Site icon PinterPolitik.com

Prabowo Bermain Politik Korban?

Prabowo Bermain Politik Korban

Foto: Tribun News

Dalam berpolitik, segala macam cara digunakan untuk menang. Termasuk pura-pura menjadi korban.


Pinterpolitik.com 

[dropcap]S[/dropcap]ekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menilai Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang diikuti oleh Prabowo Subianto untuk kali ketiga ini merupakan yang terberat di antara Pilpres 2009 dan 2014 lalu.

Muzani mengaku pada Pilpres kali ini koalisi pendukung merasakan Prabowo “dikepung” dari berbagai lini.

Di pihak lain, Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Irma Suryani Chaniago membantah pendapat Ahmad Muzani tersebut. Ia malah membalik tuduhan bahwa pihak Jokowi-lah yang dikepung oleh permain politik dari kubu Prabowo.

Playing victim dimainkan dalam konteks Pemilihan Presiden 2019. Share on X

Kosa kata “dikepung” ini adalah sebuah konsep yang mengandaikan bahwa kedua belah pihak merasa tersudut oleh sikap politik dari kelompok lawan. Atau dalam kata lain mereka sedang mencoba memainkan sebuah peran sebagai korban.

Dalam suasana Pilpres seperti sekarang ini, nampaknya ada sebuah narasi baru yang coba dikembangkan terutama oleh pihak Prabowo. Mereka memainkan peran seolah berada pada posisi sebagai korban dari lawan politiknya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan simpati dari masyarakat.

Lantas yang menjadi pertanyaan adalah, apakah dengan pendekatan playing victim semacam ini efektif untuk konteks politik Indonesia?

Bermain Politics of Victimhood

Wacana kampanye politik beberapa hari ini merujuk pada permainan peran sebagai korban atau playing victim. Konsep ini mengandaikan bahwa salah satu pihak sedang mendapatkan kesulitan atau kerugian akibat manuver yang dilakukan oleh lawan dalam konteks Pilpres.

Hal tersebut seperti yang digambarkan oleh Robert Horwitz dalam tulisannya berjudul Politics as Victimhood, Victimhood as Politics bahwa politik korban digunakan sebagai upaya untuk menarik simpati seolah-olah kubu tersebut menjadi korban otoritas dan kesewenang-wenangan.

Strategi ini menjadi penting sebab ada sisi psikologi dan emosional yang dimainkan oleh seseorang atau kelompok, sehingga masyarakat umum cenderung akan ikut merasakan dan memberikan simpati.

Kondisi ini terjadi di Pilpres Amerika Serikat (AS) tahun 2016 lalu. Dalam kampanyenya, Donald Trump menggunakan metafora retoris. Ia membangun insinuasi kepada pendukungnya, yakni secara radikal memposisikan diri sebagai korban.

Ketika Trump menyebut bahwa politik telah “dicurangi”, atau argumennya untuk membangun tembok dan menolak imigran Muslim, semua dimaksudkan untuk memagari “ancaman” dari luar – misalnya ketika ia mendeklarasikan bahwa perdagangan yang tidak adil telah membuat warga AS kulit putih telah tergusur oleh orang-orang Meksiko dan pekerja Tiongkok.

Trump menyinggung betapa pentingnya hidup mereka sebagai warga AS yang tengah terancam. Alih-alih menjadi pemenang, malah menjadi korban di tanah sendiri. Menurutnya, AS – terutama bagi warga kulit putih – tidak akan pernah unggul dalam persaingan ekonomi.

Trump tidak berbicara secara literal dengan menggunakan fakta dan logika. Namun, ia menyakinkan pendukungnya dengan menggunakan pendekatan emosional dan sentimen psikologis.

Dalam konteks politik di Indonesia, permainan ini bisa ditelusuri setidaknya saat ramai-ramai kasus Ratna Sarumpaet mencuat. Dalam kasus itu diyakini bahwa kelompok Prabowo sedang menggunakan playing victim untuk menyerang kubu Jokowi. Ratna diketahui bagian dari tim kampanye Prabowo.

Ada dua skenario yang dimainkan oleh kubu Prabowo pada kasus Ratna. Yang pertama adalah skenario Ratna “benar-benar” dipukuli. Dengan narasi tersebut kubu Prabowo diposisikan sebagai korban politik yang mau tidak mau dituduhkan dilakukan oleh kubu Jokowi.

Dengan begitu pihaknya akan mendapatkan keuntungan (advantage) dari skenario tersebut karena masyarakat akan melihat bahwa kubu Jokowi menggunakan cara-cara kekerasan dalam kontestasi Pilpres. Namun, sayang skenario itu pupus.

Sementara skenario kedua, kubu Prabowo tetap menjadi korban, namun dalam hal ini adalah korban penipuan Ratna Sarumpaet. Dengan wacana ini, Prabowo memposisikan diri sebagai orang yang gentleman karena meskipun sudah dirugikan dengan penipuan Ratna, namun ia tetap bersedia meminta maaf kepada publik.

Artinya, dalam kedua skenario tersebut. Prabowo tetap memainkan peran sebagai korban.

Selain itu, narasi ini juga ikut dikembangkan oleh tim kampanye Prabowo yang lainnya, misalnya yang dibangun oleh Ahmad Muzani. Indikator itu terlihat misalnya ketika Muzani menyebut bahwa pada Pilpres 2009 tidak ada pengerahan kepala daerah baik bupati, wali kota, hingga gubernur untuk mendeklarasikan dukungan kepada salah satu calon. Sedangkan saat ini, ada kesan pengerahan para kepala daerah terjadi secara masif.

Bahkan, menurut Muzani, kepala daerah yang berasal dari koalisi pendukug Prabowo tidak berani untuk mendeklarasikan dukungan.

Selain itu, kepungan berikutnya berasal dari hasil berbagai lembaga survei terkait elektabilitas Prabowo, hingga pemberitaan di media massa yang cenderung condong ke Jokowi dan Ma’ruf Amin.

Begitu pula halnya dengan dukungan para pengusaha yang hendak mendukung Prabowo merasa khawatir karena sudah terikat proyek dengan pemerintah. Jika ada yang mau mendukung pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Selain itu, Prabowo kerap menggunakan wacana ketakutan untuk menggiring opini publik. Misalnya ketika ia menyebut adanya kebocoran finansial akibat kegagalan pemerintah mengelola ekonomi.

Hal ini juga termasuk persoalan sulitnya masyarakat mengakses kebutuhan ekonomi hingga isu tenaga kerja asing yang disebut Prabowo telah menggusur posisi masyarakat Indonesia.

Wacana ketakutan yang mirip dengan yang digunakan oleh Trump ini juga terkesan sebagai bagian dari politik korban.

Prabowo memposisikan masyarakat Indonesia sebagai korban oleh asing dan elite yang korup. Dengan membangun ketakutan dan kecemasan tersebut Prabowo berharap adanya simpati dari publik. Sebab Prabowo sadar bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih tergolong ke dalam kelompok konservatif dalam berpolitik.

Strategi Kampanye yang Efektif?

Jika melihat keseuksesan Trump memenangkan Pilpres di AS dengan narasi playing victim, sebenarnya hal itu juga memiliki kans besar terjadi di Indonesia.

Hal ini diamini oleh Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Suko Widodo. Ia  mengatakan strategi playing victim sebetulnya bisa menciptakan dampak yang dahsyat sebab pendekatan yang dilakukan secara emosional bisa menyetir emosi orang lain yang mengetahuinya.

Wacana ketakutan ini mengandaikan bahwa masyarakat Indonesia adalah korban dari kekuatan asing. Bahasa yang digunakan dapat membentuk suatu realitas tertentu pada masyarakat. Hal tersebut didasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh Kenneth Burke dalam Language as Symbolic Action yang menyatakan bahwa kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masalah, tetapi juga membatasi persepsi dan mengarahkannya pada cara berpikir tentang keyakinan tertentu.

Dengan demikian, kata-kata “dikepung” atau wacana ketakutan yang lainnya dapat membatasi masyarakat melihat perspektif lain, menyediakan aspek simpati dari narasi terssebut dan mengarahkannya untuk memahami bahwa pihaknya adalah korban dari lawan politiknya.

Namun sayangnya, konsep playing victim tidak akan berpengaruh besar pada masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan masyarakat cenderung menilai hal tersebut hanya sebagai drama politik yang menginginkan simpati publik.

Selain itu, masyarakat kini sudah bebas mengakses informasi serta menelusuri jejak digital. Sehingga ketika kenyataan yang mencuat berbeda dengan yang digambarkan, publik malah akan antipatif terhadap isu tersebut.

Contoh yang paling nyata adalah kasus Ratna Sarumpaet. Meski pada kasus tersebut kubu Prabowo memposisikan diri sebagai korban, tapi masyarakat lebih melihat hal itu sebagai drama politik semata.

Selain itu, tingkat kepuasaan kepada pemerintahan Jokowi juga cukup besar. Hal itu terlihat dari survei terbaru yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menyebut bahwa elektabilitas Jokowi-Ma’ruf berada pada angka 60,4 persen. Sementara Prabowo-Sandi hanya mendapatkan dukungan 29,8 persen. Menurut survei tersebut, Jokowi memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan Pilpres nanti.

Kondisi ini tentu saja berbeda dengan apa yang terjadi di AS. Playing victim Trump berhasil karena lawannya adalah Hillary Clinton, sosok yang nyatanya juga mendapatkan penilaian yang buruk dari publik AS.

Selain itu, Hillary dianggap belum memiliki kapasitas dalam memimpin. Sebaliknya di Indonesia, rekam jejak Jokowi sudah dibuktikan setidaknya dalam kurun waktu empat tahun belakangan ini.

Jika demikian, apakah itu berarti Prabowo perlu memikirkan strategi lain untuk memenangkan Pilpres 2019? Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, kini Prabowo semakin kuat mempersonifikasikan dirinya dengan sosok Trump. Berhasil atau tidaknya hal ini baru akan terbukti di bilik suara pada April 2019 nanti. (A37)

Exit mobile version