HomeNalar PolitikPrabowo dan Mimpi Minilateralisme ASEAN

Prabowo dan Mimpi Minilateralisme ASEAN

Panasnya sengketa Laut Tiongkok Selatan (LTS) masih belum menemukan solusi. Sebagai respons terkini, Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) tengah kembangkan kolaborasi pertahanan dan keamanan yang baru bersama negara maritim ASEAN. Akan efektifkah ini? 


PinterPolitik.com 

Ketika kita membicarakan tentang Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), mungkin sebagian dari kita akan terbayang akan suatu kawasan yang memiliki sejuta masalah.  

Isu besar yang paling utama adalah mengenai Laut Tiongkok Selatan (LTS), dan perseteruan kepentingan Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Negara seperti Vietnam, Laos, dan Kamboja cenderung melumrahkan campur tangan Tiongkok di LTS, sementara negara seperti Malaysia, Filipina, dan akhir-akhir ini Indonesia, justru menunjukkan kekhawatiran. 

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam menjaga pertahanan Indonesia, juga menyuarakan pendapatnya mengenai keamanan Asia Tenggara. Ketika pertemuan The Manama Dialogue 2021 yang digelar di Bahrain lalu, Prabowo bahkan mengatakan konflik di LTS bisa menjadi perang terbuka kapan saja. 

Karena itu, dalam sejumlah pertemuan Menhan ASEAN dari 2021 lalu sampai 2022 ini, Prabowo menekankan agar negara anggota ASEAN tidak terpecah oleh kekuatan besar. Kemudian, ia juga menegaskan bahwa Indonesia akan menguatkan kerja sama pertahanan dengan negara-negara ASEAN. 

Ini tampaknya bukan hanya omongan belaka, karena memang pada akhir 2021 lalu Prabowo setidaknya sudah mendekati Malaysia untuk memperkuat hubungan kerja sama pertahanan, dan juga memperdalam hubungan kedua negara sebagai “dua rekan serumpun”. Lalu, ada juga pertemuan dengan Singapura pada Januari lalu yang membahas kerja sama pertahanan (DCA), bersamaan dengan flight information region (FIR). 

Di sisi lain, Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla), Aan Kurnia menyebutkan tengah berupaya memperkuat keamanan wilayah maritim dengan bekerja sama dengan Brunei, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Meski tidak secara eksplisit mengatakan ini adalah untuk menghalau pengaruh Tiongkok, tetapi banyak pihak meyakini ini untuk menyiapkan ASEAN akan ancaman maritim dari Tiongkok. 

Mungkin secara gamblang, gestur politik yang ditunjukkan Indonesia mengindikasikan adanya keretakan dalam ASEAN. Namun di sisi lain, apa yang dilakukan Indonesia justru beresonansi dengan suatu konsep dalam studi hubungan internasional yang bernama minilateralisme.  

Lantas, mungkinkah Indonesia tengah mengupayakan pendekatan dengan konsep tersebut untuk mengatasi permasalahan LTS? 

Baca juga: Prancis Manfaatkan Ketakutan Prabowo?

Tengah Upayakan Minilateralisme? 

Sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu memahami bersama tentang apa itu minilateralisme. William T. Tow dalam tulisannya Minilateral security’s relevance to US strategy in the Indo-Pacific, menjelaskan bahwa minilateralisme pada dasarnya adalah sebuah perkumpulan ad-hoc yang terdiri dari sejumlah negara yang memiliki kekhawatiran yang sama pada suatu isu spesifik. Tujuannya adalah agar dapat menyelesaikan masalah secara lebih efisien. 

Lalu, apa bedanya dengan multilateralisme?  

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Well, suatu lembaga multilateral seperti ASEAN, pembentukannya didasarkan pada prinsip inklusivitas dan non-diskriminasi. Dampaknya kemudian adalah, pembahasan dalam forum multilateral dijalankan berdasarkan kepentingan yang sangat beragam, dan seringkali melibatkan negara yang sesungguhnya tidak terlibat langsung pada suatu permasalahan kritis.  

Ini bisa kita lihat pada permasalahan konsensus ASEAN mengenai sengketa LTS, yang seringkali dimentahkan oleh Kamboja, padahal Kamboja sendiri tidak terlibat langsung pada sengketa tersebut. 

Sementara itu, minilateralisme seringkali bersifat eksklusif, karena hanya melibatkan negara-negara yang secara langsung berhadapan dengan suatu permasalahan spesifik. Minilateralisme dianggap dapat lebih efektif menghasilkan solusi daripada multilateralisme, karena sifat kerja samanya dibangun di atas asas-asas yang pragmatis. 

Contoh minilateralisme di kawasan Asia Tenggara sendiri sudah ada, yakni Lancang Mekong Cooperation (LMC), yang diikuti oleh negara-negara kontinental ASEAN seperti Kamboja, Laos, Vietnam, Thailand, dan Tiongkok, yang tujuannya adalah memperkuat perekonomian wilayah yang dilewati Sungai Lancang sampai Sungai Mekong. 

Lalu, ada juga kesepakatan patroli trilateral Laut Sulu, yang dijalankan oleh Indonesia, Malaysia, dan Filipina, demi memperkuat keamanan maritim. 

Sarah Teo dalam artikelnya Could Minilateralism Be Multilateralism’s Best Hope in the Asia Pacific?, menilai bahwa minilateralisme semakin menjadi pilihan bagi negara-negara berkembang. Selain karena untuk menghindari buntunya pencapaian kesepakatan melalui forum multilateralisme, juga dapat meminimalisir kompetisi pengaruh kekuatan negara besar, karena minilateralisme tidak membuka jendela bagi campur tangan AS ataupun Tiongkok. 

Meskipun memang kemungkinan negara yang terlibat dalam perjanjian minilateralisme untuk menjadi perpanjangan tangan suatu negara besar akan selalu ada, tetapi kemandekan konsensus akibat benturannya dengan kepentingan negara besar lain, menurut Teo, akan terhindarkan.  

Karena kembali, tujuan pembuatan perkumpulan minilateral bukanlah demi kontestasi politik layaknya multilateralisme, tapi untuk menyelesaikan masalah yang spesifik. Sehingga, tidak akan jadi masalah besar bila ada negara adidaya yang terlibat, namun masalah tersebut bisa terselesaikan. 

Terkait dengan gelagat politik terkini Indonesia di LTS, Huynh Tam Sang dalam artikelnya Could minilateralism work in the South China Sea?, mengatakan, sudah sepantasnya Indonesia merasa perlu membuat kelompok kecil di dalam ASEAN untuk memperkuat posisinya melawan agresivitas Tiongkok yang semakin lama semakin kentara di LTS.  

Pemicu kuatnya, menurut Tam Sang, adalah ketika pemerintah membocorkan kabar tentang adanya kecaman dari Tiongkok terkait pengeboran minyak Indonesia di Laut Natuna. Tam Sang menilai, meski Indonesia dan ASEAN sangat terikat secara ekonomi dengan Tiongkok, perkembangan polemik LTS harus dipahami sebagai sebuah teguran bahwa Indonesia harus menyiapkan rencana matang bila Tiongkok semakin berani. Satu-satunya cara adalah dengan menyamakan suara bersama lima negara yang memiliki sengketa di LTS. 

Kembali ke konteks LTS, berdasarkan pemaparan di atas dan kondisi yang terjadi di ASEAN sekarang, sepertinya sangat masuk akal bila memang Indonesia tengah berupaya membuat suatu gerakan minilateralisme untuk mengatasi masalah keamanan LTS.  

Baca juga :  Ketika Chill Guy Hadapi PPN 12%?

Dan celah ini, bisa kita prediksi secara rasional, sepertinya tengah ingin dimanfaatkan oleh Prabowo, sebagai orang yang langsung berurusan dengan permasalahan pertahanan. 

Lantas, jika memang secara konsep minilateralisme mampu menjadi solusi, permasalahan seperti apa yang kira-kira akan muncul? 

Baca juga: Anggaran Pertahanan Prabowo, Haruskah Ditutupi?

Masalah atau Solusi Cemerlang Prabowo? 

Seperti yang kita ketahui, suatu teori politik, sebagus apapun terdengarnya, pasti akan memiliki beberapa kelemahan, tidak terkecuali minilateralisme. Chris Borgen dalam artikelnya Debating Minilateralism, menilai bahwa suatu perkumpulan minilateralisme memperkuat potensi benturan dengan kepentingan negara yang berada di luar lingkarannya. 

Kelompok minilateral yang fokus membincangkan tentang perdagangan misalnya, akan sangat mungkin menjadi sebuah blok perdagangan yang terlibat dalam perang dagang dengan kelompok negara lain, bukannya bertindak sebagai batu loncatan menuju perjanjian perdagangan global.  

Baca juga: Siapkah Jokowi Bila ASEAN Bubar?

Terlebih lagi, kelompok minilateral juga dapat membuat suatu negara besar lebih was-was dalam mendekati suatu kawasan karena mereka sadar mungkin ada negara besar lain yang kepentingan politiknya terjaga dengan kuat di antara negara-negara minilateral tersebut. Dampaknya kemudian adalah dapat menghambat negara yang terlibat dalam membangun kesepakatan kerja sama di tahap global. 

Akan tetapi, kita pun harus melihat bahwa fenomena minilateralisme sesungguhnya bukanlah sebagai penyebab, melainkan akibat dari perjanjian internasional yang semakin waktu terlihat mulai tertinggal perkembangan zaman.  

Kembali mengutip Sarah Teo, sesungguhnya minilateralisme dan multilateralisme bisa berjalan secara berdampingan. Yang penting adalah memastikan bahwa minilateralisme dilihat sebagai bagian dari dan saling melengkapi, suatu proses multilateral yang lebih luas, bukan sebagai sesuatu yang menggantikannya. Dengan demikian, minilateralisme dapat membantu memperkuat multilateralisme tidak hanya di ASEAN, tapi juga di Indo-Pasifik. 

Karena itu, berkaca pada apa yang sedang ingin dilakukan Prabowo, yaitu memperkuat kerja sama pertahanan dan keamanan di Asia Tenggara, tampaknya adalah hal yang perlu didukung. Karena suka ataupun tidak, secara objektif ASEAN memang bisa dianggap “ompong” dalam mewujudkan fungsinya sebagai organisasi kawasan yang seharusnya bisa menyelesaikan permasalahan regional. 

Melalui penguatan kelompok kecil di dalam kelompok besar, ASEAN mampu berevolusi dari sekedar tempat tongkrongan negara Asia Tenggara, menjadi solusi bersama. Dan akan tepat juga bila evolusi tersebut dimulai dari hubungan antara Prabowo dan Kemhan dari masing-masing negara yang bersengketa, baru kemudian diangkat secara perlahan ke level kepala negara 

Tentu, pada akhirnya ini semua bergantung kepada pemimpin dari masing-masing negara yang terlibat dalam wacana minilateralisme LTS. Apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tertarik untuk mewujudkan inovasi ini?  

Well, kita tunggu dan lihat saja. (D74) 

Baca juga: ASEAN, Korban Pertama Hegemoni Tiongkok?

spot_imgspot_img

#Trending Article

Megawati Harus Ubah Sikap PDIP?

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) belakangan menghadapi dinamika yang cukup memberatkan. Kira-kira bagaimana Partai Banteng Moncong Putih akan menjadikan ini sebagai pelajaran untuk langkah-langkahnya ke depan? 

Operasi Bawah Tanah Jokowi

Dalam beberapa bulan terakhir, dunia politik Indonesia diguncang oleh isu yang cukup kontroversial: dugaan keterlibatan Joko Widodo (Jokowi) dalam upaya mengambil alih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Mistikus Kekuatan Dahsyat Politik Jokowi?

Pertanyaan sederhana mengemuka terkait alasan sesungguhnya yang melandasi interpretasi betapa kuatnya Jokowi di panggung politik-pemerintahan Indonesia meski tak lagi berkuasa. Selain faktor “kasat mata”, satu hal lain yang bernuansa dari dimensi berbeda kiranya turut pula memengaruhi secara signifikan.

Ketika Chill Guy Hadapi PPN 12%?

Mengapa meme ‘Chill Guy’ memiliki kaitan dengan situasi ekonomi dan sosial, misal dengan kenaikan PPN sebesar 12 persen pada Januari 2025?

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

More Stories

Megawati Harus Ubah Sikap PDIP?

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) belakangan menghadapi dinamika yang cukup memberatkan. Kira-kira bagaimana Partai Banteng Moncong Putih akan menjadikan ini sebagai pelajaran untuk langkah-langkahnya ke depan? 

2029 “Kiamat” Partai Berbasis Islam? 

Pilkada 2024 menjadi catatan tersendiri bagi partai politik berbasis Islam besar di Indonesia, yakni PKS dan PKB. Bagaimana partai-partai ini bisa membenahi diri mereka dalam menyambut dinamika politik lima tahun mendatang? 

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?