Site icon PinterPolitik.com

Prabowo dan Jebakan Pilihan Militer

Jokowi dan Prabowo (Foto: SindoNews)

[Seri Pemikiran Kishore Mahbubani]

Pasca tenggelamnya kapal selama KRI Nanggala 402, perdebatan publik mengerucut ke persoalan militer. Dengan segala kondisi pembangunan ekonomi, pemerintah dianggap menampilkan dilema penguatan militer, seiring masih lebih besarnya kebutuhan anggaran untuk peningkatan kesejahteraan. Padahal, posisi militer dalam konteks pembangunan ekonomi negara harusnya sejajar dan tidak bisa dianggap inferior karena justru dapat berkontribusi positif pada berjalannya strategi ekonomi.


PinterPolitik.com

“People sleep peaceably in their beds at night only because rough men stand ready to do violence on their behalf.”

::George Orwell, penulis asal Inggris::

Ada kisah yang diceritakan turun temurun yang menjadi analogi posisi militer dalam sebuah negara. Diceritakan bahwa di suatu perumahan, ada seorang pensiunan polisi yang mengisi masa pensiunnya dengan menjadi petugas ronda setiap malamnya.

Ia akan berkeliling wilayah tersebut setiap malamnya dan memukuli tiang listrik sebanyak 3 kali di masing-masing sudut kompleks itu untuk mengindikasikan bahwa situasi di lingkungan tersebut aman dan terkendali. Penduduk di wilayah tersebut yang mendengar suara tersebut akan yakin bahwa suasana aman dan mereka bisa beristirahat dengan tenang.

Baca Juga: Pinta Cinta Buta Mahfud

Hingga suatu malam, tak ada suara tiang listrik yang dipukul dan para penduduk pun bertanya-tanya. Keesokan harinya mereka mendapati kabar bahwa sang pensiunan polisi itu telah meninggal dunia. Yang lebih mengejutkan lagi, mereka juga baru tahu bahwa sang polisi itu ternyata buta atau tidak bisa melihat.

Jadi, selama ini perasaan aman yang dirasakan para penduduk sebetulnya lahir dari sebuah keyakinan bahwa mereka “dijaga”, tanpa tahu seperti apa sebetulnya kondisi orang yang menjaga mereka itu.

Kisah ini kemudian menjadi semacam pengantar dan analogi terkait posisi militer dalam sebuah negara. Saat ada militer, minimal orang-orang merasa negaranya aman, sekalipun mungkin masih banyak kekurangan dari sisi kekuatan militer itu sendiri. Yang jelas, keberadaan militer itu menimbulkan keyakinan soal perasaan aman.

Nah, terkait hal itu, perbincangan soal posisi penting militer memang kembali menghangat beberapa waktu terakhir di Indonesia. Pasca tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402, memang muncul desakan terkait peremajaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) militer Indonesia, khususnya yang dianggap telah uzur dan tua.

Tenggelamnya KRI Nanggala 402 yang telah beroperasi sejak tahun 1981 ini memang menjadi salah satu konsen utama dari sisi usia operasinya – ibaratnya pensiunan yang buta, namun tetap menjaga kedaulatan negara.

Persoalannya, peremajaan alutsista bukanlah perkara mudah. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyebut ada dilema besar yang dihadapi pemerintah, yakni terkait fokus apakah akan membangun ekonomi atau militer. Prabowo menyebutkan bahwa program kesejahteraan masyarakat punya porsi yang lebih besar.

Selain itu, harga alutsista juga mahal. Untuk kapal selam misalnya, kelas Changbogo buatan Korea Selatan saja harganya mencapai Rp 4,6 triliun per unit. Jumlah ini memang lebih murah dari buatan Eropa atau Amerika Serikat (AS) yang mencapai Rp 7 triliun per unit. Namun, harga Rp 4,6 triliun itu setara dengan program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk sekitar 571 orang pada tahun 2019.

Ini tentu akan menjadi dilema karena konteks beasiswa tentu saja penting untuk menjamin negara mendapatkan lulusan-lulusan terbaik yang bisa membantu negara ini untuk mencapai kemajuan.

Jadi ada pertimbangan anggaran terkait porsi pembangunan manusia dengan pembangunan militer. Inilah yang kemudian melahirkan perdebatan terkait posisi militer dan pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

Lalu, seperti apa sebetulnya tarik menarik antara militer dan persoalan pembangunan ekonomi ini harus dimaknai? Benarkah di Indonesia ada kecenderungan bahwa akibat tata kelola anggaran militer yang kurang baik, menyebabkan peremajaan alutsista tidak berjalan dengan baik? Kemudian, seperti apa fenomena ini dilihat dari kacamata akademisi dan mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani?

Kuasa Militer

Pada tahun 2010 lalu, Joseph S. Nye – ahli politik yang terkenal karena bangunan teori neoliberalisme dalam hubungan internasional – membuat sebuah tulisan yang dipublikasikan di Korea Times. Tulisan yang dipublikasikan ulang oleh Harvard Kennedy School Belfer Center ini menjelaskan kondisi perkembangan peradaban manusia dalam hubungannya dengan militer dan perang.

Baca Juga: Ke Mana Idealisme Mahfud yang Dulu?

Ia menyebutkan bahwa memang benar perang dan konflik interstate mengalami penurunan dalam beberapa dekade terakhir, seiring tersebarnya demokrasi dan pencapaian kemajuan peradaban manusia. Apalagi, ada memori kolektif terkait dampak perang yang terjadi di masa lalu. Perang Dunia II misalnya, menewaskan 75 juta orang di seluruh dunia, di antaranya 20 juta militer dan 40 juta warga sipil.

Konteks ini memang kemudian membuat banyak orang berpikir bahwa militer misalnya, tidak lagi dibutuhkan karena perang-perang dalam skala besar akan sangat sulit untuk terjadi lagi. Apalagi dengan menguatnya perdagangan internasional dan saling ketergantungan yang makin besar antar negara, maka semua domain politik – baik itu negara maupun aktor-aktor non negara – akan berpikir ratusan kali sebelum memulai konflik atau persinggungan militer dengan negara lain.

Namun, ada kata-kata menarik yang diucapkan oleh Presiden AS Barack Obama ketika ia menerima noble perdamaian di tahun 2009. “We must begin to acknowledge the hard truth that we will not eradicate violent conflict in our lifetimes”, demikian kata Obama. Kita harus mengakui kebenaran paling susah diterima, bahwasanya kita tidak bisa menghapus konflik kekerasan dalam hidup kita.

Artinya, memang sangat sulit – bahkan tidak mungkin – menyingkirkan konflik dari hubungan antar negara. Inilah yang kemudian membuat posisi militer yang melekat dengan entitas konflik itu menjadi sangat penting. Militer masih akan tetap punya peran besar karena teori-teori konflik menyebutkan bahwa hidup manusia tidak akan pernah terbebas dari benturan-benturan antara satu dengan yang lainnya.

Dalam segala kebesarannya, Napoleon Bonaparte pernah bilang: “God is on the side of big battalions”. Tuhan ada di sisi tentara dengan kekuatan (jumlah) yang besar. Jika Tuhan dalam hal ini dianggap identik dengan kemenangan, kebaikan bagi negara, dan hal-hal positif lainnya, maka risalah militer itu mendapatkan tempat terbaik untuk posisinya yang cenderung positif.

Konteksnya serupa dengan kata-kata Mao Zedong yang bilang: “Power comes from the barrel of a gun”. Kekuatan – baik individu maupun negara – akan selalu keluar dari ujung senjata. Konteks power ini jugalah yang akan menjadi penentu negara dalam hubungan internasional. Perang dan militer memang ditekan atau turun, tetapi ia tidak pernah hilang.

Terkait hal ini, Kishore Mahbubani pernah menyebutkan bahwa konteks power yang berangkat dari militer – suka atau tidak suka – melahirkan stabilitas politik yang justru berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi suatu negara.

Ia mencontohkan Tiongkok yang karena politiknya stabil, gejolak politik praktis tidak ada yang mengganggu pembangunan ekonomi. Ini yang kemudian membuat pemerintah bisa mencari formula pembangunan yang terbaik untuk membawa negara itu mencapai titik kemajuan seperti sekarang ini.

Sebaliknya, ketika ekonominya terus naik, militernya juga dengan sendirinya akan makin bagus dan kuat. Artinya ada korelasi yang tidak bisa dipisahkan antara ekonomi dan militer. Contohnya bagaimana Tiongkok yang dulunya punya garis pembangunan kekuatan angkatan laut green water atau bahkan brown water – merujuk pada wilayah lautan atau perairan yang masih dangkal – sekarang bergerak menjadi blue water navy atau kekuatan perang di laut dalam alias samudra.

Hal ini bisa terjadi karena kemajuan ekonomi berdampak pada peningkatan anggaran pertahanan, sehingga belanja alutsista bisa lebih banyak dianggarkan.

Tak Mengulang Tragedi

Pentingnya posisi militer ini memang sesuai dengan pemikiran kaum realis dalam hubungan internasional yang menganggap bahwa militer yang kuat akan menghasilkan keseimbangan kekuasaan atau balance of power yang kemudian akan berdampak pada situasi yang lebih kondusif bagi negara untuk meningkatkan perekonomiannya.

Ini juga sesuai dengan studi dari International Strategic Analysis – sebuah lembaga riset yang berpusat di Luxemburg – yang menyebut kekuatan militer justru punya relevansi sebab akibat terhadap ekonomi, demografi, lingkungan, sumber daya alam, teknologi, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Politics of Hope Vaksin Jokowi

Dengan demikian, memang kita tidak bisa serta merta mengesampingkan posisi penting militer dalam keseluruhan pembangunan negara. Bahkan, bisa dibilang dengan militer yang kuat, pembangunan negara akan bisa berjalan dengan lebih baik.

Liberalisme dan saling ketergantungan ekonomi global memang meningkat, namun militer tetap jadi jaminan posisi negara dalam hubungan internasional. Dengan demikian, jika ada yang bilang bahwa kekuatan militer harus ditekan terkait peningkatan anggarannya, mungkin hal tersebut perlu dipikirkan ulang lagi.

Hal-hal inilah yang harus menjadi catatan bagi Presiden Jokowi. Dengan tragedi tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402, Indonesia mungkin harus sedikit menggeser perspektifnya terkait pentingnya militer dan alutsista bagi negara.

Setiap tahun memang anggaran belanja alutsista terus mengalami kenaikan. Namun, mungkin perlu diperhatikan – baik oleh Presiden Jokowi maupun oleh Menhan Prabowo Subianto – bahwa tata kelolanya juga perlu diupayakan agar menjadi lebih efektif dan efisien.

Dengan demikian, masyarakat bisa tidur tenang dan tahu bahwa yang menjaga mereka bukanlah polisi pensiun yang buta matanya, tetapi benar-benar polisi – atau tentara – yang benar-benar masih sigap, tak bercacat dan siap diandalkan. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version