Kubu Prabowo menyebut visi ekonominya anti-neolib, berbeda dengan pemerintahan Jokowi saat ini.
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]da yang masih familiar dengan kata “neolib” atau “neoliberalisme”? Kata tersebut sempat tenar beberapa tahun lalu karena digunakan untuk memberikan kritik pembangunan ekonomi dalam sebuah rezim. Kini, jelang Pilpres 2019, kata tersebut kembali muncul ke permukaan.
Adalah Partai Gerindra dan Prabowo Subianto yang kembali memberi panggung bagi kata itu untuk kembali masuk ke ruang-ruang pemberitaan. Partai berlogo burung Garuda ini menggunakan istilah neolib untuk menyerang kebijakan ekonomi di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Menurut mereka, kebijakan ekonomi di masa ini tidak berhasil menimbulkan pertumbuhan dan malah menyengsarakan rakyat kecil.
Sebagai pelengkap, Gerindra menyebut bahwa visi Prabowo sebagai capres tidak akan mengadopsi mazhab neoliberalisme seperti yang dilakukan oleh Jokowi. Mereka memang mengakui bahwa visi dan misi Prabowo belum rampung. Walau masih di awang-awang, mereka memastikan kebijakan ekonomi Prabowo tidak akan berhaluan neolib.
Tuduhan kubu Prabowo terhadap pemerintahan Jokowi menarik untuk dibahas lebih lanjut. Benarkah ekonomi Indonesia saat ini berjalan dalam haluan neoliberalisme? Lalu mengapa Prabowo begitu membenci kata itu sehingga menyerang Jokowi melalui ideologi ekonomi tersebut?
Sentimen Anti-Neolib
Kata neolib hampir selalu muncul jelang Pemilu. Istilah ini pernah sangat populer di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tim ekonomi SBY yang digawangi oleh Sri Mulyani dan Wakil Presiden Boediono dianggap sebagai pihak-pihak yang mengarahkan ekonomi Indonesia menuju neoliberalisme.
Jika dilihat secara global, istilah ini mengalami kebangkitan di tahun 1980-an saat Augusto Pinochet menjadi pemimpin di Cile. Pinochet kala itu menjalankan sejumlah reformasi ekonomi yang mengarah kepada sistem laissez-faire (pasar bebas murni) dan kapitalisme yang ekstrem. Kebijakan Pinochet dipuji oleh ekonom-ekonom berhaluan serupa, tetapi juga menuai kritik. Cap neolib kemudian dialamatkan pada Pinochet dan sejak saat itu nada buruk terhadap neolib muncul beserta sentimen anti-neolib.
Sebenarnya tidak mudah untuk rumusan pasti dari aliran ini. Beberapa ekonom bahkan sempat menganggap neoliberalisme tidak benar-benar ada dan hanya digunakan sebagai istilah yang merendahkan saja.
Secara umum, neoliberalisme muncul sebagai pembaruan dari aliran liberalisme klasik. Salah satu pemikir utama aliran ini adalah peraih nobel ekonomi Friedrich Hayek. Hayek menolak segala bentuk intervensi negara karena dianggap membahayakan pasar dan kebebasan politik.
Pemikir utama lain dari aliran ini adalah Milton Friedman yang juga menjadi peraih nobel ekonomi. Friedman menyebut bahwa ancaman utama kebebasan adalah pemusatan kekuasaan sehingga kekuasaan pemerintah harus dibatasi. Pemerintah memiliki tugas untuk menjaga pasar untuk tetap kompetitif.
Ekonom-ekonom IMF yaitu Jonathan D. Ostry, Prakash Loungani, and Davide Furceri kemudian menyarikan apa yang menjadi fokus utama dari aliran ini. Yang pertama adalah meningkatnya kompetisi ekonomi. Hal ini ditandai dengan deregulasi dan pembukaan pasar domestik untuk kompetisi asing. Yang kedua, peran yang lebih kecil dari negara. Hal ini dicapai melalui privatisasi dan pembatasan kekuasaan negara dalam aspek-aspek ekonomi.
Secara spesifik, neoliberalisme juga termaktub di dalam Washington Consensus yang pertama kali dikemukakan oleh Direktur Bank Dunia John Williamson. Ada 10 kata kunci yaitu disiplin fiskal, mengurangi subsidi, reformasi perpajakan, liberalisasi keuangan, nilai tukar mata uang kompetitif, liberalisasi perdagangan dengan meminimalisasi tarif dan perizinan, penanaman modal asing seliberal mungkin, privatisasi, deregulasi, dan penghargaan terhadap hak milik.
Selain 10 kata kunci itu, dalam perkembangannya ada 10 kata kunci tambahan. Tambahan itu adalah bank sentral independen, reformasi sektor publik, fleksibilitas tenaga kerja, pemberlakuan kesepakatan WTO dan standar-standar internasional, penguatan sistem keuangan untuk liberalisasi, pembangunan berkelanjutan, perlindungan masyarakat miskin, pengurangan kemiskinan, kebijakan pembangunan nasional, dan partisipasi demokrasi.
Terpapar Ideologi Luar
Lalu apakah Indonesia sudah benar-benar terpengaruh paham ini? Sulit untuk benar-benar menjawab pertanyaan ini. Meski demikian, ada beberapa indikator yang dapat dibedah untuk mengetahui apakah Indonesia sudah berhaluan neolib atau belum.
Dalam beberapa aspek, Indonesia boleh jadi terlihat sudah mengadopsi kebijakan berbau neolib. Hal ini ditandai misalnya dengan adanya deregulasi dan masuknya pihak asing dalam kompetisi ekonomi negeri ini.
Dalam hal deregulasi misalnya, Presiden Joko Widodo tampak amat geram dengan banyaknya regulasi yang dianggap dapat menghambat investasi dan kemajuan bisnis tanah air. Secara spesifik, pemerintahan Jokowi melakukan “perang” terhadap regulasi yang membelenggu melalui kebijakan Paket Ekonomi Jilid XII.
kl belum selesai dirumuskan jangan kampanyekan dulu. kl udah selesai, ayo kita diskusi apa itu ekonomi pasal 33 uud, apa itu ekonomi neolib dan implikasinya pasa rakyat luas san khususnya kaum milineal. jangan hanya slogan. https://t.co/5C7N7mh7jG
— saiful mujani (@saiful_mujani) August 6, 2018
Pemerintah juga saat ini tengah menggenjot Penanaman Modal Asing (PMA) secara besar-besaran. Selama tiga tahun terakhir, tren kenaikan terus terjadi. Beberapa sektor yang semula tidak dimasuki oleh PMA kini sudah mulai dibuka. Hal ini sejalan dengan kata kunci di dalam Washington Consensus yaitu penanaman modal asing seliberal mungkin.
Meski begitu, Indonesia sendiri masih tampak bertumpu pada peran negara yang terlalu besar dalam bidang ekonomi, sehingga intervensinya belum benar-benar hilang. Padahal, sebagaimana disebut oleh Hayek, intervensi oleh negara dalam ekonomi adalah hal yang diharamkan dalam paham neoliberalisme.
Indonesia misalnya masih menerapkan kebijakan proteksionis terhadap barang impor. Indonesia di era Jokowi misalnya melakukan pembatasan terhadap barang-barang impor seperti makanan, tumbuhan, serta produk hewani. AS dan Selandia Baru misalnya menjadi korban dari kebijakan pembatasan impor ini.
Kalaupun Indonesia terlihat sedikit mengadopsi paham neoliberalisme, hal ini terjadi karena adanya interkoneksi antar negara. Dalam kadar tertentu, interaksi dan perdagangan dengan negara-negara dan lembaga internasional membuat masuknya paham ini menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan.
Hal ini ditandai misalnya melalui gugatan Presiden AS Donald Trump kepada WTO untuk memberi sanksi kepada Indonesia. Kebijakan ekonomi Indonesia yang terlalu proteksionis tidak disukai oleh negara-negara seperti AS. Terlihat bahwa di era di mana negara-negara saling terhubung, Indonesia seperti dipaksa mengikuti kemauan politik global melalui WTO, sehingga tidak bisa terlampau proteksionis.
Secara spesifik, David Harvey, penulis A Brief History of Neoliberalism, menyebut bahwa neoliberalisme adalah proyek politik dari kelompok tertentu. Harvey menyebut bahwa ideologi ini hadir sebagai bentuk perang ide terhadap pemikiran-pemikiran klasik. Kelompok ini mendapat perhatian dan pendanaan dari kelompok berduit.
Kelompok-kelompok orang kaya ini tampaknya menyukai gagasan ekonomi neoliberalisme ini. Hal ini membuat mereka rajin menyebarkannya ke seluruh dunia. Mereka sendiri tampak tidak kesulitan karena lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO rajin menjual resep kebijakan ekonomi seperti ini ke berbagai negara.
Malas Dicap Neolib
Berdasarkan kondisi di atas, sulit untuk mengatakan bahwa Indonesia di bawah Jokowi sudah benar-benar menjadi negara neoliberal seperti yang dituduhkan Prabowo Subianto. Ada paradoks di mana di satu sisi terjadi deregulasi, tetapi di sisi lain justru terjadi restriksi terhadap impor. Indikasi mungkin ada, tetapi tidak ideal juga untuk menaruh cap neolib kepada Jokowi.
Jika dilihat dari visi misi Partai Gerindra misalnya, terlihat bahwa mereka banyak menyebutkan soal ekonomi kerakyatan alih-alih kebebasan pasar atau istilah lain yang kerap menjadi kunci utama dari ideologi neoliberalisme. Mereka juga banyak menyebut keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
“Saya dulu juga pernah neolib. Namun saya bertobat. Bagi yang belum bertobat, bertobatlah. Bergabunglah dengan saya.” ~Prabowo Subianto
— RumahAksara™ (@didienAZHAR) November 27, 2016
Meski begitu, Prabowo dan Gerindra belum benar-benar merinci kebijakan ekonomi seperti apa yang akan mereka lakukan. Tidak ada pengejawantahan yang spesifik dalam aspek-aspek tertentu seperti misalnya soal pajak, subsidi, bantuan sosial, dan lain sebagainya. Yang penting, tajuk utama dari mereka adalah ekonomi kerakyatan.
Meski ogah dicap dan mengkritik habis neoliberalisme, tampaknya kemungkinan Prabowo dan Gerindra juga tidak ingin mendapat cap sosialisme atau ideologi-ideologi lain yang secara spektrum politik berada di sebelah kiri. Padahal, ideologi semacam itu merupakan musuh utama dari neoliberalisme dan memiliki paket antitesis yang konkret terhadap kebijakan ekonomi berhaluan neoliberalisme.
Berdasarkan kondisi tersebut, ada indikasi bahwa Prabowo dan Gerindra hanya memanfaatkan peyorasi istilah neoliberalisme saja. Negara ini memang mengadopsi sebagian pemikiran ideologi tersebut, akan tetapi belum sepenuhnya berada di spektrum tersebut. Apalagi, Prabowo juga tidak merinci kebijakan ekonomi kerakyatannya seperti apa dan bahkan belum selesai menyusun visi-misi ekonominya.
Istilah neolib memang dianggap menyebalkan dan terkesan tidak peduli dengan rakyat. Dengan membentuk citra anti-neolib Prabowo bisa membentuk kesan dirinya dekat dengan rakyat, berbeda dengan Jokowi yang neolib.
Menarik untuk ditunggu kebijakan ekonomi anti-neolib seperti apa yang dikeluarkan oleh Prabowo. Idealnya, ia harus membuat kebijakan yang kontras sebagai antitesis dari kebijakan Jokowi yang menurutnya neolib itu. Jika tidak, jargon anti-neolib Prabowo boleh jadi hanya pemanis kampanye yang tak berisi. (H33)