Dalam politik, fashion bisa menentukan kemenangan seorang politisi dalam kontestasi elektoral.
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]epatah “don’t judge book by the cover” mungkin tak akan berlaku dalam dunia politik. Faktanya, “cover” atau penampilan justru bisa menentukan menang atau tidaknya seorang politisi pada kontestasi elektoral. Maka tak heran di beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS), para politisi memoles diri sebelum bertanding di Pemilihan Umum. Lantas, bagaimana dengan politik di Indonesia?
Baru-baru ini, persoalan fashion dalam dunia politik mulai menjadi sorotan. Adalah lembaga survei Kedai Kopi yang melakukan penelitian seputar kostum calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto yang dinilai membuat bosan pemilih. Direktur Eksekutif Kedai Kopi Hendri Satrio menilai fashion Prabowo sangat monoton dan itu-itu saja sejak Pilpres 2009, 2014 hingga 2019.
Kostum calon presiden Prabowo Subianto dinilai membuat bosan pemilih. Share on XSeperti merasa terusik, kubu Prabowo pun menanggapi kritikan tersebut. Koordinator Jubir Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak, menuturkan pakaian safari Prabowo itu melambangkan simbol perjuangan karena dulu pernah digunakan oleh para pendiri bangsa seperti Soekarno dan Mohammad Hatta. Sementara Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai Prabowo justru tampil apa adanya tanpa harus dipoles-poles seperti Jokowi.
Tanggapan Dahnil Anzar dan Fadli Zon tentu memiliki makna khusus. Mereka berdua seperti ingin bilang kalau fashion Prabowo bermuatan ideologis, simbol perjuangan, dan menunjukkan kalau Prabowo itu otentik, apa adanya, tidak palsu seperti penampilan Jokowi. Lantas, benarkah demikian?
Politik Fashion Ala Prabowo
Fashion adalah unsur penting dalam dunia politik. Selain retorika, pakaian adalah salah satu unsur yang sering diperhatikan oleh publik ketika para politisi tampil di hadapan mereka. Courtney Tenz dalam sebuah tulisan di portal Deutsche Welle berjudul How Politicians Play with Fashion menjelaskan bagaimana penampilan sangat memainkan peran dalam kemenangan John F. Kennedy pada Pilpres AS tahun 1960.
Maka tak heran ketika di awal masa kampanye, Sandi sempat mengatakan kalau Prabowo akan tampil dengan penampilan berbeda, lewat konsep “The New Prabowo”. The New Prabowo adalah konsep mengenai branding ulang (rebranding) Prabowo untuk mengubah citra dan penampilan sang jenderal agar lebih diterima oleh target pemilih mereka.
Hal itu berarti sebelum lembaga survei Kedai Kopi mengkritik cara berpakaian Prabowo, Sandi sudah lebih dulu mengatakan kalau pakaian safari Prabowo terlihat membosankan. Sandi menilai mungkin karena alasan pakaian itu pula, beberapa pihak menilai Prabowo terkesan kaku dan tak mudah untuk didekati.
Prabowo pun seperti bersedia mengikuti saran tersebut. Ia beberapa kali merubah penampilan. Semisal pada saat Prabowo mendaftar sebagai capres di Komisi Pemilihan Umum (KPU), ia datang dengan mengenakan kemeja putih polos non-safari, mengikat kepala dengan slayer berwarna merah dan berjoget dengan iringan lagu “syantik” dari atas mobil.
Politik fashion dalam konsep The New Prabowo itu tentu saja dimaksudkan untuk melunturkan nuansa kaku dan formal dalam diri Prabowo. Hal itu dikarenakan figur lama Prabowo dianggap bisa menghambatnya dan Sandi dalam meraih dukungan dari generasi milenial.
Padahal suara milenial sangatlah penting untuk Pilpres 2019 mendatang. Data dari Poltracking misalnya mencatat pemilih untuk Pilpres 2019 yang berusia antara 17-35 tahun mencapai 40 persen dari total keseluruhan pemilih yang tercatat.
Maka, tak heran jika dalam beberapa kesempatan, Prabowo pun terlihat seperti bersedia menjalankan konsep The New Prabowo demi meraih suara pemilih muda tersebut. Lantas, apakah gagasan Sandi tentang The New Prabowo itu masih dipakai?
Pak @prabowo sering mengekspresikan kegembiraan beliau dengan menari tradisional khas Jawa. Mau tahu kenapa?. ?✌ @sandiuno #AdilMakmur pic.twitter.com/UcsZxikAkd
— Dahnil A Simanjuntak (@Dahnilanzar) September 27, 2018
Jika merujuk pada pendapat dari lembaga survei Kedai Kopi, tentu saja The New Prabowo semakin terlihat buram. Saat ini Prabowo memang kembali seperti sedia kala, dalam artian ia kembali pada figur lama dengan menggunakan pakaian safari ketika tampil di hadapan publik. Bisa dikatakan, praktik politik The New Prabowo hanya berjalan dalam tempo singkat.
Konsep The New Prabowo memang belum memiliki hasil signifikan. Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA dengan tema Pergeseran Dukungan Capres-Cawapres Setelah Ijtima Ulama 2 menyebutkan bahwa branding The New Prabowo awalnya memberikan sentimen positif, namun isu itu belum populer di kalangan masyarakat.
Bisa saja Prabowo dan tim pemenangannya berkaca dari beberapa hasil survei seperti LSI Denny JA tersebut bahwa branding The New Prabowo belum mampu meningkatkan elektabilitas Prabowo. Maka, bukan tak mungkin hal itu menjadi salah satu faktor mengapa saat ini Prabowo memilih berpenampilan seperti dulu. Ia kerap kali tampil di hadapan publik dengan kemeja safari ala Soekarno.
Pada titik inilah, beberapa tokoh di kubu Prabowo kerap kali membela dirinya dengan mengatakan bahwa pakaian sang jenderal adalah simbol perjuangan dan jadi bukti kalau Prabowo itu otentik. Mungkinkah begitu?
Tak Ubah Pakaian, Prabowo Otentik?
Konsep otentik dan non-otentik belakangan menguak dalam panggung politik tanah air. Kubu Prabowo diduga telah memainkan wacana ini untuk membedakan figur Prabowo dengan Jokowi. Mereka seperti ingin mengatakan Prabowo itu otentik, tak dipoles dan berpenampilan apa adanya. Berbeda dengan Jokowi yang dinilai penuh dengan polesan dan pencitraan.
Jika merujuk pada politik fashion kedua kubu, sekilas pendapat kubu Prabowo tentang siapa capres otentik dan capres non-otentik bisa saja benar. Mendekati Pilpres 2019, penampilan Jokowi memang terindikasi telah dipoles. Dalam beberapa kesempatan, Jokowi kerap kali gonta-ganti kostum. Kadang tampil formal, kadang tampil milenial, bahkan sekalipun telah menjadi presiden, Jokowi tak ragu memakai celana jeans dan sepatu sneakers.
Jokowi lebih bisa menyesuaikan penampilan sesuai segmen masyarakat yang ia kunjungi. Pada titik ini, politik fashion Jokowi dinilai lebih unggul dibandingkan Prabowo, jika merujuk pada pendapat dari lembaga survei seperti Kedai Kopi.
AJ Agrawal seorang pengusaha dalam sebuah tulisan di Forbes berjudul How Politicians Market Themselves Based on What They Wear, disebutkan bahwa berpakaian santai dalam pengaturan tepat, membantu seorang kandidat politik lebih mudah untuk didekati. Mungkin saja, “kesantaian” pakaian Jokowi membuat ia lebih populer di kalangan masyarakat.
Hal ini tentu amatlah berbeda dengan Prabowo. Sekalipun sempat merubah tampilan, kini Prabowo kembali membawa “gaya lama” dengan berpakaian safari. Mungkinkah dengan berpakaian tersebut, ada makna lain yang ingin disampaikan Prabowo?
Menurut Vanessa Friedman, Direktur Mode dan Fashion Kritik di The New York Times, seseorang menyampaikan apa yang dia yakini melalui apa yang dia kenakan (pakaian). Bukan tak mungkin, lewat pakaian safari saat ini, Prabowo ingin sampaikan bahwa ia ingin menjadikan Indonesia disegani seperti di era Soekarno, mengingat pakaian safari Prabowo identik dengan pakaian Soekarno.
Alih-alih terlihat kaku, justru kemeja safari dengan empat kantung sudah sangat ikonik dalam diri Prabowo. Maka bisa saja ketika masyarakat melihat kemeja safari, mereka akan teringat dengan figur Prabowo.
Dalam hal berpakaian, Prabowo mungkin setara dengan pemimpin seperti Muammar Qaddafi dan Ayatollah Khoemeini. Muammar Qaddafi ikonik dengan pakaian tradisional Afrika, sedangkan Khoemeini ikonik dengan busana khas negara Iran.
Maka bukan tak mungkin, keengganan Prabowo dalam merubah pakaian karena ia telah berkaca dari hasil survei, sekaligus ingin menampilkan diri secara otentik ke hadapan publik.
Pada titik inilah, bisa disimpulkan bahwa pertarungan antara Prabowo dan Jokowi bukan sekedar pertarungan visi-misi dan program. Melainkan juga pertarungan antara politik fashion, di mana Prabowo hadir dengan fashion ideologis dan otentik, sedangkan Jokowi dengan fashion yang pragmatis menyesuaikan dengan konteks pemilihnya.
Lantas, apakah fashion ideologis dan otentik Prabowo bisa mengantarkan sang jenderal ke kursi kepresidenan, mengingat fashion seperti itu telah digunakan oleh Prabowo dalam tiga Pilpres di tahun berbeda? Apalagi Prabowo belum meraih kemenangan satu pun dalam gelaran-gelaran tersebut. Sementara Jokowi, sudah membuktikan kemenangan pada Pilpres 2014.
Menarik untuk ditunggu hasilnya. (D38)