Dengarkan artikel ini:
Mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto hadir perdana di barisan pendukung Prabowo-Gibran pada Minggu (4/2) kemarin. Mungkinkah Prabowo gandeng Terawan untuk lawan dominasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI)?
“I need a doctor. Call me a doctor” – Skylar Grey, “I Need a Doctor” (2011)
Bisa dibilang, hampir semua membutuhkan bantuan dokter. Ketika sakit melanda, misalnya, dokter menawarkan jasa mereka untuk mengobati pasien yang sakit. Mungkin, lagu “I Need a Doctor” dari Dr. Dre di atas bisa menggambarkan situasi itu.
Tidak hanya untuk mengobati, dokter juga memiliki peran penting dalam administrasi. Ketika harus izin sakit, surat dokter menjadi dokumen ‘ajaib’ yang bisa meruntuhkan kewajiban sekolah atau bekerja di hari itu.
Namun, faktanya, kekuatan ‘ajaib’ para dokter ini bukan hanya ada pada surat izin istirahat, melainkan surat-surat lain yang urusannya bisa pada tingkat nasional. Ikatan Dokter Indonesia (IDI), misalnya, memiliki kewenangan dalam mengatur kompetensi dan izin para dokter di Indonesia melalui surat tanda registrasi (STR) dokter.
STR ini menjadi salah satu syarat agar dokter bisa menjlankan operasinya, yakni melalui dokumen-dokumen seperti surat izin praktik (SIP) dan sertifikat kompetensi (Serkom). Serkom sendiri didapatkan apabila lolos seleksi kompetensi bidang (SKB) dari Kolegium Dokter Indonesia.
Salah satu dokter yang sempat berurusan dengan IDI dalam hal surat-surat ini adalah Letjen TNI (Purn.) Prof. Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad(K). Terawan sendiri menjabat sebagai menteri kesehatan (Menkes) pada tahun 2019-2020.
Persoalan penanganan Covid-19 dan berbagai silang pendapatnya dengan IDI turut mengantarkan dirinya ke tanggal terakhir jabatannya pada 23 Desember 2020.
Namun, untuk pertama kalinya, Terawan kembali terihat di kegiatan politik nasional, yakni dalam Debat Kelima Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 pada Minggu (4/2) kemarin, sebagai salah satu pendukung pasangan calon nomor urut dua, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Kehadiran Terawan jelas menimbulkan banyak tanda tanya. Mengapa Terawan berada di barisan pendukung Prabowo-Gibran? Peran apa yang bisa saja dimainkan oleh Terawan di masa mendatang – seandainya Prabowo-Gibran terpilih?
IDI Terlalu Dominan?
Seperti yang telah dijelaskan di atas, proses pengurusan berbagai dokumen penting berada di bawah naungan IDI – mulai dari STR, Serkom, hingga SIP. Ini membuat IDI memiliki kewenangan besar dalam perizinan dokter.
Lembaga asosiasi profesi memang dianggap memiliki otoritas simbolis dalam menentukan sektornya sendiri. Apalagi, asosiasi profesi ini berbasis pada keahlian khusus, yakni dunia medis.
Kewenangan IDI inipun bukan tanpa alasan. Ini bisa dijelaskan menggunakan hubungan konseptual antara pengetahuan (knowledge) dan kekuatan (power) dari Michel Foucault.
Foucault menjelaskan bahwa pengetahuan dan kekuatan dapat membangun kebenaran (truth). Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang dokter, misalnya, dapat diyakini dengan benar dalam hal-hal medis.
Sederhananya, pengetahuan ini bisa dianggap sebagai privilese yang akhirnya membuat sang pemilik pengetahuan mampu untuk mempengaruhi norma masyarakat, institusi, dan hubungan interpersonal. Kekuatan ini bisa dianggap sebagai kekuatan struktural (structural power).
Namun, bukan tidak mungkin kekuatan struktural disalahgunakan. Dalam tulisan berjudul “Sistem Validasi Kompetensi Dokter Membuka Celah Permainan” di Kompas.id, disebutkan bahwa sistem validasi kompetensi dokter akhirnya malah menyisakan banyak celah untuk dimainkan oleh para calo.
Menariknya, privilese yang dimiliki oleh profesi kedokteran juga membawa para dokter memiliki kecenderungan untuk menjadi arogan. Dalam beberapa jurnal, seperti Factors Affecting Healthcare Costs in Indonesia: What the Hospitals and Doctors Said dari Noorlailie Soewarno dan Bambang Tjahjadi, sejumlah dokter memiliki arogansi tertentu sehingga memaksakan preferensi mereka.
Arogansi ini juga yang bukan tidak mungkin menjadi penghambat bagi upaya pemerintah untuk menambah jumlah dokter di Indonesia. Padahal, berdasarkan data pada Juli 2022 yang dilansir dari Databoks, Indonesia masih kekurangan dokter hingga sebanyak 130 ribu dokter.
Salah satu alasan yang kerap muncul adalah persoalan kompetensi. Ada anggapan bahwa dokter-dokter dari luar negeri lebih cakap soal penyakit-penyakit gangguan metabolik-endokrin sedangkan penyakit yang lebih banyak ada di negara-negara tropis adalah penyakit menular.
Dengan adanya persoalan, maka, bagaimana cara Prabowo mengatasi persoalan nasional – seperti kekurangan dokter? Mungkinkah Terawan menjadi salah satu sosok yang berperan nantinya?
Tarung Terawan vs IDI?
Anggap saja masing-masing dokter memiliki pengetahuan yang dapat menjadi kekuatan untuk memengaruhi aktor-aktor lain. Kekuatan pengetahuan ala Foucault inilah yang akhirnya digunakan oleh Terawan saat kerap bersilang pendapat dengan dokter-dokter lainnya di IDI.
Metode diagnostik digital substraction angiography (DSA) dari Terawan, misalnya, dianggap oleh IDI sebagai upaya pengiklanan diri secara berlebihan. IDI juga sempat mencabut keanggotaan Terawan saat itu, yakni pada tahun 2018.
Bukan tidak mungkin, benturan antar-kekuatan pengaruh seperti inilah yang dicari oleh Prabowo. Dengan menyekolahkan banyak dokter baru di luar negeri, kekuatan-kekuatan pengetahuan yang baru juga akan hadir guna meruntuhkan dominasi satu kelompok tertentu di dunia keprofesian.
Pasalnya, Prabowo dalam debat kelima Pilpres 2024 pada Minggu (4/2) kemarin menyebutkan bahwa dirinya akan mengirim puluhan ribu lulusan untuk belajar kedokteran di luar negeri. Bahkan, juga menyetujui usulan calon presiden (capres) nomor urut satu yang mengatakan bahwa para profesor di luar negeri juga bisa dibawa ke Indonesia.
Belum lagi, Prabowo juga ingin membangun hingga tiga ratus fakultas kedokteran (FK) baru untuk menyelesaikan persoalan kekurangan dokter. Tujuannyapun sederhana, yakni agar seluruh masyarakat mendapatkan akses kesehatan yang layak.
Namun, IDI-pun menanggapi usulan Prabowo secara negatif. Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar (PB) IDI Adib Khumaidi justru menganggap keinginan untuk membangun tiga ratus FK adalah berlebihan karena justru harusnya berfokus pada distribusi dokter yang merata antardaerah.
Well, persoalan distribusi dokter antardaerah memang ada. Namun, data menunjukkan bahwa kekurangan jumlah dokterpun perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Bila benturan antar-kekuatan pengetahuan akhirnya terjadi di dunia kedokteran Indonesia, bukan tidak mungkin Prabowo akan menggandeng Terawan di masa mendatang. Menarik untuk diamati kelanjutannya. (A43)