Opsi duet calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo makin santer terdengar dan bahkan mendapat hasil positif di sebuah survei teranyar. Namun, PDIP kiranya harus menanggung “malu” secara politik jika itu terjadi. Mengapa demikian?
PinterPolitik.com
Pasangan Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo menang telak satu putaran di Pilpres 2024. Begitu kira-kira kesimpulan sementara dari survei IndoStrategi Research and Consulting saat dua nama tersebut disimulasikan menjadi pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Dalam survei yang diselenggarakan pada tanggal 27 Oktober-5 November 2022, melibatkan 1.230 responden dengan kualifikasi pemilih di 2024 itu, Prabowo-Ganjar memperoleh 60,3 persen dukungan.
Bahkan, Prabowo-Ganjar menang mudah dari simulasi duet capres-cawapres Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang selama ini juga santer dipasangkan Koalisi Perubahan. Anies-AHY hanya mendapatkan 29,6 persen suara responden.
Saat ditanya perihal hasil kejayaan duet Prabowo-Ganjar, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan hasil survei masih akan begitu dinamis ke depan. Hasto menambahkan, partainya akan terus mencermati berbagai hasil survei.
Namun, drama kiranya masih dipertontonkan PDIP. Ganjar yang notabene kader PDIP dan saat ini masih menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah (Jateng) sendiri seolah tertahan untuk “unjuk gigi” menyongsong 2024.
Itu disebabkan, partai besutan Megawati Soekarnoputri tampak bersikukuh mengusung Puan Maharani sebagai capres. Itu pun bahkan meski Ganjar memiliki elektabilitas mumpuni sebagai kandidat RI-1 dan kerap bersaing ketat dengan Prabowo dan Anies.
Sementara itu, pengamat Politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar Sukri Tamma merasa hasil survei tersebut tak mengherankan. Namun menurutnya, permasalahan muncul, yakni apakah hasil survei tersebut akan dijadikan oleh masing-masing partai yang berkepentingan untuk mendorong keduanya.
Daya tawar tinggi yang dimiliki Ganjar memang sekilas tampak membuat probabilitas duetnya sebagai cawapres pendamping Prabowo masih abu-abu.
Meski mampu untuk maju sendirian di Pilpres 2024 tanpa berkoalisi dengan partai politik (parpol) lain, PDIP tampaknya mustahil melakukan itu karena risiko politik yang tinggi.
Di sisi lain, ketiadaan jalinan koalisi dengan parpol lain hingga saat ini bisa saja menjadikan PDIP kehabisan waktu. Boleh jadi Megawati pun akan “mengalah” untuk menahan Puan sekaligus mengusung Ganjar sebagai cawapres Prabowo. Benarkah demikian?
Gerindra-PDIP Simbiosis Tepat?
Sampai detik ini, geliat koalisi parpol menuju 2024 begitu berjalan dinamis. Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, PAN, dan PPP saat ini masih diliputi kegamangan. Sebab, partai beringin terus berupaya menaikkan daya tawar dengan ambisi mengusung Airlangga Hartarto (Ketum Partai Golkar) sebagai capres.
Suara akar rumput PAN dan PPP sendiri terbelah karena beberapa pengurus wilayah telah secara resmi lebih mendukung calon lain seperti Ganjar maupun Anies.
Terkait Anies, Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS (Koalisi Perubahan) kiranya juga tetap akan bersatu dalam jalinan koalisi walaupun kini seakan begitu alot dalam merumuskan konsesi politik berbalut “visi” bersama.
Di sisi lain, Partai Gerindra dan PKB tampaknya masih menyediakan posisi cawapres bagi Prabowo. Mantan Danjen Kopassus yang di edisi 2024 bisa saja nothing to lose, kini justru berada di atas angin karena selalu unggul di beberapa survei elektabilitas capres.
Oleh karena itu, tinggal PDIP yang masih terlihat lambat dalam mengambil keputusan. Jika dianalisis, paling tidak terdapat tiga hal yang mendasari mengapa PDIP bukan tak mungkin “kehabisan waktu”.
Pertama, Megawati dan para elite PDIP mungkin masih berpikir jika mereka adalah parpol penguasa dengan reputasi mumpuni saat ini. Berangkat dari situ, langkah untuk bergabung (tanpa berperan sebagai inisiator koalisi) tampaknya akan sedikit mengikis reputasi PDIP.
Kedua, PDIP adalah satu-satunya parpol yang tak pernah absen mengusung capres sejak Pemilu 1999 silam. Dengan bukti sahih melalui keterpilihan Megawati dan Joko Widodo (Jokowi) sebagai RI-1, hanya menyumbang cawapres juga mungkin akan bermuara pada sentimen minor seperti alasan pertama.
Ketiga, drama atau intensi menyodorkan Puan (dengan elektabilitas rendah) sebagai capres tampaknya justru akan membuang waktu dan strategi politik lain yang bisa dirumuskan untuk memenangkan Pemilu dan Pilpres 2024.
Dari situ, ruang gerak PDIP untuk bermanuver dan menaikkan daya tawar politik di hadapan koalisi yang telah terbentuk saat ini seolah terus menyempit seiring waktu.
Di sisi lain, opsi yang sangat mungkin untuk maju sendirian dan mengusung kadernya tampak juga bukan merupakan langkah yang bijaksana bagi PDIP.
Dengan mencoba memahami logika parpol, PDIP cukup mungkin untuk bergabung dengan salah satu koalisi dan “mengalah” untuk paling tidak menyodorkan nama cawapres.
Dalam teori permainan atau game theory, konteks kehabisan waktu PDIP terhadap posisi politiknya kiranya akan memaksa mereka berupaya meraih positive-sum dalam tarik menarik daya tawar.
Secara sederhana, hasil positif-sum terjadi dalam kasus bargain distributif di mana kepentingan yang berbeda dinegosiasikan sehingga kebutuhan setiap orang terpenuhi.
Dibanding terus menerus berjudi dengan konsekuensi “rungkad”, bukan tidak mungkin PDIP akhirnya rela menurunkan sedikit reputasinya untuk tetap dapat konsesi politik dengan hanya menyumbang cawapres.
Lalu, skenario seperti apa yang paling mungkin terjadi bagi PDIP?
PDIP dan Dukungan AS?
Di titik ketika PDIP mengalah, filosofi yang diadopsi dari buku karya Prabowo Subianto berjudul Kepemimpinan Militer Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto tampaknya akan menjadi pegangan utama.
Dalam buku tersebut, Prabowo mengutip filosofi seorang Samurai dan Daimyo Jepang (penguasa feodal) Toyotomi Hideyoshi pada akhir periode Sengoku yang dianggap sebagai “Pemersatu Besar” kedua Jepang.
Kala itu, Hideyoshi di ambang pertempuran dengan pasukan musuh yang sama hebatnya, yakni Tokugawa Ieyasu yang merupakan musuh besar terakhir.
Namun, menyadari konsekuensi pertempuran yang akan memakan korban serta kerugian kedua belah pihak, Hideyoshi berusaha berbicara dengan Ieyasu dengan mengatakan “untuk apa kita berperang? Marilah kita bergabung, bersatu untuk sama-sama berbakti kepada Jepang.”
Ieyasu kemudian terenyuh dan sepakat dengan ajakan Hideyoshi untuk bersatu, hingga sepanjang kiprah duet mereka untuk mempersatukan Jepang terus diliputi kejayaan dan berakhir pada persatuan Nippon, bahkan hingga mampu menginvasi Korea.
PDIP kemudian bisa saja menganut filosofi serupa dengan Prabowo dalam buku itu, sekaligus membuat opsi Prabowo-Ganjar jadi pilihan paling logis. Mengapa demikian?
Paling tidak ada beberapa variabel saling terkait yang dapat menjelaskan itu. Pertama, Ganjar bisa saja memang pada akhirnya diusung PDIP, baik sebagai capres maupun cawapres, mengingat memaksakan Puan bisa menjadi bunuh diri politik.
Kedua, pilihan bergabung dengan poros Partai Gerindra-PKB kiranya akan menjadi yang paling tepat bagi PDIP. Itu dikarenakan, poros Anies plus Koalisi Perubahan kerap disebut menjadi antitesis pemerintahan saat ini.
Sementara, sejumlah suara internal PAN dan PPP dalam poros KIB sendiri masih jamak yang berjalan sendiri dengan deklarasi dukungan terhadap Anies.
Ketiga, Prabowo agaknya menjadi capres yang akan “mulus” di 2024 karena seolah mendapat restu asing, dalam hal ini Barat dan Amerika Serikat. Postulat ini sendiri berangkat dari kinerja Prabowo sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) yang mana jalinan relasi pertahanannya selama ini tampak condong ke sana.
Manuver pendekatan Menhan Prabowo secara langsung ke AS maupun ke negara “penghubung Paman Sam” seperti Prancis, Turki, hingga Israel telah dijalin apik sejauh ini.
Damien D. Cheong, Stephanie Neubronner, dan Kumar Ramakrishna dalam tulisan mereka yang berjudul Foreign Interference in Domestic Politics menegaskan lumrahnya praktik campur tangan asing dalam politik domestik suatu negara demi mengamankan kepentingan mereka.
AS sendiri disebutkan oleh Dana Roberson dan T.J. Raphael dalam A Brief History of U.S. Intervention in Foreign Elections kerap menempatkan pemimpin yang dapat menguntungkan kepentingan nasional mereka.
Tak hanya itu, Prabowo pun seolah bisa fleksibel karena sejauh ini mampu mempertahankan hubungan baik dengan rival AS, yakni Tiongkok maupun Rusia.
Maka dari itu, PDIP bisa saja melihat opsi menduetkan Ganjar dengan Prabowo sebagai pilihan paling menguntungkan, setidaknya untuk dapat tetap berada dan mengamankan kekuasaan.
Akan tetapi, penjabaran di atas masih sebatas interpretasi dan salah satu skenario semata. Bergulirnya dinamika politik ke depan tentu akan terus menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)