Site icon PinterPolitik.com

PPP Perang, Prabowo Menang?

Resep Agar Prabowo Jadi Presiden

Ketum Partai Gerindra, Prabowo Subianto (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)

Tuntutan agar Suharso Monoarfa mundur dari kursi Ketua Umum (Ketum) PPP muncul seiring dengan semakin dekatnya agenda Pemilu 2024. Prabowo Subianto dan aktor politik lain kiranya akan diuntungkan jika Suharso turun takhta. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Isu untuk menumbangkan ketua umum (ketum) partai politik (parpol) seolah muncul bergiliran yang mana sebelumnya telah melanda Partai Demokrat, Partai Golkar, hingga PKB.

Menariknya, fenomena itu terjadi bersamaan dengan semakin riuhnya hingar bingar manuver partai dalam meramu strategi dan arah koalisi jelang 2024.

Kali ini, PPP tampak menjadi “korban” berikutnya. Tensi diawali pada akhir pekan lalu, saat elemen internal bernama Front Kader Penyelamat Partai (FKPP) PPP menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor DPP PPP.

Massa menuntut Suharso Monoarfa untuk mundur dari posisi Ketum PPP dan mendesak partai untuk segera mengadakan Muktamar Luar Biasa.

Aksi bahkan berujung bentrok saat segerombolan orang yang tidak dikenal muncul dan menyerang massa yang sedang berunjuk rasa.

Kericuhan itu sempat membuat kondisi di depan Kantor DPP PPP di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat bagaikan medan perang ketika terjadi lempar batu sebelum kemudian berhasil diredam aparat.

Dalam tuntutannya, Ketua Majelis Pertimbangan DPC PPP Jakarta Selatan selaku koordinator aksi, Muchbari menilai Suharso telah menabrak aturan PPP dengan mengebiri kader-kader asli yang telah berjuang membesarkan dan mempertahankan eksistensi partai berlambang Ka’bah.

Tak hanya itu, Suharso juga seolah menerima serangan combo beruntun. Senin kemarin, massa yang menamakan diri sebagai Simpul Komunitas Anti Korupsi (SKAK) menggeruduk Kantor Bappenas.

Mereka menuntut Suharso untuk lengser dari jabatan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Dalam aksinya, massa menuding Suharso memiliki tendensi rasuah terkait intrik penggunaan jet pribadi jelang Muktamar PPP akhir 2020 lalu. KPK lantas diminta untuk menyelidiki harta kekayaan Suharso yang disebut meningkat signifikan.

Lantas, mengapa kiranya tekanan berupa narasi pendongkelan Suharso itu bisa mengemuka dan sekilas tampak cukup panas?

Teror Simultan Untuk Suharso?

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa narasi pelengseran Suharso seolah seperti “giliran” karena telah dialami tiga parpol lain sebelumnya. Itu kiranya kembali membuka probabilitas adanya operasi politik bawah tanah di baliknya.

Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Operasi Intelijen di Balik Kudeta Demokrat telah diulas bahwa upaya kudeta Partai Demokrat dapat dikategorikan sebagai operasi penggalangan intelijen.

Dalam konteks PPP, Suharso menduga bahwa ada aktor eksternal yang menunggangi intrik yang berakibat turbulensi partainya baru-baru ini.

Narasi pelengseran Suharso sendiri tampak terbentuk secara simultan. Adanya bentrok dalam unjuk rasa di depan markas PPP juga seolah menggambarkan adanya kecenderungan untuk membangkitkan ketakutan.

Sara E. Gorman dan Jack M. Gorman dalam Denying to the Grave: Why We Ignore the Facts That Will Save Us menjelaskan bahwa ketakutan bisa membentuk pemikiran manusia. Seseorang kerap tidak menyadari bahwa pemahamannya telah terbentuk oleh ketakutan.

Di samping pemahaman, ketakutan juga dimaknai sebagai fenomena yang mampu menekan pikiran dan bermuara pada bagaimana seseorang membuat keputusan.

Pada diskursus politik, politik ketakutan menjadi salah satu strategi kendali dari satu aktor terhadap aktor lainnya sebagaimana yang disiratkan John Tierney dalam The Politics of Fear.

Ketakutan di sini tidak hanya ditujukan untuk memengaruhi keputusan Suharso, tetapi juga dimungkinkan sebagai persuasi untuk meyakinkan elite dan kader PPP lainnya bahwa eks anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu tak lagi relevan bagi partai.

Apalagi PPP menjadi salah satu parpol yang diprediksi tak akan lolos ke parlemen di kontestasi elektoral 2024 mendatang versi lembaga Charta Politika. Plus, PPP juga belum meneguhkan pemufakatan politik dan usungan calon presiden (capres) di tengah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terlihat gamang.

Sejarahnya, terdapat dugaan pula bahwa Suharso juga memiliki rekam jejak berupa torehan dua kali melakukan kudeta PPP. Pertama, saat menyokong Muhammad Romahurmuziy (Rommy) untuk menumbangkan Suryadharma Ali dan memenangkan intrik dengan Djan Faridz.

Serta, saat dirinya sendiri berhasil naik ke kursi kepemimpinan PPP setelah menyingkirkan Rommy pada 2019 silam.

Serangkaian variabel pembenaran semacam itu, ditambah dengan aksi konkret berupa unjuk rasa, boleh jadi akan terus mendistorsi legitimasi Suharso atas PPP ke depannya.

Namun, mengapa “operasi bawah tanah” politik ketakutan itu mengincar PPP?

Meski diprediksi jadi pesakitan di Pemilu 2024, PPP tetap memiliki potensi, paling tidak untuk menambah kekuatan politik koalisi di ekosistem multi-partai. Pertama, PPP memiliki tabungan suara sebesar 4,52 persen yang tentunya merepresentasikan basis massa.

Kedua, karakteristik parpol Islam moderat dapat menjadikan PPP alternatif ideal taktik kapitalisasi massa Islam. Tak lain, untuk menggantikan PKB yang kini tengah diliputi intrik sang Ketum Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dengan Yenny Wahid dan Ketum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Yahya Cholil Staquf.

Ketiga, ada presumsi yang mengemuka bahwa kepemimpinan Suharso sudah tidak lagi diinginkan. Hal itu di antaranya dipantik oleh kinerja, baik di partai maupun sebagai menteri, hingga “kutukan jelang akhir masa jabatan”.

Aset berupa logistik politik Suharso sebagai seorang pebisnis, teknokrat, dan politisi kiranya tidak lebih kuat dari tiga risiko di atas.

Bahkan, Muchbari dalam aksi pekan lalu melontarkan narasi cukup keras dengan segala pertimbangannya bahwa “tidak ada kata lain, Suharso mundur atau PPP hancur,”.

Di titik ini, operasi bawah tanah yang mungkin terjadi tentu masih diliputi anonimitas. Namun, hal ini menjadi kesempatan emas bagi kader internal PPP mumpuni lain maupun aktor eksternal untuk memaksimalkan kepentingannya jika Suharso benar-benar lengser.

Di luar spekulasi adanya upaya pendongkelan Suharso, PPP kiranya memiliki sederet nama mumpuni untuk menjadi Ketum anyar PPP. Mulai dari kader PPP yang kini memperkuat PKB Khofifah Indar Parawansa, Wakil Ketua Umum PPP versi Muktamar Jakarta 2014 Habil Marati, hingga kader rising star yang juga putra Kiai ternama Purworejo KH. Thoifur, Arwani Thomafi.

Selain dari sirkulasi kepemimpinan internal itu, pihak mana lagi yang kiranya dapat diuntungkan jika Suharso lengser dari posisi Ketum PPP?

Jadi Rebutan Prabowo dan PDIP?

Seperti yang jamak diketahui, PPP merupakan pusaka politik warisan Orde Baru sebagai bagian dari rekayasa politik penyederhanaan parpol. Namun, berbeda dengan PDIP dan Golkar, PPP justru tampak ringkih setelah Reformasi.

Ali Pasha dalam Membaca Halaman Terakhir Buku PPP mengatakan tradisi kebersamaan yang menjadi akar PPP kemudian runtuh sejak Muktamar Ancol pada tahun 2007. Mekanisme pemilihan pimpinan secara formatur berubah menjadi pemilihan langsung.

Akibatnya, Hamzah Haz sebagai legenda hidup PPP tidak terakomodir dan partai terpecah menjadi dua faksi.

Masalah itu seolah terpendam dan kembali pecah dengan adanya dualisme di tahun 2014 kala Muktamar Jakarta Djan Faridz berkonfrontasi dengan Muktamar Surabaya kubu Rommy.

PPP seperti masih mencari titik keseimbangan baru dan momentum isu pelengseran Suharso bukan tidak mungkin menjadi titik balik persatuan partai. Lewis Coser dalam The Function of Social Conflict menjelaskan teori konflik sosial yang mana eksistensi pertentangan nyatanya bisa menumbuhkan solidaritas baru.

Hal itu kiranya dapat membawa “angin segar” jika melihat kepentingan jangka panjang PPP. Apalagi, kompromi bisa saja dicapai ketika, misalnya, Suharso yang dilengserkan tetap dipertahankan sebagai Menteri PPN/Bappenas.

Di atas semua itu, agaknya terdapat skenario menarik jika Suharso turun dari kursi Ketum PPP. Sebagai alternatif PKB yang tengah mengalami tensi internal, PPP boleh jadi dirangkul oleh Gerindra dan Prabowo Subianto untuk meraup ceruk suara Islam moderat.

Prabowo sendiri belakangan terlihat sedang membangun strategi politik Islam moderat yang berhasil membawa Joko Widodo (Jokowi) mengalahkannya pada 2019.

Ya, Prabowo beberapa waktu belakangan cukup aktif melakukan safari ke sejumlah tokoh NU di Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya hingga berziarah ke pusara Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Prabowo, Gerindra, dan PPP juga dapat memaksimalkan simbiosis efek ekor jas yang dinilai akan sangat berpengaruh di kontestasi elektoral 2024, seperti yang dianalisis Djayadi Hanan dalam Efek Ekor Jas Pemilu 2019.

Pergantian ketum juga dapat menjadi kesepakatan pamungkas dari masalah mengakar PPP sejak 2014, yang dinilai masih menyimpan tensi terpendam hingga kini.

Namun, Prabowo kiranya tak sendiri. Pergantian ketum parpol secara regulasi harus mendapat persetujuan Menteri Hukum dan HAM yang kini diampu politisi PDIP Yasonna Laoly.

PDIP yang disarankan tak berjalan sendiri menghadapi Pemilu 2024 meski punya modal inheren boleh jadi akan menikung skenario apik Gerindra dan PPP sebelumnya.

Berbagai ilustrasi yang dapat diterka dari dinamika politik kekinian kiranya akan terus mewarnai jalan menuju pesta demokrasi 2024. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Exit mobile version