Site icon PinterPolitik.com

Prabowo Blunder Dekati Deddy Corbuzier?

Prabowo Blunder Dekati Deddy Corbuzier?

Foto: Facebook Deddy Corbuzier

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto mendapat sorotan tajam setelah Deddy Corbuzier mendapat pangkat Letnan Kolonel (Letkol) Tituler. Apakah langkah Prabowo dalam mendekati Deddy merupakan blunder politik?


PinterPolitik.com

“You’ll make bundle of blunders if you consider yourself too clever to look at anothers work.” ― Michael Bassey Johnson

Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Deddy Corbuzier, Senjata Andalan Prabowo? pada 26 Oktober 2022, telah disimpulkan bahwa Prabowo Subianto tengah mendekati Deddy Corbuzier. Sebelum viral karena mendapat pangkat Letnan Kolonel (Letkol) Tituler, Deddy telah ditunjuk sebagai Duta Komponen Cadangan (Komcad) dan menemani lawatan Prabowo ke Amerika Serikat (AS) mengunjungi petinggi militer Paman Sam.

Pangkat Letkol Tituler yang kini tersemat di pundak Deddy seolah mengafirmasi hipotesis dalam artikel Deddy Corbuzier, Senjata Andalan Prabowo?. Melihat gelagat dan variabel yang ada, besar kemungkinan Prabowo memproyeksikan Deddy sebagai juru bicara. Tentu, itu karena kemampuan mumpuni Deddy dalam bidang komunikasi massa, khususnya komunikasi digital.

Namun, seperti yang terlihat, alih-alih mendapat sorotan positif, pendekatan Prabowo ke Deddy justru menuai sorotan tajam, khususnya setelah pemberian pangkat Letkol Tituler. Berbagai pengamat militer mempertanyakan apa urgensi pemberian pangkat itu? 

Jika melihat kasus-kasus sebelumnya, pemberian Tituler selalu memiliki alasan yang jelas. Ketika Sejarawan Universitas Indonesia (UI) Profesor Nugroho Notosutanto diberikan Brigadir Jenderal (Brigjen) Tituler, misalnya, itu karena TNI tidak memiliki prajurit yang pakar dalam menyusun sejarah.

Oleh karenanya, Profesor Nugroho diberikan pangkat Brigjen Tituler untuk memimpin Pusat Sejarah TNI karena ditugaskan menyusun sejarah nasional Indonesia merdeka.

Pada kasus pemberian Letkol Tituler kepada Deddy, urgensi semacam itu belum terlihat. Menurut pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, jika Deddy hanya ditugaskan untuk kepentingan sosialisasi, penunjukannya sebagai Duta Komcad sebenarnya sudah cukup.

“Saya enggak melihat urgensinya, belum ketemu saya urgensinya pemberian pangkat itu,” ungkap Fahmi pada 14 Desember 2022.

Lantas, apakah pendekatan Prabowo kepada Deddy adalah suatu blunder politik?

Prabowo Masuk Jebakan?

Dalam tulisannya The 2024 presidential election landscape taking shape: “Mirror mirror on the wall, who’s the fairest of them all?”, Khairul Fahmi menyebut terdapat empat gimik utama yang dilakukan kandidat Pilpres 2024 saat ini.

Pertama, menggunakan ruang siber dan media sosial. Hampir semua kandidat menggunakan ruang-ruang digital untuk membangun citra politiknya. Mereka yang paling masif dan aktif menggunakan gimik ini adalah Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Puan Maharani, Erick Thohir, dan Sandiaga Uno.

Kedua, menggunakan media luar ruang seperti baliho, spanduk, dan poster yang ditempatkan pada titik-titik strategis yang mudah terlihat. Gimik ini khususnya ditujukan kepada masyarakat yang memiliki keterbatasan akses digital. 

Sejauh ini, yang masif menggunakan gimik ini adalah Puan Maharani, Erick Thohir, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). 

Ketiga adalah safari politik. Ini adalah gimik yang paling tua. Semua kandidat melakukannya tanpa terkecuali. Yang membedakannya hanya pada tingkat intensitasnya.

Gimik terakhir atau yang keempat adalah penggunaan wewenang dan fasilitas sebagai pejabat publik. Dapat dikatakan ini adalah gimik privilese. Mereka yang jamak dilihat menggunakan gimik ini adalah Erick Thohir dan Sandiaga Uno. 

Kita dapat melihat wajah Erick di ATM BUMN. Sedangkan Sandi, ia diuntungkan karena tugasnya memang keliling ke tempat-tempat wisata yang tersebar di seluruh Indonesia.

Lalu, gimik apa yang digunakan Prabowo? Fahmi memberikan jawaban menarik. Menurutnya, Prabowo menggunakan “gimik tanpa gimik”. Prabowo yang terlihat tidak menggunakan gimik politik justru merupakan gimiknya.

Prabowo yang menampilkan diri fokus pada tugasnya memimpin Kementerian Pertahanan (Kemhan) menciptakan persepsi positif. Masyarakat menilai Prabowo sebagai sosok profesional yang fokus menjalankan tugas dan menunjukkan hasil kerja. 

Terlebih, media massa seolah menjadi corong suara Prabowo dalam menunjukkan diplomasi pertahanan dan kesepakatan-kesepakatan alutsista dengan negara lain.

Nah, di sini poinnya menjadi menarik. Seperti yang disebutkan Fahmi, “gimik tanpa gimik” yang dijalankan Prabowo selama ini terbukti bekerja dan positif. Namun, entah mengapa, Prabowo justru masuk jebakan memainkan gimik frontal dengan memberikan Letkol Tituler kepada Deddy.

Terlepas ide pemberian pangkat itu dari siapa, yang jelas, Prabowo telah terjebak menjadi “politisi kebanyakan”. Karena mungkin “tergiur” dengan popularitas Deddy, Prabowo sepertinya merasa perlu menampilkan kedekatannya secara terbuka.

Singkatnya, blunder Prabowo bukan pada manuvernya untuk mendekati Deddy, melainkan caranya yang terlalu vulgar. Terlebih, pemberian pangkat Letkol Tituler tanpa urgensi yang jelas memberikan kesan pangkat itu terlalu murah dan mudah didapatkan.

Bukan Salah Prabowo?

Well, terlepas dari blunder yang dilakukan Prabowo, mungkin tepatnya “pembisiknya”, sebenarnya tidak tepat jika Prabowo dan Kemhan dijadikan pesakitan dalam pemberian pangkat Letkol Tituler kepada Deddy.

Menurut Khairul Fahmi, memang benar Prabowo dan Kemhan yang mengusulkan, namun yang berwenang dan menyetujui pangkat itu adalah KASAD dan Panglima TNI. Artinya, yang seharusnya memberi keterangan bukanlah Kemhan, melainkan Mabes TNI. Kenapa KASAD dan Panglima TNI menyetujui usulan itu?

Mengutip Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly, hanya menyalahkan Prabowo dan Kemhan termasuk dalam bias kognitif yang disebut dengan fundamental attribution error. Itu adalah bias kognitif yang terjadi ketika kita melakukan kesalahan fundamental dalam melakukan atribusi atas suatu peristiwa.

Untuk mempermudah pemahaman, Dobelli mencontohkan keberhasilan dan kegagalan perusahaan yang kerap dikaitkan kepada sosok CEO. Padahal, berhasil atau gagalnya perusahaan bukan karena seorang CEO semata, melainkan karena fenomena kompleks, seperti karyawan yang kompeten, pasar yang mendukung, dan seterusnya.

Seperti dijelaskan sebelumnya, menyalahkan Prabowo dan Kemhan atas pangkat Letkol Tituler Deddy adalah fundamental attribution error karena yang menyetujui pangkat itu adalah KASAD dan Panglima TNI.

Namun, meskipun menjadikan Prabowo dan Kemhan sebagai pesakitan tidak tepat. Kesalahan atribusi masyarakat juga karena kesalahan Prabowo sendiri.

Pasalnya, yang berfoto dengan Deddy adalah Prabowo, bukan KASAD dan Panglima TNI. Terlebih, berbagai pemberitaan media juga menyebut pangkat itu diberikan oleh Prabowo. (R53)

Exit mobile version