Site icon PinterPolitik.com

Prabowo-Habib Rizieq Pasti Reuni?

prabowo hrs

Habib Rizieq Shihab dan Prabowo Subianto. (Foto: Antara)

“Perdamaian” capres 2024 Prabowo Subianto kepada ceruk kelompok Islam konservatif seolah mulai tampak melalui kehadirannya di haul Habib Munzir Al Musawa pekan lalu. Lantas, mengapa Prabowo seakan merasa perlu “berdamai” dengan itu? Akankah dirinya juga akan “berdamai” dengan  Habib Rizieq Shihab (HRS) yang pernah menjadi penyokongnya di Pilpres 2019? 


PinterPolitik.com 

Secara politik, kehadiran Prabowo Subianto di haul Habib Munzir Al Musawa tampaknya tak hanya menggambarkan tupoksinya sebagai Menteri Pertahanan (Menhan), tetapi juga dalam kapasitasnya untuk menarik dukungan sebagai calon presiden (capres) 2024. 

Pada 28 Mei lalu, Prabowo hadir dan memberikan sambutan di acara Haul Akbar ke-10 Sulthonul Qulub Al Habib Munzir Al Musawa di Masjid Almunawar, Jakarta Selatan. 

Korelasinya dengan politik dikarenakan, pasca bergabung pemerintah, basis-basis pemilih Prabowo dalam dua pilpres sebelumnya jamak dikatakan akan beralih pilihan kepada kandidat seperti Anies Baswedan, termasuk kelompok-kelompok Islam konservatif. 

Memang, tidak serta merta Majelis Rasulullah yang menjadi organisasi yang diinisiasi mendiang Habib Munzir dapat digeneralisir sebagai representasi kelompok Islam konservatif. 

Namun, irisan para simpatisan dan anggotanya kerap tampak memiliki kemiripan dengan kelompok tersebut. 

Selain, terlihat mulai merangkul kelompok konservatif, Prabowo juga sebelumnya telah melakukan sowan kepada tokoh dan kelompok Islam moderat seperti Habib Luthfi, Gus Miftah, serta sejumlah pondok pesantren. 

Maka dari itu, jika diamati, langkah Prabowo belakangan ini untuk merangkul berbagai aliran kelompok Islam kiranya tak berlebihan untuk dikatakan sebagai upaya “berdamai” dengan kawan politik masa lalunya. 

Untuk benar-benar “berdamai” serta menghimpun kekuatan secara menyeluruh untuk menyongsong Pilpres 2024, satu nama menarik yang bisa saja akan turut dirangkul Prabowo adalah Habib Rizieq Shihab (HRS). 

Itu dikarenakan, HRS dan para simpatisannya disebut-sebut akan mengalihkan dukungan kepada Anies Baswedan di 2024 nanti, setelah Prabowo dianggap mengkhianati mereka di Pilpres 2019 sejak bergabung dengan pemerintah. 

Pada pertengahan Mei 2023 lalu, Juru Bicara (Jubir) HRS Aziz Yanuar sempat menguak ke mana arah dukungan mantan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu di Pemilu 2024. 

Aziz mengatakan belum ada yang didukung HRS di Pilpres 2024 mendatang dan belum ada pula rencana mendeklarasikan capres tertentu. 

Sementara pada Juli 2022 lalu, Aziz sempat menyebut segala kemungkinan dukungan ke salah satu sosok capres masih terbuka. Menariknya, opsi netral juga disinggung Aziz atas arah politik HRS dan barisannya di 2024. 

Karenanya, analisis para pengamat yang menyebut kemungkinan support politik HRS dan pendukungnya di 2024 mengarah pada Anies agaknya harus diuji ulang. 

Dengan momentum yang tampak tengah merangkul umat, baik konservatif maupun moderat, Prabowo bisa saja menjadi sosok yang akhirnya didukung HRS. Mengapa demikian? 

Diposisi Taktis Prabowo? 

Kendati kerap tak bermakna positif, dikotomi kelompok Islam konservatif dan moderat kiranya tak dapat dipungkiri menjadi warna tersendiri dalam interaksi sosio-politik Indonesia. 

Namun, walau cukup sulit, bisa mengamankan ceruk suara dari dua kubu yang tampak bertolak belakang itu tentu akan menjadi keuntungan politik tersendiri bagi aktor politik. 

Itu yang secara perlahan kemungkinan sedang diupayakan Prabowo di balik manuvernya menyambangi tokoh dan kelompok Islam hingga pondok pesantren – baik yang cenderung konservatif maupun moderat. 

Di titik ini, Prabowo tampaknya memang sedang memposisikan diri se-ideal mungkin di hadapan kelompok Islam. 

Ihwal itu selaras dengan apa yang eksis dalam bab empat risalah militer kuno Tiongkok The Art of War karya Sun Tzu. Di dalamnya, dijelaskan pentingnya seorang komandan menyesuaikan posisi yang ada sampai barisan prajurit mampu maju dari posisi tersebut dengan aman. 

Itu memberikan gambaran bagaimana pentingnya bagi seorang komandan mengenali peluang strategis, sekaligus menjadi refleksi untuk tidak menciptakan peluang bagi musuh. 

Dengan turut mendekati kelompok konservatif secara perlahan, mantan Danjen Kopassus itu kemungkinan berupaya menciptakan manajemen impresi secara perlahan untuk terlihat relevan bagi mereka semua. 

Sementara itu, probabilitas “reuni” Prabowo dengan HRS sendiri mungkin saja terwujud dengan karakteristiknya yang cenderung lebih “bersahabat” pasca bebas bersyarat pada Juli 2022 lalu. 

Sedikit menengok urutan peristiwanya, HRS sempat ditahan 12 Desember 2020 akibat kasus penghasutan dan kerumunan massa. Dia kemudian mendapat bebas bersyarat pada Juli 2022, dengan dikenakan wajib lapor hingga 23 Juni 2024. 

Terlepas dari apa kesepakatan di belakang panggung atas pembebasan bersyarat itu, HRS memang tampak sangat berbeda dan minim dengan pekikan dakwah maupun narasi yang menjadi ciri khasnya di masa lalu. 

Menariknya, itu tampak cocok dengan Prabowo yang juga lebih “bersahabat” sejak bergabung pemerintah pada tahun 2019. 

Dengan kata lain, partisipasi HRS di sepanjang proses politik 2024 kemungkinan akan jauh berbeda dibanding edisi-edisi sebelumnya. 

Salah satu sampel kehati-hatian personal HRS jelas terlihat sebelum menghadiri Reuni 212 pada 2 November 2022. Kala itu, HRS sempat ragu untuk hadir dengan statusnya yang masih bebas bersyarat. 

Oleh karena itu, meskipun banyak yang mengatakan akan memperkuat sosok atau koalisi politik pengkritik pemerintah seperti barisan Anies, karakteristik HRS saat ini dan kemungkinan gerak-geriknya selama proses politik 2024 kiranya justru akan kembali mengarah ke Prabowo. 

Terutama, ketika berbicara mengenai irisannya dengan PKB sebagai parpol perdana dan setia mendukung Prabowo di 2024. Mengapa demikian? 

Rujuk via PKB? 

Proyeksi hubungan Prabowo, PKB, dan HRS saat ini kiranya memiliki benang merah yang konstruktif jika diinterpretasikan lebih dalam. 

Satu contoh di antaranya adalah saat pada Januari 2021 lalu, Azis Yanuar menyampaikan pesan HRS dari balik jeruji besi yang mengajak para pengikutnya untuk membantu pemerintah menanggulangi sejumlah bencana yang terjadi pada saat itu di berbagai daerah. 

Aziz juga mengatakan HRS mengimbau agar bantuan bagi seluruh korban bencana diserahkan tanpa memandang suku agama, ras, dan latar belakang lainnya. 

Sebelum dilarang, FPI sendiri telah memiliki track record sebagai ormas yang acapkali terdepan dalam membantu penanganan bencana alam. 

Atas dasar itu, PKB melalui Ketua DPP-nya Faisol Riza merespons positif dan menyebut bahwa pesan kebaikan solidaritas itu sebaiknya didengarkan dan dijalankan oleh para pengikut HRS. 

Saat ditelaah lebih dalam, respons PKB tersebut kiranya bukan sebatas apresiasi semata. Hal itu dikarenakan, saat FPI dibubarkan pemerintah, PKB seolah menjadi parpol pertama yang bersedia menampung para simpatisan pengikut HRS. 

Wakil Sekretaris Dewan Syuro DPP PKB Maman Imanulhaq ketika itu mengatakan PKB bersedia memfasilitasi para eks anggota FPI untuk belajar merumuskan kembali dakwahnya. 

Sementara itu, HRS dan FPI sendiri tampak sejak awal telah memiliki keterkaitan dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam yang memiliki afiliasi dengan PKB. 

Korelasi hubungan konstruktif di antara para aktor itu dapat terlihat ketika sama-sama bersinergi dan memiliki kesepahaman dalam kasus penistaan agama yang menerpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 2016 silam. 

Ketika itu, HRS bahu-membahu dengan Ma’ruf Amin yang masih menjabat Rais Aam PBNU dan berbuah keberhasilan “menjebloskan” Ahok ke bui. 

Secara ideologis sendiri, HRS dan FPI dinilai memiliki porsi irisan yang cukup seirama dengan NU. Dalam sebuah publikasi berjudul NU dan FPI dalam Tiga Matra, M. Kholid Syeirazi menjabarkan keterkaitan di antara FPI dan NU secara lebih spesifik. 

Secara ‘amaliyyah ubûdiyyah atau akar tradisi, NU dan FPI memiliki kesamaan dan bukanlah penganut Islam puritan. 

Selain itu, HRS dan FPI juga selaras dengan NU dalam hal fikrah dîniyyah atau pemikiran keagamaan. 

NU juga dikenal sangat menghormati para habib. Mantan Ketua Umum (Ketum) PBNU Said Aqil Siradj sendiri sempat mengutarakan ihwal yang sama, termasuk kepada Habib Rizieq Shihab. 

Tinggal, secara politik, keduanya kerap masih belum menemukan ritme yang selaras di tengah dinamika yang begitu cair. 

Akan tetapi, HRS sendiri sempat berujar bahwa FPI adalah “anak” NU yang bandel, yang kemungkinan besar mengindikasikan bahwa nafas HRS, FPI, dan NU – tak menutup kemungkinan pula PKB – pada hakikatnya seirama. 

Bisa saja, kondisi itu dapat bermuara pada rujuknya hubungan HRS dan Prabowo yang diperkuat PKB dengan basis kekuatan NU-nya. 

Lalu, mungkinkah Prabowo sukses merangkul semua kelompok Islam, termasuk HRS, dalam perjalanannya menuju RI-1? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61) 

Exit mobile version