Dengarkan artikel ini:
Di tengah upaya pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri, muncul kesadaran bahwa siasat โcari musuhโ juga dibutuhkan. Mengapa demikian?
โThe heroโs adventure is the conquest of the dark power of the self. It is always a cycle, a going and a returning.โ โ Joseph Campbell, The Hero with a Thousand Faces (1949)
Kenny baru saja menutup laptopnya setelah menonton pidato Xi Jinping yang disampaikan dalam suasana yang tegang namun terukur. Dalam video tersebut, Xi berbicara soal pentingnya kedaulatan ekonomi dan menyindir keras kebijakan tarif tinggi yang dilancarkan oleh Presiden Donald Trump terhadap barang-barang Tiongkok.
Pidato itu tidak sekadar bicara ekonomi, tetapi juga sarat dengan nada nasionalisme dan peringatan terhadap โintervensi asing.โ Kenny memperhatikan bagaimana Xi memilih kata-kata yang membangkitkan semangat kolektif rakyatnya, seolah ingin menegaskan bahwa ini bukan sekadar perang dagang, melainkan pertarungan mempertahankan martabat bangsa.
Ia teringat akan kuliah filsafat politik yang pernah diikutinya, ketika seorang dosen mengatakan bahwa musuh sering kali dibutuhkan untuk menguatkan identitas. Dalam konteks ini, Amerika dijadikan simbol kekuatan luar yang hendak melemahkan Tiongkok, sehingga resistensinya dapat dianggap sebagai bentuk patriotisme.
Namun yang menarik bagi Kenny bukan hanya isi pidatonya, tetapi bagaimana pidato itu dikemas layaknya narasi pahlawan dan penjahat. Xi tampil sebagai sosok pelindung rakyat, sementara Trump digambarkan sebagai agresor yang ingin mengganggu tatanan dunia yang adil.
Kenny pun mulai berpikir, apakah ini hanyalah strategi komunikasi yang biasa digunakan oleh para pemimpin dunia untuk menggalang dukungan? Ataukah benar-benar mencerminkan realitas yang kompleks dan saling mencurigai?
Ia menutup hari itu dengan satu pertanyaan yang terus berputar di benaknya: mengapa pemimpin negara kerap membutuhkan musuh dalam pidato dan narasinya?
Menyoal Narasi Common Enemy
Setelah menonton pidato Xi Jinping soal perang dagang, Kenny mulai memahami bahwa politik bukan hanya soal kebijakan dan data, tapi juga tentang cerita. Ia melihat bagaimana Xi memosisikan dirinya sebagai pemimpin yang sedang membawa rakyat Tiongkok dalam sebuah perjalanan menghadapi musuh yang mengancam stabilitas nasional.
Dalam pikirannya, Kenny langsung teringat akan konsep The Heroโs Journey dari Joseph Campbell dalam bukunya The Hero with a Thousand Faces. Campbell menjelaskan bahwa setiap kisah besar memiliki pahlawan yang harus meninggalkan zona nyamannya, menghadapi berbagai rintangan, lalu kembali dengan membawa perubahan atau kemenangan.
Xi Jinping, dalam narasinya, tampak menempatkan diri sebagai tokoh utama dalam perjalanan kolektif rakyatnyaโseorang hero yang harus melawan tekanan dan ketidakadilan global demi mencapai kemandirian ekonomi. Musuh eksternal, seperti Donald Trump dan kebijakan tarifnya, menjadi bagian penting dari โcobaanโ dalam struktur cerita yang menguatkan posisi Xi sebagai penyelamat.
Kenny menyadari bahwa dalam politik modern, narasi seperti ini bukan sekadar tambahan, melainkan elemen inti dalam membangun legitimasi. Sebuah pidato yang berhasil biasanya tidak hanya menjelaskan situasi, tapi membawa rakyat pada perjalanan emosional yang menciptakan rasa keterlibatan dan harapan.
Tokoh hero dalam politik harus bisa menampilkan perjuangan nyataโtidak harus selalu menang, tapi harus selalu bergerak menuju sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Dalam dunia yang dipenuhi kompleksitas dan ketidakpastian, rakyat membutuhkan cerita untuk percaya dan bertahan.
Kenny pun bertanya dalam hati: mungkinkah hal yang sama juga diperlukan oleh Presiden Prabowo Subianto di Indonesia?
Misi Besar Prabowo
Kenny duduk di balkon rumahnya sambil membaca ulang catatan tentang The Heroโs Journey karya Joseph Campbell. Ia merenung, jika Xi Jinping bisa membingkai pidatonya dengan narasi heroik, mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga membutuhkan hal serupa untuk menghadapi masa pemerintahannya yang baru dimulai?
Dalam struktur cerita Campbell, seorang pahlawan selalu memulai perjalanannya dengan โpanggilan untuk bertindakโ yang menandai awal dari misi besar. Bagi Prabowo, panggilan itu bisa jadi adalah tantangan untuk membawa Indonesia melompat jauh secara ekonomi di tengah tekanan geopolitik dan perlambatan global.
Di tengah perjalanan itu, Kenny mencermati pertemuan penting antara Prabowo dan Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri yang baru saja terjadi. Bagi Kenny, pertemuan itu bukan sekadar silaturahmi politik, melainkan simbol bahwa sang โpahlawanโ tengah berusaha menyatukan kekuatan-kekuatan besar bangsa demi stabilitas dan keberlanjutan misi nasional.
Namun, Kenny juga tahu, dalam struktur naratif heroik, tidak cukup hanya memiliki sekutuโseorang pahlawan juga memerlukan musuh. Xi Jinping berhasil membingkai kebijakan tarif Trump sebagai simbol dari โpenindasan asingโ, dan dari situ lahirlah narasi perlawanan yang membakar semangat nasionalisme.
Prabowo, jika ingin menggerakkan energi kolektif bangsa, mungkin juga perlu membingkai tantangan besar sebagai musuh bersamaโbukan dalam wujud pribadi, tetapi dalam bentuk sistemik seperti ketimpangan global, mafia pangan, atau ketergantungan pada impor. Musuh ini harus cukup besar untuk menakutkan, tapi juga bisa dikalahkan melalui kerja keras bersama.
Musuh bersama bukan hanya tantangan, tapi juga alat pemersatu. Dalam dunia politik yang penuh faksionalisme, kehadiran musuh bersama bisa menjadi narasi yang menyatukan semua elemen dalam satu tujuan nasional.
Kenny berpikir bahwa membangun story bukan berarti menciptakan fiksi, tapi merangkai kenyataan dalam bingkai yang membuat orang percaya bahwa mereka ikut dalam sebuah perjalanan besar. Tanpa itu, kebijakan bisa terasa dingin dan jauh dari kehidupan sehari-hari rakyat.
Ia menyimpulkan bahwa narasi adalah jembatan antara visi pemimpin dan emosi rakyat. Mungkin, itulah yang sedang dibutuhkan Prabowo saat ini: menjadi pahlawan dalam cerita bersama yang sedang ditulis Indonesiaโdengan sekutu yang kuat, dan musuh yang jelas. (A43)