Karpet merah bagi Sandiaga Uno untuk keluar telah disinggung oleh elite Partai Gerindra. Sementara itu, manuver elite PPP Muhammad Romahurmuziy ke PDIP tampaknya membuat akan sangat menarik jika Sandi benar-benar bergabung ke PPP. Mengapa demikian?
Gonjang-ganjing hijrahnya Sandiaga Uno dari Partai Gerindra ke PPP kembali terasa setelah salah satu elite partai besutan Prabowo Subianto menyiratkan sinyal khusus.
Dia adalah Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra Habiburokhman yang mempersilakan siapapun yang hendak keluar. Bahkan, frasa “karpet merah” terlontar dari pernyataannya.
“Silakan, karpet merah (bagi Sandi) untuk keluar. Kita (Partai Gerindra) enggak akan menghalang-halangi,” begitu pernyataan Habiburokhman yang tampak sebagai sinyal politik kuat untuk Sandi.
Sosok yang juga anggota Komisi III DPR RI itu juga menyebut partainya tak akan memperumit hijrahnya Sandi sebagai bagian dari hak konstitusional masing-masing pihak.
Respons Habiburokhman sendiri hadir setelah Plt. Ketua Umum (Ketum) PPP Muhammad Mardiono mengutarakan harapan bergabungnya Sandi ke partai berlambang Kakbah.
Mardiono pun seolah “membongkar” panggung belakang lobi politik, yakni dengan mengklaim masih menjalin komunikasi dengan Partai Gerindra maupun Sandi.
Menariknya, Mardiono memberikan daya pikat istimewa bagi Sandi, yaitu menyediakan tempat bagi jatah calon presiden (capres) maupun wakil presiden (cawapres) yang akan diusung PPP. Kini, tinggal restu Prabowo yang dinantikan sebagaimana juga disinggung Mardiono.
Menguatnya sinyal kepindahan Sandi ke PPP kiranya akan mengubah secara drastis dinamika politik dan bongkar pasang sosok capres-cawapres 2024. Bahkan, pertarungan panas bisa terjadi jika sosok Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) itu berlabuh ke PPP. Mengapa demikian?
Terlahir Untuk PPP?
Gejala kepindahan Sandi dan proyeksi pencapresannya tampak terus menguat. Kemarin, DPW PPP Gorontalo resmi mendeklarasikan Sandi sebagai capres di 2024.
Turut hadir dalam acara tersebut, Sandi pun tak sungkan untuk merespons secara terbuka sokongan tersebut.
“Jalan-jalan ke Gorontalo, perut lapar ingat ayam iloni. Kalau harus Sandiaga Uno, saya terima dengan senang hati,” begitu pantun Sandi dalam sambutannya.
Sebagai catatan, Gorontalo merupakan wilayah istimewa bagi Sandi. Abdul Uno, kakek Sandi dari garis sang ayah Henk Uno, berkontribusi cukup besar dalam perjalanan sejarah Indonesia di Serambi Madinah.
Anwar Haras dalam buku Coup d’état dan Penumpasan Pemberontak di Gorontalo mencatat, Abdul Uno merupakan salah satu tokoh yang membawa aspirasi rakyat Gorontalo ke Jakarta bersama Ismail Napu, Monira Liputo, dan Ibrahim Mohammad.
Variabel terkini terkait sokongan di Gorontalo, beserta satu “benang merah politik” khusus menjadikan tak berlebihan kiranya untuk menyebut Sandi terlahir untuk PPP. Setidaknya, jika ditinjau lebih lanjut dari konteks capital atau modal politik menyongsong kontestasi elektoral 2024.
Dalam publikasi yang berjudul Defining Political Capital, Kimberly L. Casey mengadopsi pendekatan sosiolog Prancis Pierre Bourdieu untuk menjelaskan esensi modal politik.
Casey menyebut seseorang dapat memiliki sejumlah modal yang bisa ditransformasikan menjadi modal politik. Sumber-sumbernya beragam, seperti modal ekonomi, modal sosial, modal institusional, modal sumber daya manusia, dan sebagainya.
Modal-modal yang ditransformasikan menjadi modal politik ini dapat menjadi determinan bagi karier politik sang pemilik modal. Bahkan, mengacu pada tulisan Casey, modal ini kerap diasosiasikan dengan kekuatan (power).
Mengacu pada analisis tersebut, tak sulit kiranya untuk menjelaskan modal yang dimiliki Sandi dan irisannya dengan PPP. Satu di antaranya ialah dukungan ulama.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPP Arwani Thomafi sempat menyebutkan karakteristik sokongan ulama dan Sandi pada akhir Desember lalu.
Relasi Sandi dengan para kiai dan ulama sendiri sebenarnya telah terjalin sejak Pilpres 2019 lalu kala berpasangan dengan Prabowo.
Pasca Prabowo mendapat sentimen minor dari para kiai, ulama, dan kelompok Islam tertentu karena dianggap “berkhianat” ke kubu Joko Widodo (Jokowi), impresi negatif tampaknya tak dialami oleh Sandi.
Sementara di sisi PPP, walaupun sempat terancam tak lolos ambang batas parlemen pada 2024 berdasarkan sejumlah survei, reputasinya sebagai partai politik (parpol) beraliran Islam “warisan” Orde Baru (Orba) membuatnya tak bisa dipandang sebelah mata.
Selain faktor ulama karismatik mendiang KH Maimun Zubair (Mbah Moen), Mardiono sebagai pemimpin baru PPP tampaknya juga sosok yang tepat untuk mengembalikan signifikansi hingga relevansi pengaruh dan aspirasi para kiai maupun ulama.
Michael Maccoby dalam Why People Follow the Leader: The Power of Transference menyiratkan budaya santri-santri di daerah yang memiliki sikap patuh pada kiai dan ulama panutannya dipengaruhi motivasi atas gambaran dan emosi yang kuat di alam bawah sadar mereka.
Relasi emosional itu kemudian dapat bertransformasi menjadi dukungan elektoral bagi entitas politik tertentu, utamanya perspektif mengenai saluran aspirasi yang mereka anggap paling representatif.
Tidak hanya itu, kelompok masyarakat yang menaruh penghormatan terhadap para ulama dan kiai pun memiliki tendensi “kepatuhan politik” yang serupa dengan para santri.
Di titik ini, simbiosis politik di antara Sandi dan PPP tampak memang cukup ideal untuk berkolaborasi di Pemilu dan Pilpres 2024.
Satu hal lain yang membuat kehadiran Sandi bisa mengisi nihilnya aktor utama di PPP, terutama setelah era Hamzah Haz.
Hamzah Haz adalah sosok PPP terakhir yang berhasil duduk di kursi eksekutif, yakni sebagai Wakil Presiden (Wapres) di masa Presiden Megawati Soekarnoputri (PDIP).
Salah satu dinamika politik terkini yang dilakukan elite PPP Muhammad Romahurmuziy saat menyambangi markas PDIP agaknya berupaya membuka kembali romansa tersebut, sekaligus membuka interpretasi plus peluang Sandi untuk menjadi “the next Hamzah Haz”.
Lalu, apakah Sandi benar-benar dapat menjadi ikon baru dan mengembalikan kejayaan PPP?
Cenderung ke “Modal”?
Dengan skenario Sandi bergabung ke PPP, perubahan reputasi plus dinamika konstelasi koalisi parpol jelang Pemilu 2024 kiranya memang akan menarik.
Khusus bagi eksistensi Sandi di PPP nantinya, analisis terhadap logistik politik tampak menjadi hal yang sulit untuk tak diamati.
Filsuf politik asal Amerika Serikat (AS) John Rawls pernah menyiratkan eksistensi sistem politik yang menempatkan uang sebagai penentu sebuah kebijakan maupun hasil kontestasi elektoral.
Walaupun akan cenderung favors the rich and hurts the poor atau berpihak pada yang kaya dan menyakiti yang miskin, tampaknya hal itu telah menjadi realita politik tersendiri, tak terkecuali di Indonesia.
Logistik sendiri menjadi unsur penting yang kiranya membuat kehadiran Sandi di PPP akan mengubah kekuatan dan daya tawar partai.
Tercatat, Sandi merupakan capres/cawapres dengan harta kekayaan terbesar berdasarkan Laporan Harta dan Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) Maret 2022 dengan Rp10,62 triliun.
Dengan restu sang Plt. Ketum PPP Mardiono yang menyediakan pos capres atau cawapres bagi Sandi sebagai iming-iming menggiurkan bagi karier politiknya, bukan tidak mungkin logistik PPP secara tidak langsung akan meningkat.
Selain Sandi, Mardiono pun nyatanya juga memiliki kekayaan dan potensi sumbangan logistik politik yang fantastis.
Berkecimpung di dunia bisnis berbagai sektor seperti perhotelan, logistik, dan perbankan, total kekayaan Mardiono mencapai Rp1,2 triliun (LHKPN Maret 2022).
Kembali, sebagai perbandingan dengan kandidat potensial di 2024, harta Mardiono hanya kalah dari Sandiaga Uno (Rp10,6 triliun), Erick Thohir (Rp2,31 triliun), dan Prabowo Subianto (Rp2,03 triliun). Bahkan, itu lebih tinggi dari Airlangga Hartarto, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, hingga Puan Maharani.
Oleh karena itu, proyeksi “menguntungkan” jika Sandi bergabung dengan PPP seperti yang dijabarkan di atas membuat lumrah kiranya jika isu yang bergulir semakin memanas.
Salah satu yang muncul ialah kabar keberanian Romahurmuziy yang menyebut Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, PAN, dan PPP bisa saja bubar.
Tentu, pernyataan itu tak berangkat dari ruang hampa. Bisa jadi, itu memiliki korelasi dengan isu kepindahan Sandi, belum pastinya capres/cawapres KIB, hingga upaya menaikkan daya tawar PPP.
Namun, kepindahan Sandi ke PPP agaknya tak lantas akan mutlak memperkuat logistik mereka.
Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik dari tim pemenangan Sandi di Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019, tidak seperti sangkaan banyak orang, Sandi ternyata sangat sulit untuk dimintai logistik demi kepentingan pemenangan.
Pengalaman itu disebut membuat tim pemenangan dan partai politik memiliki trauma tersendiri. Ekspektasi akan lancarnya logistik politik pun nyatanya terpatahkan.
Tinggal kini, apakah kecenderungan itu masih sama dan PPP mengharapkan perubahan dari Sandi jika bergabung kiranya masih belum dapat dipetakan. Yang jelas, kepastian kepindahan Sandi ke PPP memang cukup menarik untuk dinantikan kedepannya. (J61)