Site icon PinterPolitik.com

Prabowo dan Politik Kebohongan Ratna

Prabowo Subianto di kediaman Ratna Sarumpaet (foto: twitter)

Sebelum kebohongan terbongkar, kubu Prabowo memojokkan Jokowi. Setelah terbongkar, serangan itu berbalik.


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]rihatin, itulah kata-kata pertama dari Prabowo ketika berbicara di depan media mengenai dugaan kekerasan terhadap Ratna Sarumpaet. Dugaan kekerasan terhadap Ratna bermula ketika foto Ratna dengan wajah lebam tersebar di media sosial. Selain itu, Ratna juga sudah lebih dulu mengadu kepada Prabowo mengenai kekerasan yang dialami olehnya.

Kabar kekerasan langsung tersebar di media sosial berkat peran para politisi seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah sampai Rizal Ramli. Bahkan, Aktivis Malari 74 Hariman Siregar pun tiba-tiba saja muncul ke permukaan untuk memberikan dukungan kepada Ratna.

Namun, sebagian besar dari mereka harus menanggung malu. Hal ini dikarenakan kekerasan terhadap Ratna ternyata bohong, alias hoaks dan tidak pernah terjadi. Dalam jumpa pers di kediaman sang aktivis, Ratna mengakui bahwa ia telah berbohong kepada Prabowo dan Tim Pemenangan tentang kekerasan terhadapnya.

Pengakuan Ratna ini langsung mendapat respons dari berbagai pihak. Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Farhat Abbas dengan sigap mempolisikan 17 politisi karena telah sebarkan hoaks ke publik. Sementara Prabowo dan tim merasa kecewa karena telah dibohongi. Ia pun mengatakan akan melaporkan Ratna ke pihak berwenang.

Sekalipun Prabowo secara resmi sudah meminta maaf, tetapi publik masih belum bisa terima. Kasus kebohongan ini semakin membuat Prabowo dan tim pemenangan tersudut. Jika ingin tetap meraih kemenangan, Prabowo harus siaga. Bukan tak mungkin kasus ini bisa membuat elektabilitas Prabowo menurun. Mengapa bisa begitu?

Sebuah Politik “Kebohongan”

Kebohongan seperti yang dilakukan Ratna bukanlah fenomena baru dalam dunia politik. Dalam konteks politik Indonesia, hoaks atau kabar bohong lazim beredar pada tahun-tahun politik. Pada tahun 2014, Jokowi dituduh sebagai PKI dan keturunan Tiongkok oleh Tabloid Obor Rakyat. Belakangan, kebohongan itu tak bisa dibuktikan kebenarannya sehingga Jokowi mampu memenangkan Pilpres 2014.

Selain Jokowi, Sandiaga juga pernah diserang oleh kebohongan. Ia dituding telah berselingkuh dengan beberapa perempuan. Namun, kabar itu berhasil ditepis oleh Sandiaga dan tak lagi muncul ke permukaan. Menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengapa akhirnya kebohongan itu rentan muncul pada tahun politik?

Kabar bohong tentu saja tidak muncul tiba-tiba, ia pasti secara sengaja diproduksi untuk misi politik tertentu. The Guardian mencatat secara historis seperti pada kasus Watergate Richard Nixon di Amerika, para politisi telah menggunakan kebohongan untuk keuntungan mereka. Oleh karena itu, selama ada berita palsu, maka ada akan orang-orang yang berusaha memanfaatkannya secara politis.

Hal itu tentu saja sejalan dengan fenomena politik Indonesia saat ini, di mana Prabowo dan tim pemenangan berusaha memanfaatkan kabar pemukulan Ratna Sarumpaet tanpa melakukan verifikasi dan validasi terlebih dahulu. Bahkan, Prabowo sampai menggelar konferensi pers untuk mengecam pemukulan terhadap Ratna. Akhirnya, publik sadar bahwa itu adalah komoditas politik setelah Ratna buka suara.

Lantas mengapa Ratna berbohong? Ia sendiri mengatakan kebohongan itu dilakukan untuk menghindari pertanyaan anaknya. Lalu, benarkah kebohongan itu dibuat tanpa ada muatan politik?

Dalam sejarah pemikiran politik, kasus berbohong dalam politik dan perilaku tak bermoral merupakan hal biasa, bahkan beberapa tokoh menganggap berbohong dan mengesampingkan moral itu sah-sah saja dilakukan karena tujuan dari politik adalah meraih kekuasaan.

Machiavelli dalam buku The Prince mengenalkan doktrin tentang kecerdikan aksi politik; perceraian politik dari moralitas pribadi; pembenaran semua sarana politik, bahkan yang paling tidak bermoral dan penggunaan penipuan, kekerasan, pemaksaan, dan penipuan untuk mencapai tujuan politik.

Machiavelli seperti ingin menegaskan bahwa ketika seseorang ingin mencapai tujuan politik, maka mereka harus membenarkan segala cara, termasuk mengesampingkan moralitas dan melakukan kebohongan. Praktik dari pemikiran Machiavelli nampak pada kontestasi politik Indonesia saat ini, dimana kebohongan tersebar dimana-mana, tak lain tujuan dari kebohongan itu adalah demi meraih kekuasaan.

Menurut Professor George Mason University Ilya Somin, ketidaktahuan publik membuat strategi politik kebohongan sangat sulit untuk diatasi. Para analis itu melihat kebohongan di dalam dunia politik adalah lazim dan tergolong sering terjadi. Namun pertanyaannya, apakah konsekuensi seandainya kebohongan itu terbongkar, seperti pada kasus Ratna Sarumpaet?

Prabowo Buntung, Jokowi Untung

Pada awal-awal beredarnya kabar pemukulan terhadap Ratna Sarumpaet, kubu Prabowo memang terlihat reaktif dalam menanggapi hal tersebut. Apalagi mereka sampai mengadakan konferensi pers dan menyebarluaskan kabar itu melalui media sosial.

Beberapa pihak menilai kubu Prabowo telah memanfaatkan kabar penganiayaan untuk memojokkan Jokowi. Hal itu bisa dibaca ketika mereka mengatakan bahwa serangan terhadap Ratna bermuatan politik. Akan tetapi semua berbanding terbalik ketika Ratna Sarumpaet membongkar kebohongan itu. Saat ini, justru kebohongan tersebut telah menjadi malapetaka bagi kubu Prabowo.

Kubu Prabowo cenderung memanfaatkan kabar penganiayaan untuk memojokkan Jokowi Share on X

Selain dipolisikan, Prabowo dan tim harus siap-siap mendapatkan sanksi dari publik. Bukan tak mungkin juga kasus kebohongan ini akan membuat elektabilitas Prabowo jatuh, karena para pemilih membenci politisi tidak jujur.

Prabowo bisa saja akan bernasib seperti Richard Nixon di Amerika Serikat. Mantan presiden Amerika itu pernah tersandung skandal Watergate pada tahun 1972 sampai 1974. Saat itu, lima laki-laki ditangkap di perkantoran Komite Nasional Partai Demokrat ketika sedang memasang alat penyadap. Seperti diketahui partai Demokrat merupakan lawan politik Nixon.

Skandal itu membuat approval rating Nixon jatuh. Ia diduga telah terlibat dalam upaya penyadapan di markas lawan politiknya. Yang membuat itu lebih buruk, ada upaya menutupi atau dalam kadar tertentu berbohong terkait dengan skandal tersebut. Maka pada tahun 1974, Nixon memutuskan untuk mundur dari jabatan kepresidenan karena adanya tekanan publik yang geram terhadap skandal itu.

Kasus Nixon adalah salah satu contoh betapa seorang politisi menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik mereka, persis seperti yang dikatakan oleh Machiavelli di pembahasan awal. Namun ketika kebohongan itu terungkap, politisi sekelas Nixon bisa jatuh dari kekuasaan.

Maka bukan tidak mungkin hal serupa akan dialami oleh Prabowo. Walaupun Prabowo bukanlah petahana seperti Nixon, namun kebohongan dalam kasus Ratna ini bisa berdampak buruk bagi elektabilitas Prabowo. Prabowo akan dinilai telah menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan, termasuk dengan berbohong.

Meskipun Prabowo terus berdalih bahwa ia adalah korban kebohongan Ratna, akan sangat sulit bagi publik untuk mempercayai hal tersebut. Apalagi sebelum semua terbongkar, para politisi dari kubu Prabowo cenderung mengalamatkan kritik atas kasus tersebut ke kubu Jokowi. Maka tak heran ketika publik menilai kebohongan itu memang sengaja diproduksi untuk menjatuhkan salah satu kandidat.

Sebaliknya, keuntungan justru akan dirasakan oleh kubu Jokowi. Berkurangnya elektabilitas Prabowo bisa menjadi berkah baginya di Pilpres nanti. Belum lagi, ketika kasus Ratna menggemparkan satu republik, Jokowi justru sedang turun langsung untuk menangani dampak bencana alam di Palu dan Donggala. Oleh karena itu, tak heran jika para politisi dari kubu Jokowi mengatakan bahwa Jokowi sedang sibuk menangani bencana ketika ia dituduh dengan berbagai kabar yang belum tentu benar.

Kasus Richard Nixon bisa menjadi tolak ukur betapa sebuah kebohongan bisa merugikan seorang politisi. Maka, bukan tak mungkin kasus ini akan membuat Prabowo semakin sulit untuk keluar sebagai pemenang pada Pilpres 2019. Boleh jadi, Prabowo harus berhati-hati, jika salah menanggapi kasus kebohongan serupa, ia bisa saja telah menyerahkan kursi presiden begitu saja kepada Jokowi. (D38)

Exit mobile version