“This for my people, tryna stay alive and just stay peaceful. So hard to survive a world so lethal. Who will take a stand and be our hero, of my people, yeah?”– Joey Bada$, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)
Sob, menurut kalian gimana sih jika kalian ini mempunyai rumah dan kalian pinjamkan, tetapi selama dipinjam, kalian melihat bahwa rumah itu tidak lebih bagus, malah yang ada cenderung lebih semrawut? Tentu secara tegas kalian ingin dong meminta kembali rumah itu, lebih-lebih, memang itu hak kalian.
Namun, anehnya, ketika kalian minta rumah itu kembali, orang yang kalian pinjami ternyata merasa sok dan seakan lebih tahu bagaimana cara mengurus rumah dengan baik. Gemes nggak sih? Padahal, kalian melihat dengan mata kepala kalian sendiri bahwa management mereka itu buruk. Ampun banget kan pastinya, pengen nyubit ubun-ubunnya kan?
Nah, hal seperti di atas, kelihatannya sedang dialami oleh masyarakat Papua dan Papua Barat, sob. Karena merasa selama dipimpin oleh Kepala Daerah yang bukan berasal dari daerah setempat dan tidak ada perbaikan yang signifikan, akhirnya lembaga kultural yang mewakili masyarakat Papua dan Papua Barat menolak pencalonan bupati dan wakilnya yang bukan orang asli Papua dalam Pilkada kali ini, cuy.
Penolakan yang mereka lakukan ini bukan tanpa alasan ya, sobat. Salah satu yang mereka takutkan adalah jika kepala daerah berasal dari warga pendatang, nanti kebijakannya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar dan cenderung diskriminatif.
Bahkan Timotius, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) mencontohkan yang kondisi yang ada di Kabupaten Keerom – bahwa di sana banyak madrasah untuk SMA dan SMP. Asramanya juga lebih banyak. Namun, ternyata tempat ibadah untuk masyarakat Nasrani bisa dihitung dengan jari. Weleh-weleh, kan kebijakan harus disesuaikan dengan kondisi sekitar ya, sob. Hadehh.
Namun ternyata respons dari partai politik (parpol) yang ikut bertarung di sana di luar dugaan loh. Bayangkan, partai politik yang bertarung dalam Pilkada di Papua dan Papua Barat mengklaim pilihan calonnya lebih didasarkan faktor kompetensi ketimbang asal-usul calon.
Seperti yang dikatakan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perindo Achmad Rofiq, “Semua punya kemampuan, tapi kalau nggak ada kompetensi, bagaimana mau mendorong jadi pemimpin?”. Wadadaw, kok kesannya kalimat ini meremehkan kemampuan masyarakat Papua gitu loh?
Lagian nih kalau dilihat-lihat dalam Undang-undang otonomi khusus, yaitu pasal 28 ayat 1, 3, dan 4. Khususnya Ayat 3 dalam UU Otsus tertulis, “Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua.”
Selain Perindo, komentar lain juga datang dari Sekjen PPP Achmad Baidowi. Kata beliau, pencalonan bupati yang bukan orang asli Papua tidak menjadi masalah apabila sesuai prosedur.
Ayolah para elite Parpol, jangan kaku dari orang. Pelajarin lagi deh teori hukum responsif bahwa hukum itu tidak bisa dikaitkan dalam prosedur saja, tetapi harus memasukkan nilai-nilai daerah setempat.
Coba deh baca buku lagi tentang teori hukum responsif karya Nonet dan Selznick, agar apa yang kalian ucapkan itu nggak ngawur dan lebih substantif. Mimin saja kemarin pas di toko buku daerah Pasar Senen, baca buku itu sebentar langsung paham.
Lagian, masa sih cara pandangnya seakan mendiskreditkan seperti itu? Nggak elok dan elegan banget deh. Kalau cara pandang elite Parpol seperti ini, lah gimana daerah mau maju? Hmm. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.