Site icon PinterPolitik.com

Prabowo-Gerindra Teladan Bagi Partai Republik?

Prabowo-Gerindra Teladan Bagi Partai Republikjpg-w700

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat perkenalan Kabinet baru di Istana Merdeka Jakarta pada 23 Oktober 2019 lalu. (Foto: The Jakarta Post)

Seri pemikiran Fareed Zakaria #37

Sentimen anti-asian yang sedang meningkat belakangan ini di Amerika Serikat (AS) dinilai merupakan residu dari bagaimana Partai Republik “mengakomodasi” kelompok ekstrem sayap kanan demi menyongsong Pilpres 2020 lalu. Lantas, mengapa hal itu dapat terjadi? Serta adakah refleksinya pada dinamika sosial politik di tanah air?


PinterPolitik.com

Isu yang belakangan cukup sentral dalam politik Amerika Serikat (AS) saat ini ialah mengenai Partai Republik, yang jamak dinilai masih memiliki kecenderungan yang lekat dengan elemen-elemen “ekstrem”-nya pasca Pilpres 2020 lalu.

Hal itu tidak hanya terkait dengan manuver nyentrik dari mantan presiden Donald Trump, tetapi lebih dari itu. Preseden kemudian mengarah pada karakter Partai Republik atau partai politik (parpol) yang dikenal dengan Grand Old Party (GOP) itu sendiri kini.

Episentrum penilaian itu datang dari sejumlah kalangan, tepatnya pasca insiden mematikan di Gedung Capitol pada 6 Januari lalu beserta sejumlah dinamika sosial politik yang terjadi di negeri Paman Sam dalam beberapa pekan terakhir.

Salah satu penilaian dikemukakan Ronald Brownstein dalam tulisannya di The Atlantic yang berjudul How the GOP Surrendered to Extremism.

Secara historis atau tepatnya sekitar 60 tahun lalu, banyak pemimpin Partai Republik terus berusaha melawan kelompok radikal dan bahkan bertendensi ekstrem di dalam barisan mereka. Akan tetapi Brownstein memandang bahwa sekarang GOP bahkan tidak berusaha untuk itu.

Sementara David Smith dalam sebuah tulisan di The Guardian, menyebut bahwa persepsi terhadap GOP kini mengarah pada kecenderungan hubungan antara partai dengan kalangan atau kelompok dengan mindset garis keras atau ekstremisme.

Yang mana kemudian Smith mengatakan bahwa seolah persoalan itu seperti menjadi masalah endemik di Republikan, dengan dampak sosial politik yang kurang positif bagi demokrasi AS.

Baca juga: Jokowi Harus Hindari Kakistokrasi Trump

Menurut Fareed Zakaria, delegasi Kongres yang berasal dari Partai Republik saat ini tergolong orang-orang yang bersikeras bahwa Pilpres 2020 telah dicurangi. GOP sebelumnya juga disebut memiliki hubungan dengan kelompok ekstremis yang brutal, hingga menyebarkan ideologi konspiratif QAnon.

Di tingkat negara bagian, keadaan seringkali semakin buruk, bahwa Republikan arus utama telah mentolerir suara dan pandangan kelompok-kelompok itu selama bertahun-tahun.

Presumsi bahkan menjadi isu nasional yang cukup hangat ketika Partai Demokrat sebelumnya telah sedikit mengonstruksikan narasi keterkaitan antara Partai Republik dan kelompok ekstremisme sayap kanan, walau barang tentu GOP resisten dengan argumen itu.

Fenomena keterkaitan antara parpol, kelompok konservatif garis keras dengan “narasi yang tak diinginkan”, plus polarisasi yang ditimbulkannya juga sempat terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu dalam proses menyongsong Pilpres 2019, meski belakangan cenderung mereda dan sedikit terkendali.

Namun pertanyaannya, mengapa penilaian relasi antara Partai Republik dengan kelompok garis keras sayap kanan itu dapat mengemuka? Serta adakah refleksi khusus dari kecenderungan itu pada dinamika politik di Indonesia?

“Dilestarikan” Partai Republik?

Dalam kolom tulisan terbarunya di The Washington Post yang berjudul Mainstream Republicans have tolerated extremism for years. Can they finally control it?, Fareed Zakaria menyebutkan bahwa memang terdapat impresi kegagalan dari Partai Republik untuk mendisiplinkan atau membersihkan internal partai dari elemen-elemen dengan tendensi ekstremisme.

Zakaria mencontohkan dua sampel historis atas output berbeda dari relasi antara parpol dengan kelompok garis keras. Dengan mengutip publication paper Daniel Ziblatt yang berjudul The Conservative Party and the Birth of Democracy disebutkan kunci mengapa pada awal abad ke-20 Inggris tetap menjadi negara demokrasi dan Jerman melenceng ke dalam fasisme.

Partai konservatif di Inggris dinilai mampu untuk mendisiplinkan para “ekstremis”-nya. Selama bertahun-tahun sebelum Perang Dunia I, kaum konservatif Inggris menghadapi ancaman elemen anti-demokrasi dari internal partai mereka, khususnya kaum radikal di Irlandia Utara. Partai Tory, lantas dapat mempertahankan nilainya yang kuat dan akhirnya mampu menghancurkan faksi-faksi itu dan menstabilkan demokrasi Inggris.

Sebaliknya, di Jerman, partai konservatif utama, Deutschnationale Volkspartei (DNVP), lemah dan tidak terorganisir. Plus, sangat bergantung pada bantuan kelompok eksternal dalam kampanye politiknya.

Hal itu kemudian membuka peluang bagi seorang nasionalis Alfred Hugenberg, yang disebut Zakaria seperti inkarnasi awal Rupert Murdoch, saat menggunakan kerajaan media dan koneksi bisnisnya untuk menguasai partai dan mencoba mendorongnya ke kanan.

Manuver itu sayangnya melemahkan kekuatan DNVP, dan banyak pemilihnya mulai berbondong-bondong ke alternatif sayap kanan lain seperti Partai Nazi. Hugenberg lantas bersekutu dengan Hitler, dan berpikir bahwa itu akan menjadi cara untuk mengambil kendali gerakan konservatif.

Akumulasinya di kemudian hari sejak saat itu, tak hanya gejolak sosial politik domestik dan kawasan yang terjadi, melainkan hingga berbuntut menajamnya Perang Dunia II.

Baca juga: Trump Buat Partai Republik Bubar?

Menurut Fareed Zakaria, delegasi Kongres yang berasal dari Partai Republik saat ini tergolong orang-orang yang bersikeras bahwa Pilpres 2020 telah dicurangi. GOP sebelumnya juga disebut memiliki hubungan dengan kelompok ekstremis yang brutal, hingga menyebarkan ideologi konspiratif QAnon.

Di tingkat negara bagian, keadaan seringkali semakin buruk, bahwa Republikan arus utama telah mentolerir suara dan pandangan kelompok-kelompok itu selama bertahun-tahun.

Presumsi bahkan menjadi isu nasional yang cukup hangat ketika Partai Demokrat sebelumnya telah sedikit mengonstruksikan narasi keterkaitan antara Partai Republik dan kelompok ekstremisme sayap kanan, walau barang tentu GOP resisten dengan argumen itu.

Fenomena keterkaitan antara parpol, kelompok konservatif garis keras dengan “narasi yang tak diinginkan”, plus polarisasi yang ditimbulkannya juga sempat terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu dalam proses menyongsong Pilpres 2019, meski belakangan cenderung mereda dan sedikit terkendali.

Namun pertanyaannya, mengapa penilaian relasi antara Partai Republik dengan kelompok garis keras sayap kanan itu dapat mengemuka? Serta adakah refleksi khusus dari kecenderungan itu pada dinamika politik di Indonesia?

“Dilestarikan” Partai Republik?

Dalam kolom tulisan terbarunya di The Washington Post yang berjudul Mainstream Republicans have tolerated extremism for years. Can they finally control it?, Fareed Zakaria menyebutkan bahwa memang terdapat impresi kegagalan dari Partai Republik untuk mendisiplinkan atau membersihkan internal partai dari elemen-elemen dengan tendensi ekstremisme.

Zakaria mencontohkan dua sampel historis atas output berbeda dari relasi antara parpol dengan kelompok garis keras. Dengan mengutip publication paper Daniel Ziblatt yang berjudul The Conservative Party and the Birth of Democracy disebutkan kunci mengapa pada awal abad ke-20 Inggris tetap menjadi negara demokrasi dan Jerman melenceng ke dalam fasisme.

Partai konservatif di Inggris dinilai mampu untuk mendisiplinkan para “ekstremis”-nya. Selama bertahun-tahun sebelum Perang Dunia I, kaum konservatif Inggris menghadapi ancaman elemen anti-demokrasi dari internal partai mereka, khususnya kaum radikal di Irlandia Utara. Partai Tory, lantas dapat mempertahankan nilainya yang kuat dan akhirnya mampu menghancurkan faksi-faksi itu dan menstabilkan demokrasi Inggris.

Sebaliknya, di Jerman, partai konservatif utama, Deutschnationale Volkspartei (DNVP), lemah dan tidak terorganisir. Plus, sangat bergantung pada bantuan kelompok eksternal dalam kampanye politiknya.

Hal itu kemudian membuka peluang bagi seorang nasionalis Alfred Hugenberg, yang disebut Zakaria seperti inkarnasi awal Rupert Murdoch, saat menggunakan kerajaan media dan koneksi bisnisnya untuk menguasai partai dan mencoba mendorongnya ke kanan.

Manuver itu sayangnya melemahkan kekuatan DNVP, dan banyak pemilihnya mulai berbondong-bondong ke alternatif sayap kanan lain seperti Partai Nazi. Hugenberg lantas bersekutu dengan Hitler, dan berpikir bahwa itu akan menjadi cara untuk mengambil kendali gerakan konservatif.

Akumulasinya di kemudian hari sejak saat itu, tak hanya gejolak sosial politik domestik dan kawasan yang terjadi, melainkan hingga berbuntut menajamnya Perang Dunia II.

Baca juga: Trump Buat Partai Republik Bubar?

Baca juga: FPI dan Geliat Vigilantisme Loyalis Trump

Namun titik balik terjadi ketika Prabowo kemudian memilih untuk bergabung dengan pemerintah dengan mengambil konsekuensi kehilangan simpati dari kalangan konservatif pendukung.

Di balik itu, Sandiaga Uno sempat mengungkapkan bahwa salah satu alasan Prabowo memilih untuk bergabung dengan pemerintah ialah, untuk menghindari potensi yang bisa memecah-belah keutuhan bangsa yang sedang tajam-tajamnya pasca Pilpres 2019 lalu.

Itulah yang mungkin saja bisa dibaca sebagai bagian dari manuver Prabowo untuk “mendisiplinkan” kelompok konservatif Islam yang membawa preseden negatif, tak hanya bagi potensi preseden minor yang dapat menimpa Gerindra, tetapi juga bagi kehidupan demokrasi dan sosial politik tanah air.

Bahkan, efek integralnya boleh jadi juga tercermin dari keberanian dan ketegasan pemerintahan Presiden Jokowi untuk membubarkan FPI hingga ke akarnya saat ini.

Akan tetapi, “pendisiplinan” itu tampaknya juga punya efek samping tersendiri ketika demokrasi secara umum kemudian seolah menjadi semu karena kongsi kekuatan politik begitu timpang.

Fareed Zakaria dalam The Rise of Illiberal Democracy menyebutkan demokrasi semu kemudian jadi ekses minor tersendiri dari kondisi ketika demokrasi seolah eksis namun partisipasi politik menjadi terbatas, karena berbagai hal, termasuk ketimpangan checks and balances di pemerintahan.

Berbeda dimensi dengan isu Partai Republik dan kelompok ekstremisnya, dalam konteks Indonesia, diskursus akhirnya lantas bergeser dari polarisasi sosial politik akibat relasi parpol dengan kelompok konservatif garis keras, kepada bagaimana mengimbangi kekuatan politik pemerintah yang terlampau besar saat ini agar tidak terus membawa dampak kontraproduktif lain di kemudian hari. (J61)

Baca juga: Ada Luhut di Balik Bisunya Prabowo?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut,

Exit mobile version