Respons Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin atas pertemuan utusan PDIP Puan Maharani ke Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto tampak kurang positif. Mengapa itu ditunjukkan Cak Imin?
Ketua Umum (Ketum) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menanggapi dingin wacana duet calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto-Puan Maharani.
Cak Imin menyiratkan sebuah penegasan bahwa semua keputusan yang menyangkut Partai Gerindra tetap harus melalui izin atau kesepakatan dengan dirinya dan PKB. Seperti yang telah diketahui, Partai Gerindra dan PKB telah menyepakati koalisi politik menjelang 2024 pada 13 Agustus lalu.
“Kita sama Gerindra udah tanda tangan, untuk semua keputusan adalah di Pak Prabowo sama saya,” begitu pernyataan Cak Imin merespons wacana duet Prabowo-Puan kemarin.
Wacana duet sendiri kembali muncul setelah pertemuan antara Ketum Partai Gerindra dan utusan PDIP itu di kediaman Prabowo di Hambalang, Jawa Barat pada Minggu, 4 September.
Cak Imin juga menyarankan sebuah mekanisme informal politik yakni, wacana duet Prabowo-Puan harus kembali dibicarakan dengan melibatkan PKB. Terlebih, menurutnya, suara PKB juga akan menentukan andai keduanya benar-benar berpasangan dan maju di pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
Atas sarannya, sosok yang juga Wakil Ketua DPR RI itu mengaku akan membicarakan hal itu langsung dengan Puan dalam agenda pertemuan keduanya pada pekan ini.
Cak Imin menyebut akan menanyakan langsung kepada anak Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri itu terkait hasil pertemuannya dengan Prabowo.
Kesan resistensi Cak Imin sendiri ia perjelas dengan mengatakan bahwa dorongan agar dirinya maju di Pilpres 2024 merupakan keputusan Muktamar PKB. Sehingga, apabila ada perubahan apapun atas keputusan itu harus kembali dibahas dalam Muktamar dengan melibatkan semua kader daerah.
Lalu, mengapa Cak Imin seolah kurang senang dengan kehadiran Puan dan wacana duet putri mahkota Megawati itu dengan Prabowo di Pilpres 2024?
Cak Imin Menggertak Puan?
Langkah dan pernyataan politik Cak Imin selalu tampak menarik di setiap edisi kontestasi elektoral sejak ia menjabat Ketum PKB pada tahun 2005. Bahkan, wacana mengenai statement-nya yang berambisi menjadi capres nyaris tak pernah absen menghiasi media massa.
Pada edisi 2024, sosok yang merupakan keturunan KH Bisri Syansuri, salah seorang ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama (NU), juga mulai terlihat dideklarasikan atau mendeklarasikan diri sebagai capres sejak tahun lalu.
Serupa dengan momentum menyongsong Pilpres 2019, medio pertengahan tahun 2021 juga telah diramaikan oleh baliho bergambar Cak Imin yang dibubuhi angka 2024, bendera Indonesia, serta tulisan “Padamu Negeri Kami Berbakti”.
Namun, langkah politik lanjutan Cak Imin yang telah menginisiasi koalisi dengan Partai Gerindra untuk menyongsong Pemilu dan Pilpres 2024, tampak kurang ideal bagi posisi politik PKB saat Puan-PDIP mendekat.
Secara matematika politik, resistensi dan kesan kurang senang Cak Imin kiranya dapat dipahami. Sebab, PDIP berpotensi mengurangi jatah atau konsesi politik PKB andai kata Prabowo menang di 2024.
Selain merupakan partai penguasa saat ini, suara PDIP juga dinilai masih akan perkasa di 2024. Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) periode Agustus 2022 menunjukkan elektabilitas partai banteng masih menempati posisi teratas dengan 24,8 persen.
Artinya, kontribusi secara tidak langsung atas pasangan capres-cawapres yang diusung PDIP dalam pemenangan tentu akan membuat mereka berhak secara politik atas “jatah lebih” dalam pemerintahan.
Cak Imin kiranya juga menyadari hal itu. Oleh karena itu, dia tampaknya memeragakan gertakan politik atau political bluffing dengan menunjukkan rasa terganggu atas pertemuan Puan dengan Prabowo pekan lalu.
Kevin Rounding dan Jill A Jacobson dalam The Psychology of Bluffing menyebut menggertak atau bluffing sebagai bentuk umum dan konsekuensial dari perilaku kompetitif di antara individu maupun kelompok.
Menggertak bisa menjadi keterampilan yang menguntungkan dalam lingkungan yang beragam dan sangat kompetitif, termasuk politik. Kata kunci dari bluffing atau menggertak sendiri adalah demi mencapai daya tawar tertinggi.
Dalam konteks Cak Imin, persyaratan capres-cawapres yang harus mendapat kesepakatan darinya seolah turut dapat dibaca dan bermuara pada upaya menaikkan daya tawar PKB.
Gertakan demi mengelevasi daya tawar sendiri kiranya sukses diperagakan Cak Imin pada Pilpres 2019. Ketika itu, dia bersikukuh menjadi cawapres Joko Widodo (Jokowi), bahkan telah mendeklarasikan diri sejak Maret 2018.
Meskipun gagal karena Ma’ruf Amin yang akhirnya terpilih, PKB mendapatkan posisi politik sepadan dengan torehan empat kursi menteri, walau ada satu yang telah direshuffle, yakni Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi.
Lalu, jika mengacu pada akhir dari manuver Cak Imin di 2019, berbagai manuver hingga pertarungan politik 2024 kelak kiranya hanya merupakan front stage atau panggung depan dari sebuah dramaturgi semata.
Dramaturgi (dramaturgy) merupakan konsep yang dipopulerkan oleh tokoh kultus berbagai teori sosiologi asal Kanada, Erving Goffman. Konsep itu mengadopsi istilah di teater atau drama terkait adanya front stage atau panggung depan dan back stage atau panggung belakang untuk menjelaskan interaksi sosial.
Saat diadopsi dalam dimensi politik, dramaturgi kerap dikutip untuk menjelaskan bagaimana realitas politik bekerja. Front stage atau apa ditampilkan di hadapan publik seringkali berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi (back stage).
Oleh karena itu, gertakan Cak Imin tampaknya tidak serta merta dapat diartikan bahwa Puan dan PDIP akan ditolak mentah-mentah dalam koalisi Partai Gerindra-PKB.
Terlebih, apabila PDIP tidak tunduk pada gertakan itu dan balik menantang gertakan (call the bluff) Cak Imin.
Itu dikarenakan, Rounding dan Jacobson juga menjelaskan biasanya seiring waktu, posisi serta kondisi sebenarnya sosok bluffer atau penggertak akan terungkap, seperti dalam sebuah permainan poker.
Selain itu, orang yang digertak selalu dapat melakukan call the bluff untuk menguak gerak-gerik maupun kekuatan palsu si penggertak.
Dengan kata lain, terdapat satu skenario bahwa PDIP bisa saja berani untuk menikung Cak Imin, seperti menjadikan Puan sebagai cawapres Prabowo. Selain itu, PDIP pun tampaknya tidak keliru jika meminta “jatah” lebih dan mengurangi konsesi PKB saat mereka menang nantinya.
Akan tetapi, benarkah impresi ketidaksukaan Cak Imin atas pendekatan Puan kepada Prabowo merupakan gertakan semata?
Cak Imin Sadarkan Prabowo?
Satu probabilitas lain kiranya mengemuka di balik kesan resistensi Cak Imin atas wacana duet Prabowo-Puan. Hal itu tidak lain berasal dari kemungkinan kalkulasi Cak Imin dan PKB yang mungkin tidak dilihat para analis politik, maupun Prabowo sendiri, yakni peluang kekalahan jika merangkul Puan.
Peneliti di Department of Government at the School of Public Affairs American University Douglas Pierce menyatakan bahwa analis politik dan pemantik wacana politik sering kali tidak rasional atau bahkan menjerumuskan.
Tanpa landasan teori, konsep, maupun sintesa komprehensif, wacana politik sering digulirkan begitu saja. Tidak adanya kewajiban maupun akuntabilitas dari para analis dan perumus isu serta wacana membuat kalkulasi politik yang disajikan kerap tidak relevan.
Selain itu, Pierce juga mengatakan penilaian analis politik kemungkinan besar akan diinformasikan oleh reaksi emosional, keberpihakan, dan bias konfirmasi seperti halnya para “non-ahli”.
Dalam konteks wacana duet Prabowo-Puan, perhitungan politik komprehensif mungkin saja telah dilihat Cak Imin.
Menggandeng Puan dengan elektabilitasnya yang rendah serta kerap mendapat sentimen minor publik akibat tindak-tanduk dan nihil prestasi, bisa saja dilihat berpotensi menenggelamkan Prabowo.
Menariknya, kalkulasi serupa datang dari internal PDIP sendiri. Dia adalah politisi kawakan PDIP Panda Nababan yang pernah menyiratkan bahwa maju bersama Puan bukanlah pilihan menguntungkan bagi Prabowo. Duet tersebut dalam analisisnya kemungkinan akan kalah.
Oleh karena itu, impresi gertak dan ketidaksukaan Cak Imin boleh jadi merupakan sinyal pengingat bagi Prabowo untuk tak meminang Puan sebagai cawapres.
Kendati demikian, analisis di atas masih merupakan penafsiran yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi, ataupun sebaliknya. Proses politik yang sangat dinamis menjelang Pemilu dan Pilpres 2024 kiranya masih akan cukup menarik untuk dinantikan. (J61)