terbuka dengan publik layaknya di balai kota. Kedua, pembahasan mengenai topik yang sedang penting dengan gaya perkuliahan, dengan penekanan solutif di akhir pidatonya.

Ketiga, konferensi pers interaktif. Taktik ini mirip dengan taktik pertama, hanya saja Obama di sini lebih menerima pertanyaan dari wartawan, bukan berpidato. Keempat, wawancara rutin. Humas Gedung Putih pada masa Obama barangkali adalah divisi  tersibuk karena Obama dikenal sering menerima ajuan wawancara. Ini kemudian membangun proses komunikasi yang baik antara pemerintah dan publik.

Kelima, pendekatan personal. Salah satu keberhasilan political marketing Obama adalah karena dia mampu menciptakan persepsi publik bahwa dirinya adalah orang yang terbuka dan merakyat, seringkali bahkan Obama membicarakan tentang karakteristik keluarganya kepada media.

Dari semua poin di atas, secara realistis, Prabowo bisa menekankan poin ketiga, kedua, dan keempat. Dan ini sesungguhnya adalah hal yang lumrah dilakukan kementerian lain, seperti Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR), dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), yang sudah lebih dulu menginisiasi taktik keterbukaan terhadap media.

Pemasaran politik sederhana yang bisa menjadi tahap awal yang bagus bagi Kemhan dan Prabowo adalah dengan menjawab kekhawatiran publik mengenai transparansi anggaran pertahanan misalnya.

Melihat konteks perkembangan informasi saat ini, alokasi anggaran pertahanan sendiri sebetulnya bukanlah hal yang perlu ditutup-tutupi lagi.

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo dalam tulisannya yang berjudul Keterbukaan Anggaran di Sektor Militer atau Pertahanan (Bayangan antar Korupsi dan Rahasia Negara), mengatakan yang perlu dirahasiakan dari Kemhan adalah penyebaran dan penggelaran dan instalasi alutsista, sementara untuk anggaran harus diupayakan agar lebih transparan.

Baca Juga: Anggaran Pertahanan Prabowo, Haruskah Ditutupi?

Divisi Humas kemudian bisa berperan sebagai semacam event organizer untuk eksposur Prabowo di media, melalui pemberitaan dan konferensi pers yang lebih memunculkan sosok Prabowo. Tidak hanya itu, humas juga bisa membuat sejumlah program elektronik untuk menyampaikan pencapaian dan kinerja Prabowo sebagai Menhan secara rutin.

Kemudian, di beberapa waktu, Prabowo seharusnya juga lebih terbuka dalam memberikan pernyataan rutin terhadap isu yang sedang panas seputar Kemhan dan pertahanan kawasan Indo-Pasifik. Pernyataan tersebut tidak melulu harus berbau politik, mengingat kantor Prabowo adalah salah satu kementerian strategis bagi negara, tetapi layaknya Obama, Prabowo bisa memberikan pemaparan yang sifatnya memberi pengetahuan dan solutif secara prinsip.

Karena kembali lagi, tujuan penting dari political marketing adalah membangun komunikasi dengan masyarakat. Semakin sering Prabowo muncul dan interaktif kepada media, maka proses komunikasi pemasaran politik juga akan terjalankan dengan efektif. Jika pemasaran politik bisa dijalankan dengan efektif, tentu elektabilitas Prabowo bisa ikut terdongkrak.

Terlebih lagi, pada Pilpres 2019 Prabowo dikenal sebagai sosok yang mampu memunculkan rasa nasionalisme. Tentu ada cara untuk membangkitkan gaya berkomunikasi Prabowo yang nasionalis kepada publik, tanpa harus keluar dari arah politik pemerintahan Presiden Jokowi. (D74)

Exit mobile version