Frasa “Indonesia Raya” banyak digunakan di berbagai tempat – mulai dari judul lagu kebangsaan Republik Indonesia hingga nama partai politik yang didirikan oleh Prabowo Subianto, yakni Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Namun, apa sebenarnya makna dari frasa ini?
“We are not makers of history. We are made by history.” – Martin Luther King Jr., aktivis asal Amerika Serikat (AS)
Prabowo Subianto yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) merupakan sosok politikus dan pejabat yang kerap mengekspresikan kecintaannya kepada Republik Indonesia (RI). Bagaimana tidak? Kala menjadi calon presiden (capres) pada tahun 2019 lalu, Prabowo acap kali menyinggung ketidakadilan yang timbul di negeri ini akibat kepentingan-kepentingan asing.
Tak ayal apabila label-label seperti anti-asing, nasionalis, hingga super-nasionalis sering dilekatkan pada dirinya. Mungkin, visi nasionalis ala Prabowo ini sejalan dengan pemahamannya soal bidang pertahanan – di mana sang Menhan menilai adanya ancaman-ancaman dari luar Indonesia yang bisa saja datang.
Namun, kecintaan Prabowo pada republik ini tidaklah datang tiba-tiba ketika harus berkampanye dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 guna menantang petahana Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ini bisa dilihat dari bagaimana mantan Komandan Jenderal (Danjen) Komando Pasukan Khusus (Kopassus) tersebut sering kali menggunakan frasa “Indonesia Raya” di banyak kesempatan.
Partai politik yang didirikannya pada tahun 2008 silam, misalnya, memiliki nama Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Tidak hanya nama partai, frasa itu juga lagi-lagi diselipkan oleh Prabowo dalam judul karya bukunya seperti Membangun Kembali Indonesia Raya (2009).
Ternyata, frasa “Indonesia Raya” yang tampaknya sangat disukai oleh Prabowo ini memiliki sejarah yang panjang. Nama Partai Gerindra sendiri, misalnya, ternyata terinspirasi dari nama partai politik lain yang dulu pernah eksis, yakni Partai Indonesia Raya (Parindra).
Prabowo sendiri pernah mengatakan bahwa Gerindra adalah anak dari Parindra – sebuah partai politik yang ikut didirikan oleh kakek Prabowo yang bernama R.M. Margono Djojohadikusumo bersama sejumlah tokoh pentolan lainnya, seperti Dr. Soetomo dan Mohammad Husni Thamrin.
Tentunya, nama “Indonesia Raya” yang menginspirasi Prabowo ini memiliki makna tertentu di baliknya. Dari sini, pertanyaan lanjutan pun muncul. Mengapa Prabowo akhirnya mengambil nama ini? Kemudian, bagaimana sejarah yang terjadi seputar konsep “Indonesia Raya” ini?
Dari “Indonesia Mulia” Menuju “Indonesia Raya”
Mengacu pada buku karya M.C. Ricklefs yang berjudul A History of Modern Indonesia Since C. 1200, berdirinya Parindra sendiri dimulai dengan penggabungan dua organisasi yang bercorak budaya Jawa, yakni Budi Utomo dan Persatuan Bangsa Indonesia – sebuah kelompok belajar yang didirikan Seotomo pada 1930 di Surabaya, pada Desember 1935.
Parindra sendiri berdiri ketika banyak upaya anti-kolonial yang non-kooperatif gagal – seperti dengan bubarnya Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) setelah Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir ditangkap oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Namun, bila dibandingkan dengan organisasi politik lainnya, ada hal yang unik dari Parindra, yakni inspirasi-inspirasi yang diambil dari kekuatan-kekuatan fasis yang eksis pada masa itu seperti Jerman Nazi ala Adolf Hitler dan Kekaisaran Jepang. Bahkan, dalam kegiatan-kegiatan resmi, anggota-anggota Parindra melakukan sikap hormat ala Nazi – atau yang dikenal sebagai Roman salute.
Menjadi masuk akal apabila Parindra dengan mudah terinspirasi dengan paham fasis ala Jerman Nazi dan Kekaisaran Jepang. Aboeprijadi Santoso dalam tulisannya di Inside Indonesia yang berjudul Gerindra and ‘Greater Indonesia’ menjelaskan bahwa, pada tahun 1920-an hingga 1930-an, banyak intelektual Indonesia memiliki simpati tersendiri terhadap gaya kepemimpinan Hitler – bahkan fasisme merebak bagaikan sebuah ide yang nge-tren.
Untuk memahami jalan pikiran Soetomo dan kawan-kawan, mungkin juga perlu dipahami apa itu konsep “Indonesia Mulia”. Konsep ini merupakan buah pemikiran Soetomo yang menilai Indonesia harus lebih dari sekadar merdeka – yakni untuk menguasai mimpi dan takdir bangsa Indonesia untuk tanah dan rakyatnya.
Dalam tulisannya yang berjudul Kuwajiban lan Gamelan, Soetomo menjelaskan bahwa setiap elemen masyarakat Indonesia harus bekerja sesuai perannya masing-masing untuk mewujudkan Indonesia Mulia. Dengan menggunakan analogi orkestra gamelan Jawa, pendiri Parindra itu menilai bahwa setiap pemain memiliki peran untuk menciptakan harmoni.
Inilah mungkin mengapa Soetomo dan Parindra lebih berfokus pada bagaimana membangun keadaan sosial dan ekonomi kelompok pribumi Indonesia, yakni dengan menerapkan sejumlah gebrakan. Beberapa gebrakan yang dilakukan Parindra di antaranya adalah dengan membentuk bank pribumi pertama yang bernama Bank Nasional Indonesia dan perusahaan asuransi pribumi pertama yang bernama Bumi Putra, termasuk juga meningkatkan kesehatan – mengingat Soetomo merupakan seorang dokter.
Baca Juga: Mencari Jejak Nazi di Indonesia
Lantas, apa hubungannya Prabowo dengan Parindra? Tokoh penggerak Parindra bukanlah hanya Soetomo dan Thamrin, melainkan juga Margono. Berdasarkan catatan stenografi atas sebuah diskusi yang diadakan oleh Sanyo Kaigi (Dewan Penasihat Pemerintah) pada 8 Januari 1945, kakek dari Prabowo tersebut merupakan seorang ekonom yang bekerja untuk Kadipaten Mangkunegaran dan berfokus pada sejumlah persoalan tani dan pangan.
Bukan tidak mungkin, dengan sumbangsih Margono di Parindra, warisan pemikiran ini pun berlanjut kepada Gerindra – mengingat Partai Gerindra sendiri mengakui adanya inspirasi nama dari organisasi yang didirikan oleh Soetomo tersebut. Ini juga dilihat dari bagaimana Prabowo dan Gerindra – dengan narasi-narasi nasionalisnya – mengusung sumbangsih mereka di bidang pangan.
Terlepas dari warisan nama dan nilai yang diturunkan dari Parindra kepada Gerindra, ada pertanyaan lain yang masih belum benar-benar terjawab. Apa sebenarnya arti konsep “Indonesia Raya”? Mengapa konsep nasionalis ini bisa jadi masih berdampak hingga saat ini?
Bakat Ekspansionis Indonesia?
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada tahun 1910-an hingga tahun 1930-an, banyak kalangan terdidik di Indonesia terinspirasi dengan gerakan-gerakan fasis yang berkembang di Eropa. Nasionalisme serupa akhirnya melahirkan organisasi dan partai politik seperti Parindra.
Namun, Parindra bukanlah satu-satunya organisasi yang mengamini paham-paham nasionalis – atau bahkan ultra-nasionalis. Salah satunya adalah seorang tokoh dan politisi yang bernama Mohammad Yamin.
Bila Soetomo memiliki konsep “Indonesia Mulia” – di mana masyarakat Indonesia telah memiliki kontrol penuh atas mimpi dan takdirnya, Yamin yang sebelumnya bergabung di Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) – organisasi nasionalis yang cenderung bersayap kiri – memimpikan berdirinya “Indonesia Raya”.
Bernard K. Gordon dalam tulisannya yang berjudul The Potential for Indonesian Expansionism menjelaskan bahwa konsep ini sempat mengemuka di kalangan intelektual nasionalis Indonesia. Konsep ini – bila mengacu pada apa yang diimpikan oleh Yamin – merupakan sebuah negara Indonesia yang wilayahnya mencakup delapan kelompok pulau yang terdiri atas Pulau Jawa, Pulau Kalimantan (termasuk bagian utara), Pulau Sumatera, Irian Barat (Papua), Kepulauan Nusa Tenggara (Sunda Kecil), Kepulauan Maluku, Pulau Sulawesi, dan Semenanjung Melayu.
Baca Juga: Gerindra dan Absolutisme Kuasa Prabowo
Dengan konsep ini, menjadi masuk akal apabila pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno dan Soeharto memiliki sejarah yang mana melakukan invasi dan serangan ke sejumlah wilayah tersebut – seperti Operasi Trikora (1961-1962), Konfrontasi Indonesia-Malaysia (1963-1966), dan Operasi Seroja (1975). Namun, beberapa wilayah tersebut menjadi wilayah milik Malaysia (dulu Malaya), Brunei, Singapura, dan Timor Leste kala Republik Indonesia berdiri.
Mimpi dan sejarah “Indonesia Raya” ini bukan tidak mungkin berpengaruh pada isu-isu keamanan bagi negara-negara bertetangga dengan Indonesia. Pasalnya, bak Jerman Nazi dan Kekaisaran Jepang, Indonesia dinilai memiliki bakat untuk menjadi negara yang ekspansionis – berambisi untuk mengembangkan wilayah.
Singapura, misalnya, baru-baru ini ternyata dinilai mengecoh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dalam kesepakatan terbaru terkait flight information region (FIR) di Kepulauan Riau. Kabarnya, Singapura masih memegang kendali atas sejumlah area di FIR tersebut dengan ketinggian 0-37.000 kaki – dinilai menjadi krusial bagi keamanan Singapura sebagai negara hub di Asia Tenggara.
Menjadi masuk akal apabila Singapura masih harus waspada akan kemungkinan-kemungkinan terburuk – mengingat masa lalu ekspansionis Indonesia. Memori akan nama Usman-Harun, misalnya, masih menjadi memori kelam karena kedua marinir tersebut melakukan serangan bom tepat di jantung Singapura – tepatnya di MacDonald House – yang menewaskan sejumlah warga sipil pada tahun 1965 silam.
Bagaimana pun, berdasarkan pendekatan konstruktivis dalam kajian Hubungan Internasional, negara melihat satu sama lain berdasarkan identitas yang telah dibangunnya sejak dulu. Kathrin Bachleitner dalam bukunya yang berjudul Collective Memory in International Relations menjelaskan bahwa memori kolektif seperti ini akan menjadi panduan bagi negara-negara dalam mengarungi politik internasional dari waktu ke waktu.
Meski begitu, di masa kini, mungkin para intelektual nasionalis seperti Soetomo hingga Yamin tidak lagi eksis. Namun, bukan tidak mungkin, cara pandang serupa masih menjadi warisan yang terus diturunkan pada Indonesia yang berdiri di masa kini.
Lagipula, seperti kutipan di awal tulisan, sejarah turut membentuk siapa diri kita di masa kini dan, bahkan, juga berpengaruh di masa mendatang. Dari masa lalu, kita bisa belajar dan mengambil inspirasi. Bukan begitu? (A43)
Baca Juga: Mencari Eksepsionalisme Indonesia ala Jokowi
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.