Pada debat kedua Pilpres 2019, Jokowi menyebut Prabowo memiliki lahan ratusan hektare di Kalimantan Timur dan Aceh Tengah kala berdebat tentang sertifikat tanah. Pernyataan itu mendapatkan reaksi beragam dari publik. Sementara Fadli Zon menilai seharusnya hal itu menjadi kebanggaan nasional.
PinterPolitik.com
“Instrumental union between capitalists and politicians designed to allow the former to acquire wealth, legally or otherwise, and the latter to seek and retain power.”
:: Ganesh Sitaraman ::
[dropcap]B[/dropcap]anyak yang menilai Prabowo Subianto tampil buruk dalam sesi debat kedua Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, terutama terkait isu Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Mantan Danjen Kopassus itu seperti menggali lubang sendiri ketika menanggapi aksi pembagian sertifikat tanah untuk masyarakat yang dilakukan oleh Jokowi.
Mengutip Pasal 33 UUD 1945, Prabowo berjanji akan mewujudkan amanat dalam pasal tersebut, yakni air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara. Dengan jumlah penduduk yang terus meningkat, menurut Prabowo suatu saat tidak akan ada lagi yang bisa dibagi.
Jokowi langsung menyambar kutipan Pasal 33 UUD 1945 itu dengan menunjukkan bahwa Prabowo adalah pemilik ratusan ribu hektare lahan perkebunan di Kalimantan Timur dengan 220 hektare dan di Aceh Tengah dengan 120 ribu hektare.
Meskipun begitu, penampilan Prabowo tetap mendapatkan pembelaan dari para pendukungnya. Upaya Jokowi “menelanjangi” sang jenderal itu masih dilihat sebagai sesuatu yang positif, terutama oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.
Salah satunya disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon. Alih-alih bersembunyi karena diketahui memiliki lahan usaha begitu luas, Fadli justru menganggap hal itu seharusnya menjadi kebanggaan nasional.
Menurut Fadli, kepemilikan aset itu membuktikan bahwa masih ada orang Indonesia yang memiliki lahan yang cukup luas. Menurut Fadli, hal itu jauh lebih baik ketimbang lahan tersebut dikuasai oleh pihak asing.
Tentu saja pernyataan Fadli tersebut menimbulkan tanda tanya. Apakah memang masyarakat pantas bangga dengan fakta tersebut? Atau hal itu hanya menegaskan posisi Prabowo sebagai elite oligarki yang selama ini cenderung memiliki makna negatif?
Oligarki Nasionalis, Paradoks Prabowo
Di akhir debat tersebut, Prabowo mengakui soal kepemilikan lahan yang dituding Jokowi, namun ia memastikan bahwa statusnya atas lahan tersebut adalah sebagai Hak Guna Usaha (HGU), yang menurutnya sewaktu-waktu bisa diambil alih oleh negara. Prabowo juga berlindung pada gagasan nasionalisme ketika mengakui kepemilikan lahan usaha tersebut.
Dilansir dari laman Prabowosubianto.info, lahan yang disangkakan oleh Jokowi kepada Ketua Umum Partai Gerindra itu adalah yang dikuasai oleh perusahaan bernama PT Tusam Hutani Lestari yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam, sebagai sumber bahan baku utama kertas gelondongan. Konsesi perusahaan tersebut berlaku hingga tahun 2042 untuk area sebesar 97.300 hektare.
Sementara di Kalimantan Timur, Prabowo juga memiliki perusahaan bernama PT Tanjung Redeb Hutani, dengan area perkebunan seluas 180.330 hektare, serta perizinan dan hak pengelolaan hingga 2035.
Meskipun begitu, Prabowo tidak hanya memiliki bisnis di bidang perhutanan. Ia juga dikenal memiliki perusahaan di bidang pertambangan hingga kelapa sawit.
Pada titik ini, posisi Prabowo tentu saja adalah politisi sekaligus pebisnis. Fakta tersebut kontradiktif dengan kampanye yang selama ini ia suarakan terkait penguasaan sumber ekonomi oleh negara seperti yang diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945.
Hal ini menjadi paradoks sebab ide kepemilikan oleh negara yang konsepsinya sesuai dengan ekonomi kerakyatan cenderung bertentangan dengan kenyataan bahwa Prabowo memiliki tanah dan usaha dalam jumlah yang besar yang warnanya tentu saja sangat kapitalistik.
Jika begitu, bagaimana Prabowo akan merealisasikan janji kampanyenya?
Perlu diakui bahwa dalam diskurus ekonomi politik, konsep kekuasaan – terutama di negara demokratis – erat kaitannya dengan keberadaan oligarki.
Oligarki dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Dalam hal ini, kelompok yang diisi oleh segelintir elite ini memiliki kepentingan baik politik maupun ekonomi.
Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy menyebutnya sebagai “pertahanan kemakmuran”. Menurutnya, perilaku elite tersebut bermuara untuk mempertahankan kekayaan, melindungi apa yang sudah mereka miliki dan memiliki kecenderungan untuk menimbun harta.
Oleh karena itu, oligarki dalam spektrum ekonomi politik digunakan sebagai kendaraan untuk meningkatkan kekuasaan ekonomi (economic power) dengan kapasitas kekuasaan politik (political power) dan juga sebaliknya, menggunakan kekuasaan ekonomi untuk memperluas dan mempertahankan kekuasaan politik.
Sementara itu, Ganesh Sitaraman dalam artikel Countering Nationalist Oligarchy menyebutkan bahwa oligarki mampu bertahan dalam sistem demokrasi karena adanya penggabungan sifat nasionalisme dengan otoritarianisme di sebuah negara. Elite oligarki memanfaatkan sentimen nasionalisme sebagai pembenaran terhadap apa yang dilakukannya.
Ganesh menekankan motif kepentingan ekonomi politik dalam mengidentifikasi oligarki nasionalis. Keduanya memiliki kepentingan politik kekuasaan maupun mengejar kekayaan pribadi.
Salah satu contoh oligarki nasionalis yang disebut Ganesh adalah Presiden Rusia, Vladimir Putin. Politik Rusia di bawah rezim Putin kental akan relasi dengan kelompok oligarki.
Putin adalah presiden yang menggunakan isu nasionalisme ekonomi sebagai bahan bakar kampanye politiknya ketika menggantikan Boris Yeltsin. Di bidang ekonomi, Putin memaksimalkan sumber daya alam sebagai sumber pendapatan negara.
Putin juga mengontrol kelompok oligarki zaman Yeltsin dan menggantikan dengan orang-orang terdekatnya. Putin menguasai pengelolaan sumber daya alam yang dikombinasikan dengan tangan-tangan oligarki. Misalnya saja kedekatannya dengan CEO Gazprom, Alexey Miller. Selain itu, Putin juga memiliki kedekatan degan salah satu pengusaha minyak, Max Freidzon.
Brian Taylor dalam bukunya The Code of Putinism menyebut mantan anggota KGB itu sebagai gabungan antara presiden – sebagai jabatan politik – serta bos dari jaringan klan yang menguasai sumber ekonomi.
Oleh karena itu, konsep nasionalisme yang biasa digunakan oleh Putin pada akhirnya hanya menjadi strategi politik untuk memperkuat kedudukannya sebagai penguasa dengan bantuan dari kelompok oligarki yang memiliki kekuasaan dari sumber ekonomi.
Dalam kadar tertentu, konsep oligarki nasionalis ini tidak jauh berbeda dengan Prabowo. Perbedaannya adalah jika Putin mengandalkan lingkaran terdekatnya untuk memperkuat ekonomi politiknya, sementara Prabowo selain juga memiliki kedekatan dengan oligarki ekonomi, ia sendiri turut menjadi pebisnis langsung.
Hashim Djojohadikusumo, pebisnis sekaligus adik kandung Prabowo, sering disebut sebagai lingkaran oligarki di balik kekuatan politik Prabowo. Hashim disebut menjadi pendonor kampanye presiden Prabowo tahun 2014 dan 2019.
Kepemilikan @prabowo atas ratusan ribu hektare lahan itu bukan masalah pribadi, tapi soal komitmen calon pemimpin yg kemana2 koar2 pro rakyat tp saat yg sama menguasai ratusan ribu lahan yg bisa menjadi sumber kehidupan rakyat banyak
— Mohamad Guntur Romli (@GunRomli) February 17, 2019
Pasal 33 UUD 1945, Mungkinkah Prabowo?
Hal ini tentu saja membawa keraguan terhadap ide kampanye Prabowo yang selama ini membawa narasi nasionalisme ekonomi. Dalam setiap kesempatan, sang jenderal selalu menjual ide nasionalisme. Ia selalu menekankan bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam yang dieksploitasi sekian lama oleh bangsa asing, sehingga menjadikan rakyat Indonesia seperti budak di negeri sendiri.
Kekayaan Indonesia selalu dihisap untuk kepentingan bangsa asing dan menurutnya sekarang saatnya untuk berdiri di atas kaki sendiri, lalu mengembalikan kehormatan dan kedaulatan bangsa.
Namun, di sisi yang lain, ia adalah bagian dari oligarki yang menguasai sumber daya ekonomi untuk kepentingan pribadi. Hal ini turut menjadi perhatian organisasi non-pemerintah seperti Greenpeace yang mengatakan bahwa oligarki ekonomi menjadi persoalan mendasar dari isu lingkungan hidup secara khusus dan ekonomi secara umum.
Terkait hal tersebut, Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menyebutkan bahwa aktor-aktor politik di Indonesia punya kepentingan yang besar dengan industri ekstraktif seperti kelapa sawit dan batu bara. Persoalan kemudian muncul ketika pelaku industri tersebut mendukung dan membiayai kampanye politik elektoral para politisi tersebut.
Paradoks Prabowo dalam oligarki nasionalis. Share on XHal ini juga sejalan dengan pendapat dari Gaetano Mosca yang mengatakan bahwa kelompok oligarki juga menjalankan fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan yang diberikan dari kekuasaan tersebut. Dalam hal ini, masyarakat pada akhirnya akan menjadi korban karena tidak mersakan manfaat, meskipun sumber ekonomi dikelola oleh pengusaha dari dalam negeri.
Pada akhirnya, pertanyaan terbesarnya adalah apakah masyarakat masih perlu bangga dengan sumber-sumber ekonomi yang dimiliki oleh oligarki nasionalis seperti Prabowo? Atau apa yang disebutkan oleh Fadli Zon di awal tulisan hanyalah pelarian untuk membenarkan kiprah junjungannya? Menarik untuk ditunggu. (A37)