Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka. Ini penting mengingat relasi dengan para konglomerat besar akan menentukan kekuasaan Prabowo, termasuk mempengaruhi stabilitas politik nasional. Berbeda dengan Jokowi yang tak punya modal politik di awal kekuasaanya, Prabowo jauh lebih superior di hadapan para konglomerat.
Pergantian kekuasaan selalu membawa ketidakpastian, terutama bagi para elite ekonomi yang selama ini menikmati akses dan kemudahan dari penguasa sebelumnya. Dalam konteks Indonesia, ketakutan mulai menyelimuti para pengusaha besar dan konglomerat terkait potensi kebijakan Prabowo Subianto di pemerintahannya. PinterPolitik membaca geliat itu dari pengakuan beberapa pengusaha.
Sosok Prabowo, dengan latar belakang militer yang kuat, dianggap memiliki posisi tawar lebih tinggi dibandingkan Joko Widodo (Jokowi), yang selama satu dekade terakhir dikenal memiliki hubungan yang akrab dengan para konglomerat.
Di era Jokowi, para konglomerat menikmati kedekatan ini dengan berbagai keuntungan, mulai dari kemudahan regulasi hingga sokongan proyek strategis nasional. Namun, dengan Prabowo di pucuk kekuasaan, narasi ketakutan mulai berkembang: akankah mereka tetap dilindungi, atau justru menjadi target pembersihan? Ini berkaitan dengan narasi kebocoran kekayaan nasional yang kerap digaungkan Prabowo sejak berkampanye di 2014 lalu.
Pertanyaannya adalah akankah kita menyaksikan Prabowo “bersih-bersih” konglomerat dan pengusaha?
Kontras Jokowi dan Prabowo?
Selama kepemimpinan Jokowi, hubungan pemerintah dengan konglomerat besar berada dalam kondisi yang menguntungkan kedua belah pihak. Pemerintah membutuhkan sokongan dana dan sumber daya untuk merealisasikan proyek-proyek besar seperti pembangunan infrastruktur dan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Beberapa konglomerat, seperti Anthony Salim dari Salim Group dan Sugianto Kusuma alias Aguan dari Agung Sedayu Group, menjadi pemain kunci dalam proyek besar ini. Pembangunan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, misalnya, menjadi simbol kolaborasi antara pemerintah dan pengusaha besar dalam membangun kawasan elite yang menawarkan potensi ekonomi tinggi.
Jokowi bahkan memasukkan PIK 2 ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Artinya, sumbangsih Aguan yang jadi Ketua Konsorsium Nusantara yang jadi penggerak pembangunan IKN “diganjar” dengan pemberian status proyek strategis nasional itu.
Kedekatan dengan Jokowi memungkinkan konglomerat ini mendapatkan akses mudah terhadap perizinan, insentif fiskal, hingga dukungan politik. Namun, situasi ini dapat berubah drastis dengan hadirnya Prabowo Subianto sebagai presiden.
Salah satu alasan utama di balik ketakutan para konglomerat adalah latar belakang militer Prabowo. Ia dipandang sebagai sosok yang tegas, disiplin, dan memiliki pendekatan berbeda dalam menghadapi elite ekonomi. Narasi yang berkembang adalah bahwa Prabowo tidak akan segan untuk “menertibkan” para pengusaha yang selama ini mengambil keuntungan secara tidak sah.
Konteks ini semakin relevan ketika beberapa kasus mulai mencuat di beberapa bulan awal kekuasaan mantan Danjen Kopassus itu. Misalnya, kasus hukum yang menimpa proyek PIK 2 milik Aguan dan Salim. Beberapa hari lalu, ada pihak-pihak, termasuk purnawirawan militer, telah melaporkan proyek ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas tuduhan perbuatan melawan hukum. Mereka menuntut penghentian proyek dan meminta ganti rugi sebesar Rp616 triliun, yang menariknya diarahkan untuk menutupi defisit APBN 2025.
Kehadiran purnawirawan militer sebagai penggugat menambah dimensi baru dalam kasus ini. Apakah ini sinyal awal dari pembersihan besar-besaran terhadap konglomerat yang selama ini memanfaatkan hubungan dekat dengan pemerintah?
Mengontrol Melalui Ketakutan?
Antonio Gramsci dalam teori hegemoninya menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya ditegakkan melalui kekuatan fisik, tetapi juga melalui kontrol ideologi dan narasi yang menanamkan rasa takut. Dalam konteks ini, Prabowo bisa dibilang dapat menggunakan narasi ketakutan untuk membangun hegemoni politiknya di kalangan elite ekonomi.
Dengan menciptakan ketakutan akan tindakan hukum dan pembersihan, Prabowo tidak perlu secara langsung menekan semua konglomerat. Cukup dengan menargetkan beberapa kasus besar, ia dapat mengirimkan pesan kuat kepada seluruh pengusaha bahwa era baru telah tiba—era di mana tidak ada lagi kekebalan bagi mereka yang bermain di luar aturan.
Narasi ini juga dapat memperkuat legitimasi Prabowo di mata publik. Dengan menampilkan diri sebagai pemimpin yang berani menegakkan hukum dan melawan para “pengusaha nakal,” ia dapat membangun citra sebagai pemimpin yang berpihak pada rakyat, bukan oligarki.
Selain itu, Fred Block dalam teorinya tentang structural power menjelaskan bahwa kekuasaan ekonomi tidak hanya terletak pada individu atau perusahaan, tetapi juga pada struktur yang mendukung mereka. Dalam konteks Indonesia, struktur ini mencakup regulasi pemerintah, perbankan, hingga hubungan politik.
Di era Jokowi, struktur ini sangat mendukung para konglomerat, dengan akses mudah ke proyek pemerintah, perizinan, dan dukungan politik. Namun, dengan pergantian kekuasaan ke Prabowo, struktur ini dapat berubah drastis.
Prabowo memiliki kesempatan untuk merekonstruksi ulang struktur kekuasaan ini dengan menempatkan individu-individu yang loyal kepadanya di posisi strategis. Dengan demikian, ia dapat memperlemah kekuatan konglomerat dan meningkatkan posisi tawarnya.
Namun, langkah ini juga memiliki risiko besar. Mengganggu struktur yang sudah mapan dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi, yang pada akhirnya dapat berdampak pada stabilitas politik nasional.
Akankah Prabowo Berani?
Pertanyaan kunci yang muncul adalah: akankah Prabowo berani mengambil langkah tegas terhadap konglomerat besar?
Di satu sisi, langkah ini dapat memperkuat citra dan legitimasi politiknya sebagai pemimpin yang tegas dan berpihak pada rakyat. Namun, di sisi lain, hal ini juga dapat memicu perlawanan dari kelompok-kelompok yang selama ini memiliki kekuatan besar dalam ekonomi dan politik Indonesia.
Stabilitas politik dan ekonomi nasional sangat bergantung pada keseimbangan antara kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi. Jika Prabowo terlalu agresif, ia berisiko menciptakan ketidakstabilan yang dapat merugikan pemerintahannya sendiri.
Namun, jika ia mampu menavigasi situasi ini dengan hati-hati—memilih target yang tepat dan membangun aliansi baru dengan pengusaha yang lebih loyal—Prabowo dapat menciptakan tatanan baru yang lebih seimbang dan mendukung visinya sebagai pemimpin.
Pada akhirnya, hegemoni rasa takut yang menyelimuti para konglomerat besar di Indonesia menjelang pemerintahan Prabowo adalah fenomena yang berakar pada perubahan struktur kekuasaan. Dengan menggunakan narasi ketakutan, Prabowo memiliki kesempatan untuk menata ulang hubungan antara negara dan elite ekonomi.
Namun, keberanian Prabowo untuk bertindak tegas akan sangat bergantung pada kemampuannya menyeimbangkan antara kebutuhan untuk menegakkan hukum dan menjaga stabilitas politik serta ekonomi. Jika berhasil, ia dapat menciptakan tatanan baru yang lebih adil dan transparan. Jika gagal, ia justru dapat menghadapi perlawanan yang berpotensi mengguncang pemerintahannya sejak awal.
Sejarah akan mencatat apakah Prabowo Subianto mampu memanfaatkan hegemoni rasa takut ini untuk menciptakan perubahan positif, atau justru menjadi tantangan terbesar dalam kepemimpinannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)