Site icon PinterPolitik.com

Prabowo dan Blaming Game Elite

prabowo dan blaming game elite

Foto: Istimewa

Prabowo Subianto menyebut elite telah gagal mengelola pertumbuhan ekonomi di Indonesia, bahkan ia mengatakan kekeliruan itu sudah ada sejak zaman Orde Baru. Apa maksud di balik pernyataan Prabowo tersebut?


PinterPolitik.com 

[dropcap]P[/dropcap]rabowo Subianto mungkin pantas mendapatkan predikat “Raja Heboh”. Sebab, setiap pernyataan yang keluar dari mulutnya kerap memancing kontroversi dan kehebohan. Hal itu salah satunya terlihat dalam ucapannya baru-baru ini tentang elite di Indonesia yang menurutnya gagal dan tidak berguna.

Meskipun memancing kehebohan, namun pernyataan Prabowo tersebut tentu saja menarik untuk dicermati.

Ia menyebut ada kekeliruan pengelolaan dalam pembangunan di Indonesia. Bahkan menurutnya kekeliruan ini sudah terjadi sejak zaman Orde Baru dan disebabkan oleh para elite yang lebih mementingkan diri sendiri.

Memang bukan kali ini saja Ketua Umum Partai Gerindra itu melontarkan kritik terhadap kegagalan pembangunan dan menyeret elite di negeri ini. Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, ia juga menuding kelompok ini sebagai biang keladi dari lambatnya pertumbuhan di bidang ekonomi.

Namun, yang menarik adalah, meski menuding elite sebagai penyebab kekacaun tersebut, tetapi ia sadar bahwa ia juga merupakan bagian dari elite itu sendiri. Prabowo menyebut dirinya sebagai elite yang “sadar”, sehingga tergerak untuk maju dalam kontestasi Pemilihan Presiden berulang kali untuk mengubah kondisi tersebut.

Pernyataan Prabowo tersebut tentu menimbulkan tanda tanya. Mengapa sang jenderal senang sekali menuding elite sebagai biang keladi, bahkan berani menarik benang merah hingga ke masa Orde Baru sekalipun itu berarti menyudutkan Soeharto yang adalah mertuanya? Atau ini hanya sekedar blaming game atau  strategi menyalahkan rezim sebelumnya?

Salah Kelola Elite Politik

 Kemampuan double speak atau membuat pernyataan dengan kalimat bercabang memang menjadi salah satu keahlian Prabowo. Capres dengan nomor urut 02 tersebut sering menyampaikan kritik secara retoris atau tidak secara langsung menunjuk hidung yang ia maksud.

Meski tidak secara spesifik menjelaskan elite siapa yang ia maksud, namun jika melihat intensinya, maka bisa dikatakan yang dimaksud Prabowo adalah elite penguasa alias rezim. (Baca: Megawati vs Prabowo: Double Speak Power Elite)

Elite memang menjadi salah satu unsur terpenting untuk dianalisa terkait dampaknya terhadap kemajuan suatu bangsa atau negara.

Gaetano Mosca dalam The Ruling Class menyebutkan bahwa masyarakat yang terbentuk karena dua kelas utama – yakni yang memimpin (a class that rules) dan yang dipimpin (a class that is ruled) – memiliki relasi top-down atau relasi secara vertikal.

Dalam pandangannya itu, Mosca menekankan bahwa kelas pertama merupakan kelompok dengan jumlah lebih sedikit yang melakukan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati kelebihan yang dimilikinya. Adapun kelas kedua merupakan kelompok yang lebih besar dan umumnya diarahkan serta dikendalikan oleh kelompok yang pertama.

Sementara, menganggap bahwa penyebab kemerosotan negara adalah karena kekayaan yang mengalir ke luar negeri seperti yang disampaikan oleh Prabowo, sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Sebab, Daron Acemoglu dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan James A. Robinson dari Universitas Harvard mengatakan bahwa kekayaan alam bukanlah faktor yang menentukan kemajuan sebuah negara.

Pendapat kedua profesor tersebut didasarkan pada penelitian mereka terhadap sejarah politik dan sejarah ekonomi dalam kurun waktu 400-500 tahun terakhir yang dituangkan dalam sebuah buku Why Nation Fails: the Origins of Power, Prosperity and Poverty

Lebih dari itu, keduanya juga menunjukkan banyak contoh negara kaya akan sumber daya alam, tetapi gagal dalam pembangunan. Kegagalan tersebut bersumber dari tidak efektifnya institusi politik dan institusi ekonomi untuk menyokong pembangunan yang berkelanjutan.

Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, kegagalan yang dimaksud Prabowo lebih tepat disebabkan oleh institusi politik dan ekonomi yang dalam hal ini, dikuasai oleh elite. Artinya, poin Prabowo bisa pula dibenarkan.

Dalam konteks Indonesia, elite seperti yang dimaksud Prabowo lebih mendapatkan keuntungan dari pengelolaan sumber daya di wilayah tersebut.

Untuk menguji pandapat itu, bisa dilihat misalnya pada era Orde Baru. Meski banyak anggapan bahwa masa itu adalah momentum dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, namun sejarah mencatat bahwa di tahun 1998, terbukti pencapaian yang terjadi tidak terjadi secara fundamental, sehingga sangat rapuh dan sewaktu-waktu dapat berbalik ke titik ekstrim.

Tata kelola institusi politik dan institusi ekonomi yang sangat buruk di masa Orde Baru, membuat pertumbuhan ekonomi yang sempat meroket tidak dapat dipertahankan dan justru membawa Indonesia pada titik balik. Soeharto tidak mampu membangun institusi politik dan ekonomi yang bersifat inklusif, sehingga gagal mempertahankan capaian-capaian yang sempat ditorehkannya.

Lantas, bagaimana dengan hari ini?

Memang kini telah terjadi banyak perubahan, terlebih dalam pembangunan politik.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga bisa dikatakan lebih baik jika dibandingkan dengan pada masa Orde Baru. Saat dunia mengalami krisis pada tahun 2008 misalnya, Indonesia terbukti masih bertahan dengan fundamental ekonomi yang cukup kuat. Bahkan ketika setahun kemarin dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami penguatan terhadap rupiah, tidak begitu banyak dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakat.

Meski begitu, perlu disadari bahwa ketimpangan ekonomi di Indonesia masih cukup tinggi.

Hal itu ditunjukkan oleh Indeks Gini – yakni indeks untuk mengukur ketimpangan dalam sebuah negara dari 0 (kesetaraan sempurna) sampai 100 (ketidaksetaraan sempurna). Data dari Bank Dunia menyebutkan Indeks Gini Indonesia meningkat dari 30,0 pada dekade 1990-an menjadi 39,0 pada 2017.

Artinya, masih banyak orang Indonesia tidak menikmati pertumbuhan ekonomi yang kerap dijadikan indikator keberhasilan pemerintah.

Blaming Game Prabowo

Upaya Prabwo membawa isu elite dalam kampanye politiknya bisa dipahami sebagai strategi blaming game. Strategi ini dimaknai sebagai cara untuk “menelanjangi” kekuatan lawan dengan mendegradasi kebijakan atau pernyataan mereka. Hal ini umum terjadi pada Pemilu di negara-negara demokrasi, misalnya di AS pada 2016 lalu.

Kala itu, Donald Trump disebut sebagai blaming gamer sebab ia kerap menuding kebijakan dari rezim sebelumnya. Misalnya saja ketika ia menuding program Obamacare yang disebutnya sebagai sumber masalah yang diciptakan oleh Partai Demokrat.

Prabowo menggunakan elite sebagai blaming game. Share on X

Sosok yang kini menjadi presiden dari Partai Republik itu menyebut Obamacare sebagai beban ekonomi akibat Undang-Undang Affordable Care 2010 atau undang-undang kesehatan AS. Trump menganggap program tersebut sebagai beban fiskal yang tidak efektif dan efisien.

Dalam konteks Indonesia, Prabowo memiliki kesamaan dengan Trump karena sama-sama berasal bukan dari partai penguasa. Sebagai penantang dalam kontestasi Pilpres, Prabowo memiliki keuntungan politik dengan mengkritik kebijakan pemerintahan yang sedang berjalan. Blaming game terhadap kelompok elite ini adalah salah satu contohnya.

Hal ini sejalan dengan pendapat Mark Hickson dan Larry Powell dalam The Political Blame Game in American Democracy yang menyebut strategi tersebut sudah jamak digunakan lebih dari lima dekade. Politikus yang menggunakan cara ini akan membebankan tanggung jawab kepada pihak lawan.

Dengan cara ini ada semacam insinuasi dan dengan begitu bisa menarik simpati dari sebagian masyarakat Indonesia. Prabowo seolah memosisikan dirinya secara berbeda dengan elite politik Indonesia lainnya, bahkan mengkritik kubu lawannya.

Meski begitu, Mark dan Larry menyebut bahwa cara ini termasuk negatif sebab berpotensi akan menimbulkan kegaduhan di ranah publik karena saling lempar tanggung jawab.

Jika melihat pernyataan Prabowo, meski kata-katanya mengandung kebenaran, namun tudingannya kepada elite tentu akan mendatangkan keriuhan. Hal itu misalnya diungkapkan oleh kubu pendukung Jokowi yang menyebut pernyataan Prabowo tersebut akan membuat gaduh karena tidak menyebutkan dengan jelas siapa elite yang ia maksud.

Lalu, apakah drama blaming game ini akan terus digunakan oleh Prabowo? Seperti apa dampaknya terhadap pemenangan sang jenderal? Menarik untuk ditunggu. (A37)

Exit mobile version