Partai Gerindra resmi berkoalisi dengan PKB di Pilpres 2024. Mungkinkah Prabowo Subianto diperdaya Muhaimin Iskandar (Cak Imin) soal kemampuan PKB meraup dukungan di Jawa Timur dan NU?
Setelah ramai dirumorkan kembali menggandeng PDIP, Partai Gerindra akhirnya memutuskan koalisi bersama dengan PKB. Secara simbolis, pesan kuat itu terlihat ketika kedua partai bersama-sama mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 8 Agustus 2022.
Ihwal ini juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI) Abdul Hakim MS. “Pendaftaran yang dilakukan secara bersamaan ini, hemat saya, menunjukkan bahwa Gerindra-PKB ingin menunjukkan keseriusan berkoalisi menghadapi Pemilu 2024,” ungkapnya pada 8 Agustus 2022.
Atas terbentuknya koalisi ini, ada tiga pertanyaan penting yang patut diajukan.
Pertama, kenapa Gerindra memilih PKB sebagai rekan koalisi?
Kedua, dengan Prabowo Subianto maju sebagai capres, siapa cawapres dari PKB yang akan ditunjuk?
Ketiga, tepatkah pilihan Prabowo berkoalisi dengan partai yang dipimpin oleh Muhaimin Iskandar (Cak Imin) itu?
Jabar, Jatim, plus NU
Untuk menjawab pertanyaan pertama, ada setidaknya dua jawaban untuk itu. Pertama, Prabowo tampaknya menyadari kesulitan berkoalisi dengan PDIP. Mengutip politisi senior PDIP Panda Nababan, dengan PDIP mengincar capres, itu berbenturan dengan hasrat politik Prabowo.
Kemudian, seperti yang diulas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, PDIP Sadar Puan akan Kalah?, maju bersama Puan Maharani bukanlah pilihan menguntungkan bagi Prabowo. Seperti yang disiratkan Panda, duet ini kemungkinan akan kalah.
Kedua, ini soal matematika pemilu. Berdasarkan berbagai survei, misalnya dari Charta Politika pada Juli 2022, Prabowo kuat di Jawa Barat (Jabar), tapi lemah di Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Timur (Jatim). Artinya, Prabowo perlu menggandeng sosok dan partai yang memiliki basis pendukung kuat di Jateng dan/atau Jatim.
Dengan PDIP telah lama mengunci Jateng, pilihan Prabowo sekiranya mengarah pada Jatim. Lagipula, Jabar dan Jatim adalah provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Jabar memiliki populasi sebesar 48.274.162 jiwa, sementara Jatim 40.665.696 jiwa.
Nah, konteks Jatim ini membuat PKB menjadi rekan koalisi yang seksi. Jatim merupakan basis suara utama partai lebah. Pada Pemilu 2019, PKB memperoleh 4.198.551 suara di Jatim. Jumlah ini merupakan sepertiga dari total suara PKB yang mencapai 13.570.097 suara. Sepertiga suara PKB disumbang hanya oleh satu provinsi.
Selain itu, Jatim juga merupakan konsentrasi massa Nahdlatul Ulama (NU). Mengutip NU Online, jumlah warga NU Jatim mencapai 24.487.914 jiwa, sekitar 60 persen penduduk Jawa Timur. Seperti yang sudah diketahui, NU merupakan pemilih tradisional PKB.
Sedikit menjabarkan, NU merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf, mereka yang mengaku NU separuhnya dari Muslim di Indonesia.
Dengan jumlah penduduk Muslim sebesar 231,06 juta, warga NU kira-kira berjumlah 115,53 juta. Artinya, secara statistik dukungan warga NU sangat vital dalam menentukan kemenangan.
Prabowo sendiri terlihat beberapa kali mengunjungi ulama NU. Pada 19 April 2022, misalnya, Prabowo mengunjungi salah satu ulama karismatik NU sekaligus anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Habib Luthfi bin Yahya di kediaman pribadinya di Pekalongan, Jawa Tengah.
Kemudian, pada 4 Mei 2022, Prabowo berkunjung ke Pondok Pesantren Tebuireng dan berziarah ke makam Gus Dur. Ketika berziarah, Prabowo ditemani oleh cucu pendiri NU KH Hasyim Asyari, yakni KH Irfan Yusuf Hakim (Gus Irfan).
Menurut Gus Irfan, Prabowo memiliki hubungan panjang dengan NU, khususnya Pondok Pesantren Tebuireng. “Jangan anggap Pak Prabowo mendekat ke pesantren karena urusan pilpres. Bukan, karena memang sejak awal sudah dekat,” ungkapnya pada 5 Mei 2022.
Cak Imin atau Khofifah?
Data statistik dan gestur politik itu sekiranya menguatkan informasi yang dihimpun oleh Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik bahwa Prabowo berusaha menggandeng Khofifah Indar Parawansa sebagai wakilnya.
Seperti yang telah diulas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Layakkah Khofifah Jadi Rebutan?, setidaknya ada dua alasan kuat kenapa Khofifah dilirik.
Pertama, Gubernur Jatim itu dipercaya dapat mendongkrak keterpilihan. Ini misalnya terlihat dari survei Political Weather Station (PWS) pada April 2022, yang menyebut pasangan Prabowo-Khofifah berpotensi menang di Pilpres 2024 dengan persentase sebesar 45,6 persen.
Peneliti PWS Mohammad Tidzi menyebut tingginya persentase survei kemenangan itu, menunjukkan pasangan Prabowo-Khofifah menguasai Jabar dan Jatim.
Selain PWS, survei Charta Politika pada Februari 2022 juga menunjukkan elektabilitas Khofifah merupakan yang paling tinggi di Jatim dengan persentase sebesar 41,7 persen.
Kedua, Khofifah dipercaya sebagai representasi pemimpin NU. Ketua DPW PAN Jatim Ahmad Rizki Sadig juga menilai Khofifah sukses memimpin Muslimat NU, organisasi perempuan terbesar di Indonesia. Khofifah juga merupakan politisi PKB.
Penjabaran ini sekiranya menjawab pertanyaan nomor dua. Mungkin ada yang bertanya, kenapa Prabowo tidak maju bersama Cak Imin? Besar kemungkinan ini soal ketegangan Cak Imin dengan keluarga Gus Dur dan pengurus PBNU saat ini. Selain itu, elektabilitas Cak Imin masih di bawah Khofifah.
Terkena Iming-iming?
Setelah menjawab pertanyaan pertama dan kedua, sekarang kita akan menjawab pertanyaan ketiga. Tepatkah Prabowo memilih PKB sebagai rekan koalisi?
Pertanyaan ini menjadi menarik dan penting karena koalisi ini termasuk dini dilakukan. Artinya, mestilah terdapat kematangan perhitungan yang melatarbelakanginya.
Oleh karena itu, sekarang kita akan menguji, seberapa matang perhitungan itu. Sebagai pijakan teoretis, tulisan Ismar Volic yang berjudul The Missing Ingredient in Our Democracy: Math sangat tepat untuk digunakan.
Menurut Volic, dengan banyaknya tebaran statistik menyesatkan, metrik palsu, hingga angka yang dikondisikan, matematika atau perhitungan yang tepat sangat penting dalam pengambilan keputusan politik.
Menurut Volic, dalam membaca angka-angka, politisi sering kali menggunakan emosi daripada penalaran yang cermat. Ketika melihat statistik yang tinggi, dengan cepat akan disambut sebagai sinyal baik. Padahal, jika dianalisis lebih dalam, statistik yang tinggi tersebut belum tentu seperti yang diyakini.
Nasihat Volic tersebut dapat kita gunakan untuk membedah asumsi terkait besarnya kemampuan PKB menyerap dukungan warga NU.
Sebagai pijakan awal, kita dapat mengutip pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyebut, sejak dulu warga NU dibebaskan dalam memilih partai politik maupun kandidat pilihannya. Artinya, tidak ada partai yang dapat mengklaim massa NU pasti mereka dapatkan.
Lalu, bagaimana dengan PKB? Bukankah kantong suaranya dari massa NU?
Tulisan Greg Fealy yang berjudul Nahdlatul Ulama and the politics trap dapat menjawab pertanyaan itu. Menurut Fealy, hubungan PKB dengan NU terlihat dekat sejak 2014. Menjelang Pemilu 2014, menurut Fealy, Cak Imin sebenarnya khawatir PKB tidak memenuhi ambang batas parlemen 3,5 persen.
Sedikit memberi konteks, suara PKB pada Pileg 2009 anjlok dari 11.989.564 suara (10,57 persen) pada Pileg 2004, menjadi hanya 5.146.122 suara (4,94 persen). Berkurang lebih dari setengahnya.
Penurunan itu besar kemungkinan karena partai kurang siap menghadapi pileg karena gejolak internal antara kubu Cak Imin dan kubu Gus Dur.
Kembali ke tulisan Greg Fealy. Menurutnya, kekhawatiran itu membuat Cak Imin merancang dua strategi untuk mengamankan dukungan warga NU.
Pertama, Cak Imin disebut mengikat NU dengan penyaluran dana dan aset. Seluruh anggota DPR PKB di tingkat nasional dan daerah diinstruksikan untuk memberikan dana bulanan kepada NU untuk keperluan administrasi.
Posisi kader PKB di legislatif juga disebut digunakan untuk mendapatkan dana bagi program sosial dan keagamaan NU. PKB juga menjamin, jika partai dibubarkan, semua asetnya akan dilimpahkan ke NU.
Kedua, Cak Imin berhasil merangkul pengusaha kaya yang dapat mendanai program pemilunya di komunitas NU di daerah pemilihan PKB di Jatim Jateng.
Fealy misalnya menyebut nama pemilik Lion Air, Rusdi Kirana, yang berhasil dibujuk masuk partai dan menjadi wakil ketua PKB.
Menurut Fealy, keberhasilan dua strategi itu terlihat dari Said Aqil Siradj maupun Ma’ruf Amin yang memberikan dukungan simbolis kepada PKB dan banyaknya kiai NU yang secara terbuka mendukung partai lebah.
Bertolak dari pernyataan Mahfud MD dan tulisan Greg Fealy, kita dapat menarik satu kesimpulan penting. Untuk mendapat dukungan warga NU, tidak harus dengan menggandeng PKB, melainkan cukup meniru langkah dan strategi yang dilakukan oleh Cak Imin.
Seperti yang disebutkan dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Apakah NU Penentu Pilpres?, cara untuk mendapat simpati warga NU adalah pendekatan bottom-up, yakni dengan melakukan pendekatan langsung ke pesantren dan kiai-kiai NU di daerah.
Dengan kekuatan logistik yang besar, Prabowo dapat meniru strategi Cak Imin yang dipaparkan Greg Fealy. Gerindra dapat memberikan dukungan logistik berkala untuk mendukung program sosial dan keagamaan NU, serta ke pesantren-pesantren NU.
Artinya apa? Mungkin dapat disimpulkan bahwa Prabowo telah diperdaya oleh Cak Imin terkait kemampuan PKB dalam menghimpun dukungan warga Jatim dan NU. Strategi yang dipaparkan Greg Fealy dapat dilakukan oleh partai mana pun.
Seperti yang dijabarkan dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Kenapa PAN Nekat Incar Jawa Timur?, PAN juga tengah berusaha meraup suara NU Jatim.
Well, sebagai penutup, ada dua kesimpulan yang dapat ditarik. Pertama, Prabowo memang diperdaya oleh Cak Imin. Ketua Umum Partai Gerindra itu terkena iming-iming Cak Imin soal dukungan massa NU Jatim.
Kedua, Prabowo mungkin sudah sadar atas iming-iming itu. Bagaimana pun, mantan Danjen Kopassus itu adalah politisi senior yang kaya akan pengalaman. Besar kemungkinan koalisi Gerindra-PKB adalah pesan simbolis semata. Ini untuk memuluskan pergerakan Gerindra di akar rumput dalam menyerap dukungan warga NU, khususnya di Jawa Timur. (R53)