Dengarkan artikel ini:
Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan persoalan tata ruang proyek Pantai Indah Kapuk (PIK) 2. Makin menarik karena Aguan adalah konglomerat yang dekat dengan pemerintahan Jokowi. Banyak pertanyaan muncul bahwa setelah kekuasaan ada di tangan Prabowo, akankah status konglomerat dekat pemerintah ini beralih. Di saat yang sama, publik juga menyaksikan ada satu konglomerat yang diberi tanggung jawab besar oleh Prabowo. Dialah Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam. The new Aguan?
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tmemang engah mencari bentuk dan posisi politiknya di tengah berbagai dinamika ekonomi dan sosial. Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah membangun hubungan yang strategis namun seimbang dengan konglomerat, kelompok yang kerap memainkan peran sentral dalam ekonomi dan politik Indonesia.
Dalam konteks ini, menarik untuk membahas perbedaan mencolok antara dua tokoh konglomerat: Aguan dan Haji Isam, serta bagaimana hubungan mereka dengan pemerintahan saat ini merefleksikan arah kebijakan Presiden Prabowo.
Aguan, taipan di balik Agung Sedayu Group, dikenal sebagai salah satu konglomerat yang erat kaitannya dengan pemerintahan Jokowi. Proyek besar seperti Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 menjadi simbol kedekatan Aguan dengan pemerintah sebelumnya. PIK 2 masuk ke dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), menunjukkan pentingnya proyek ini dalam visi pembangunan Jokowi.
Ini karena selentingan bahwa PIK 2 jadi PSN karena posisi Aguan sebagai Ketua Konsorsium Nusantara dalam proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Aguan banyak berjasa membantu Jokowi mewujudkan janjinya membangun IKN di tengah seretnya investasi asing yang jadi jualan politik Jokowi. Status Aguan ini semakin mengukuhkan posisinya sebagai konglomerat kunci di era Jokowi.
Namun, setelah berakhirnya kekuasaan Jokowi, Aguan mulai menghadapi tantangan. Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Nusron Wahid baru-baru ini mengangkat isu terkait rencana tata ruang PIK 2. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) PIK 2 disebut tidak sesuai. Sementara Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) proyek tersebut juga belum ada. Nusron bahkan menyebut mayoritas bagian dari area PIK 2 masih berstatus hutan lindung dan belum berubah jadi hutan konversi.
Munculnya masalah ini ke permukaan tentu menimbulkan pertanyaan soal potensi pergeseran relasi antara pemerintah dan Aguan, dari pendukung utama menjadi pihak yang mulai mendapatkan kritik. Banyak yang menilai situasi ini sebagai bagian dari peralihan kekuasaan, di mana posisi konglomerat yang dekat dengan presiden akan berubah seiring pergantian kepemimpinan.
Benarkah demikian?
Dari Aguan ke Haji Isam?
Di sisi lain, muncul nama Haji Isam, seorang pengusaha tambang batu bara dan kelapa sawit yang kini dianggap sebagai salah satu konglomerat terdekat dengan Presiden Prabowo. Kepercayaan Prabowo terhadap Haji Isam terlihat dari penugasan proyek ambisius jutaan hektar sawah.
Haji Isam bahkan telah mulai bergerak mengirimkan alat-alat berat ke Merauke, Papua, untuk tujuan pembukaan lahan pertanian berupa jutaan hektar sawah. Ini ia lakukan bahkan beberapa bulan sebelum Prabowo dilantik sebagai Presiden. Jelas bahwa seperti Aguan yang “membantu” Jokowi mewujudkan IKN, Haji Isam tengah “membantu” Prabowo mewujudkan food estate.
Tidak hanya itu, Haji Isam juga diajak oleh Prabowo dalam pertemuan dengan para investor asing, menandakan kepercayaan besar terhadap kemampuan Isam untuk menjadi wajah baru pengusaha Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo.
Dengan latar belakangnya yang berbeda dari Aguan, Haji Isam membawa pendekatan baru dalam relasi antara pengusaha dan penguasa. Isam, yang dikenal memiliki jaringan kuat di sektor agribisnis, berpotensi menjadi “The Next Aguan” bagi pemerintahan Prabowo. Komitmennya terhadap proyek-proyek besar nasional menunjukkan bahwa ia siap mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh konglomerat era Jokowi.
Relasi Pengusaha-Penguasa: Perspektif Teoritis
Relasi antara pengusaha dan penguasa telah lama menjadi topik diskusi dalam ilmu politik dan ekonomi. Salah satu teori yang relevan dalam konteks ini adalah konsep rent-seeking. Ini salah satu konsep yang diatribusikan kepada Anne Krueger ketika menulis artikel The Political Economy of the Rent-Seeking Society yang diterbitkan di tahun 1974.
Menurut teori ini, pengusaha cenderung mencari keuntungan dengan memanfaatkan kedekatan politik daripada melalui inovasi atau efisiensi pasar. Dalam kasus Indonesia, hubungan antara presiden dan konglomerat sering kali dilihat melalui lensa ini.
Di era Jokowi, Aguan mewakili kelompok rent-seeker yang berhasil memanfaatkan kedekatan dengan pemerintah untuk mengamankan proyek-proyek strategis. Namun, dengan berakhirnya kekuasaan Jokowi, posisi Aguan mulai goyah.
Di sisi lain, Haji Isam tampaknya sedang membangun fondasi untuk menjadi rent-seeker utama di bawah Prabowo. Dengan proyek-proyek besar yang dipercayakan kepadanya, Isam menunjukkan bagaimana relasi pengusaha-penguasa dapat berubah dengan cepat seiring pergantian rezim.
Selain rent-seeking, teori patron-klien juga relevan untuk menganalisis fenomena ini. Dalam teori yang salah satunya dikembangkan oleh James C. Scott ini, penguasa bertindak sebagai patron yang menyediakan akses terhadap sumber daya ekonomi dan politik, sementara pengusaha menjadi klien yang mendukung patron secara finansial atau politik. Hubungan ini sering kali saling menguntungkan, tetapi juga dapat menciptakan ketergantungan yang merugikan dalam jangka panjang.
Nation of The Conglomerates: Masa Depan Prabowo
Dengan latar belakang militernya, Prabowo memiliki pendekatan yang berbeda dalam membangun relasi dengan konglomerat. Sebagai seorang elite dengan basis sosial yang kuat, ia memiliki kapasitas untuk mengambil posisi yang lebih dominan dalam relasi tersebut dibandingkan pendahulunya.
Jika Jokowi cenderung memberikan ruang yang besar bagi pengusaha untuk berkontribusi dalam proyek-proyek pemerintah, Prabowo mungkin akan lebih selektif dan terkontrol dalam memilih mitra konglomeratnya.
Namun, pendekatan ini juga membawa risiko. Ketergantungan pada segelintir konglomerat seperti Haji Isam dapat menciptakan monopoli baru yang berpotensi merugikan ekonomi dalam jangka panjang. Selain itu, jika Prabowo terlalu mengandalkan dukungan dari pengusaha tertentu, ia dapat kehilangan fleksibilitas politik untuk membuat keputusan yang independen.
Relasi antara Presiden Prabowo dan konglomerat seperti Aguan dan Haji Isam mencerminkan dinamika yang kompleks dalam politik dan ekonomi Indonesia. Aguan, yang menjadi simbol konglomerat era Jokowi, kini menghadapi tantangan baru di bawah pemerintahan Prabowo. Di sisi lain, Haji Isam muncul sebagai konglomerat utama yang diandalkan Prabowo untuk mendukung agenda ekonominya.
Masa depan kepemimpinan Prabowo akan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk menyeimbangkan hubungan dengan konglomerat tanpa kehilangan kendali atas arah kebijakan nasional.
Dengan latar belakang militernya, Prabowo memiliki potensi untuk menjadi presiden yang lebih dominan dibandingkan Jokowi dalam relasi dengan pengusaha. Namun, apakah ia dapat menghindari jebakan rent-seeking dan menciptakan ekonomi yang lebih inklusif masih menjadi pertanyaan besar yang hanya dapat dijawab oleh waktu. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)