“Bahkan usulan kami, line up kabinetnya juga, siapa menteri-menterinya. Sehingga masyarakat tidak seperti memilih kucing dalam karung.” – Mardani Ali Sera
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]da yang bilang politik itu selalu melibatkan transaksi seperti beli kucing dalam karung. Beberapa kali rakyat merasa tertipu karena kiprah pemimpin yang mereka pilih ternyata tidak sesuai dengan apa yang terlihat dari kemasan mereka saat kampanye. Rasa tertipu ini misalnya bisa disebabkan oleh pemilihan menteri yang bertentangan dengan janji-janji kampanye.
Untuk mencegah terjadinya praktik kucing dalam karung ini, muncul usulan agar capres dan cawapres sudah harus mengumumkan terlebih dahulu nama-nama penghuni kabinetnya sebelum resmi dilantik sebagai pemimpin di negeri ini. Usulan ini misalnya dikemukakan oleh politisi PKS Mardani Ali Sera.
Selain dipercaya bisa memberi informasi memadai bagi masyarakat, langkah ini juga diyakini bisa memberikan tambahan suara yang signifikan bagi kandidat yang menjalankannya. Oleh karena itu, koalisi Prabowo Subianto disarankan menjalankan strategi ini agar bisa memenangkan pertarungan melawan petahana Joko Widodo (Jokowi).
Usulan semacam itu memang menarik dan hampir tidak pernah dilakukan oleh capres di negeri ini. Meski begitu, benarkah langkah itu bisa berbuah berkah bagi sang pengguna? Apakah langkah ini tidak akan memberatkan capres yang mengumumkan nama-nama menterinya?
Kampanye Positif
Di satu sisi, pengumuman penghuni kabinet sebelum capres-cawapresnya terpilih dapat dianggap sebagai sebuah terobosan. Langkah ini dapat menjadi salah satu bentuk kampanye positif yang dilakukan oleh kandidat. Ada keuntungan yang bisa dihasilkan dari pengumuman kabinet sejak dini ini. Sebagaimana disebut di atas, langkah ini bisa menjadi upaya untuk mengurangi praktik kucing dalam karung dalam pemerintahan.
Pentingnya pengumuman ini diungkapkan misalnya oleh Raymond A. Smith, akademisi dari Columbia University. Ia mengatakan bahwa masyarakat perlu tahu, atau setidaknya merasakan siapa yang akan menduduki kursi kabinet mereka.
Dari tadi belum berani komen ttg komposisi (proyeksi) kabinet Prabowo karena takut cuma hoax.
Soalnya komposisinya agak "ngeri" menurut gue.
Sampai akhirnya pulang ke rumah dan liat koran… pic.twitter.com/ON9JaXaG2Z
— Iman Sjafei (@imanlagi) August 1, 2018
Pemilihan nama yang tepat bisa memberikan tambahan suara bagi kandidat yang mengambil langkah ini. Tambahan suara misalnya dapat terjadi jika nama menteri mewakili unsur demografi tertentu seperti wilayah atau agama. Memilih kandidat yang karir politik atau profesionalnya teruji juga mampu menambah perolehan suara.
Smith juga menilai bahwa dengan mengumumkan kabinet sejak jauh-jauh hari, capres dapat memiliki legitimasi lebih besar karena masyarakat memberi kepercayaan lebih sejak awal. Jalannya pemerintahan selama lima tahun ke depan kemudian menjadi lebih mulus karena legitimasi tersebut.
Secara spesifik, ia menilai warga perlu tahu siapa-siapa saja yang akan menduduki kursi kabinet dengan status jabatan cukup krusial. Menurut Smith, posisi-posisi yang terpenting untuk diketahui di antaranya adalah Menteri Keuangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, dan menteri di bidang hukum. Menteri-menteri itu dikenal memiliki otoritas yang kuat sehingga publik perlu mengetahui sosok yang dipilih sejak jauh-jauh hari.
Di luar itu, menteri yang memiliki kuasa anggaran cukup besar juga penting untuk diketahui publik. Smith misalnya memberi perhatian pada Menteri Kesehatan dan juga Menteri Sosial karena tidak hanya memiliki anggaran besar, tetapi juga berhubungan dengan hajat hidup orang banyak.
Pengumuman kabinet sebelum terpilih juga dapat menjadi sebuah pernyataan bahwa capres memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk memenangi pertarungan. Langkah ini bisa menjadi semacam psywar terhadap kubu lawan dan meyakinkan pemilih mereka.
Langkah Berisiko
Meski menarik, pengumuman kabinet sebelum pemilihan sebenarnya cukup berisiko. Boleh jadi, itu menjadi alasan sebagian besar kandidat ragu untuk mengumumkan nama-nama calon pembantunya saat belum resmi menjabat.
Capres misalnya harus menyiapkan pertahanan ekstra keras untuk menghadapi gempuran lawan jika pengumuman kabinet dilakukan secara dini. Mereka tidak hanya membela diri dan cawapresnya saja tetapi juga calon-calon menterinya dari serangan kampanye negatif.
Terlihat bahwa ada ruang negative campaigning yang cukup terbuka, jika nama-nama menteri yang diumumkan ternyata sosok yang memiliki rekam jejak yang tidak terlalu baik. Oleh karena itu, mereka seperti memberikan umpan bagi lawan untuk diberikan serangan bertubi-tubi.
Misalnya saja seorang capres mengumumkan nama menteri untuk pos tertentu. Diketahui misalnya calon menteri tersebut pernah memiliki pengalaman buruk di masa lalu seperti korupsi, kasus asusila, atau kasus-kasus lainnya. Hal ini dapat menjadi bahan negative campaigning dari kubu lawan bagi capres tersebut.
Smith misalnya menyoroti bagaimana John McCain melakukan langkah ini saat maju sebagai capres di Pilpres AS 2008 bersama Sarah Palin yang oleh publik saat itu sering dijadikan bahan lelucon. Dengan satu orang Sarah Palin saja sudah cukup berat untuk dibela McCain, apalagi jika mengumumkan susunan kabinet, maka ia harus membela lebih banyak orang serupa Sarah Palin.
Selain berpotensi menjadi negative campaigning bagi diri sendiri, langkah ini juga bisa mengesankan adanya power sharing atau bagi-bagi kekuasaan yang berlebihan. Hal ini terutama jika nama-nama menteri yang diungkap ternyata sebagian besar berlatar belakang parpol, alih-alih profesional murni.
Masyarakat bisa terlebih dahulu mengetahui bahwa kandidat tersebut seperti mendahulukan kepentingan koalisinya ketimbang kepentingan rakyat. Hal ini bisa saja merugikan capres yang mengumumkan nama-nama menterinya secara prematur.
Masalah lainnya adalah proses transisi dari pengumuman hasil oleh KPU hingga pelantikan tidak selalu berjalan mulus. Hal ini disoroti juga oleh Smith yang menyebut bahwa ada kompleksitas khusus dalam minggu-minggu jelang pelantikan itu. Bukan tidak mungkin ada perubahan-perubahan yang membuat sejumlah nama menteri harus diganti.
Hal itu dapat merugikan dari dua sisi. Pertama, proses transisi berjalan tidak terlalu baik karena bisa timbul konflik antara nama awal dengan nama baru yang menggantikannya. Yang kedua, hal ini dapat berarti sebuah pengingkaran janji kampanye yang mencoreng muka capres terpilih di mata konstituennya.
Prabowo Pilih Menteri
Lalu bagaimana dengan koalisi Prabowo? Sejauh ini, kubu ini belum menuruti aspirasi dari Mardani tentang pengumuman kabinet. Akan tetapi, Direktur Eksektutif Indo Barometer, M. Qodari telah memberikan saran tentang siapa-siapa saja yang harus mengisi kabinat di bawah kendali Prabowo.
Jika dilihat, nama-nama yang disarankan Qodari memang mencerminkan penyebaran kekuatan dari potensi koalisi Prabowo. Meski begitu, ada sejumlah nama yang berpotensi jadi bulan-bulanan dan memberatkan kampanye mantan Danjen Kopassus tersebut.
Qodari misalnya membagi jabatan Menkopolkam untuk Gatot Nurmantyo. Posisi Menko Kesra disarankan diisi oleh Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Sementara itu, urusan keuangan direkomendasikan nama Sohibul Iman sebagai Menkeu.
Wkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwk pic.twitter.com/8nw9P4YfxK
— ANO (@qitmr) August 1, 2018
Di luar nama-nama tersebut, terdapat pula nama-nama lain yang bisa menjadi bahan perundungan warganet. Qodari misalnya menyarankan nama Fadli Zon di posisi Mendagri, Ahmad Dhani untuk Menteri Pariwisata, dan Neno Warisman sebagai Menteri Perempuan. Nama-nama yang kerap jadi bahan cibiran warganet ini bisa saja tidak memberi banyak bantuan bagi perolehan suaran Prabowo. Alih-alih menambah suara, nama-nama ini justru bisa membuat Prabowo pusing mencari cara untuk membela mereka.
Bagi beberapa kandidat, nama-nama yang akan menjadi menteri bisa saja tidak berpengaruh negatif. Hal ini terjadi misalnya pada kasus capres AS George W. Bush. Bush diketahui telah memegang nama Colin Powell untuk jabatan menteri pertahanan. Langkah ini ternyata tidak merugikan Bush karena ia berhasil memenangkan pemilihan.
Meski demikian, pengumuman kabinet terburu-buru tidak selalu berbuah manis. Hal ini dialami misalnya oleh capres AS Thomas E. Dewey. Kesialan Dewey ini bahkan menimbulkan sebuah istilah yang disebut sebagai “Thomas E. Dewey Syndrome.”
Dewey begitu percaya diri akan memenangkan pertarungan dengan Harry S. Truman. Kepercayaan diri tersebut membuatnya berani memilih sejumlah nama untuk duduk di kabinetnya. Sayang, kepercayaan diri itu berbuah kekalahan dan kutukan baginya karena terjangkit Thomas E. Dewey Syndrome.
Jika Prabowo ingin menuruti ide Mardani atau Qodari, maka ia harus benar-benar hati-hati. Nama-nama yang ia pilih jangan sampai jadi beban dan hanya memikirkan bagi-bagi kekuasaan partainya saja. Salah pilih nama, Prabowo bisa saja terkena kutukan seperti Thomas E. Dewey. (H33)