Secara tidak langsung, bergabungnya Partai Golkar dan PAN ke koalisi pendukung bacapres Prabowo Subianto agaknya meningkatkan daya tawar PPP di hadapan PDIP dan Ganjar Pranowo. Dengan “tawar-menawar” yang masih alot, PPP agaknya berada di ritme politik yang tepat dan bisa saja benar-benar meninggalkan PDIP.
Efek berantai dari bergabungnya Partai Golkar dan PAN ke barisan Prabowo Subianto tampaknya cukup menguntungkan PPP. Utamanya, mengenai daya tawar mereka di hadapan PDIP. Kini, PPP tampak hanya tinggal menanti tiket cawapres Ganjar Pranowo atau meninggalkan PDIP.
Kendati koalisi belum benar-benar pasti, Partai Golkar dan PAN praktis menjadi dua partai politik (parpol) parlemen terakhir yang menentukan sikap dukungan kepada bacapres 2024.
Dalam ekosistem multipartai dan konstelasi politik tanah air saat ini, keberpihakan dua eks parpol Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) itu agaknya turut mendefinisikan matematika politik apa yang akan digunakan para aktor terhadap prasyarat ambang batas atau threshold maupun impresi kekuatan koalisi.
Bagi PPP sendiri, konstruksi intrik yang menjurus ke pertarungan daya tawar bermula saat pekan lalu, Wakil Ketua Umum (Waktetum) PPP Arsul Sani menyebut di internal PPP tengah muncul pembahasan mengenai skenario jika Sandiaga Uno gagal menjadi cawapres.
Menariknya, Arsul secara gamblang juga mengatakan terdapat faksi-faksi yang menyokong capres berbeda di internal PPP, baik Ganjar, Prabowo, maupun Anies Baswedan.
Namun, PPP secara organisasi menegaskan pernyataan Arsul bersifat pribadi. Ditambah, pernyataan teranyar PPP pada Senin malam (14/8) menyebut akan tetap mendukung Ganjar meski Sandi tak dipilih sebagai cawapres.
Kembali, keganjilan tetap mengemuka saat elite senior seperti Arsul menyinggung keteguhan koalisi bersama PDIP.
Lantas, mengapa PPP seolah tampak tak satu suara? Mungkinkah mereka ragu terhadap PDP-Ganjar? Atau justru sedang menerapkan taktik tertentu?
Hanya Gertakan Kecil?
Kendati secara organisasi menyatakan tetap berkomitmen mendukung Ganjar meskipun tak dapat jatah cawapres, statement sporadis yang menyinggung komitmen dan keluar dari elite PPP agaknya memiliki intensi tertentu.
Hal itu tampak erat kaitannya dengan teknik gertakan atau bluffing. Gertakan sendiri sebenarnya merupakan hal yang lumrah terjadi karena merupakan bagian dari strategi politik.
Dalam tulisannya yang berjudul How To Be Sophisticated, Lie, Cheat, Bluff, and Win at Politics, Michael Laver menjelaskan bagaimana teknik bluffing atau menggertak digunakan dalam politik.
Teknik ini bertujuan untuk memancing respons dari lawan sehingga muncul pergerakan. Jika ingin sukses menerapkan gertakan, maka pihak yang melakukan bluffing sebaiknya tidak menunjukkan niatnya secara terang-terangan.
Signifikansi political bluffing pun cukup sederhana. Hal itu dapat dilihat dari reaksi aktor-aktor lain sehingga tampak menguntungkan pihak yang melakukan bluffing.
Sementara itu, Kevin Rounding dan Jill A Jacobson dalam publikasinya yang berjudul The Psychology of Bluffing menjelaskan bluffing sebagai bentuk umum dan konsekuensial dari perilaku kompetitif di antara individu dan kelompok.
Bluffing dapat menjadi keahlian yang menguntungkan dalam lingkungan yang beragam dan kompetitif seperti politik. Muaranya, tujuan dari bluffing adalah mencapai daya tawar dan posisi tertinggi.
Dalam konteks partai berlambang ka’bah, selain Arsul, Ketua Majelis Pertimbangan PPP Romahurmuziy turut memberikan sinyal khusus yang muaranya cukup serupa. Pun, itu tampak seperti gertakan politik meski dengan magnitudo yang lebih kecil.
Walaupun belum mengambil sikap penarikan dukungan, sosok yang kerap disapa Romy itu seolah menyiratkan peluang perubahan sikap bisa saja dilakukan jika Sandi tak dipilih menjadi cawapres Ganjar.
“Disikapinya kalau sudah gak dipilih,” begitu ungkap Rommy kemarin lusa (13/8).
Kendati PDIP bisa melenggang di Pemilu dan Pilpres 2024 tanpa berkoalisi dengan parpol manapun karena telah memenuhi presidential threshold, sikap PPP ke depan agaknya patut dicermati dengan bijak oleh para elite partai banteng.
Itu dikarenakan, jika PPP benar-benar menarik dukungan sesuai dengan gertakan sporadisnya, pertanyaan besar hingga spekulasi maupun impresi kurang baik tampaknya akan menghantui PDIP.
Maka dari itu, setidaknya terdapat tiga alasan yang membuat political bluffing PPP sebenarnya cukup beralasan untuk dilakukan, terlepas dari panggung depan dan belakang yang sebenarnya terjadi.
Pertama, tentu apabila Sandi tak dipilih menjadi cawapres, pertanyaan mengenai apakah PDIP enggan melakukan kompromi dengan parpol sesama koalisi tampaknya pasti tertinggal.
Itu kemudian merembet kepada spekulasi maupun kesan bahwa PDIP bisa saja diberi predikat aktor politik yang angkuh dan memiliki ambisi politik berlebihan.
Di titik di mana PPP menjadi parpol parlemen koalisi satu-satunya, kepentingan PDIP juga boleh jadi akan dipertanyakan jika tak mengusung Sandi.
Impresi itulah yang kemungkinan ingin diciptakan di balik gertakan-gertakan kecil yang muncul dari pernyataan sela para elite PPP seperti Arsul maupun Romy.
Kedua, gertakan PPP tampaknya ditujukan pula untuk menunjukkan signifikansi mereka yang bisa hengkang ke koalisi manapun. Misalnya, dalam pernyataannya, Arsul menyebut terdapat faksi di internal PPP yang juga memiliki kecondongan ke kubu Prabowo maupun Anies.
Ketiga, political bluff PPP kemungkinan besar juga merupakan taktik untuk menutupi kelemahan mereka sendiri.
Ya, PPP menjadi salah satu parpol yang menurut sejumlah survei tak lolos parlemen di 2024.
Dengan torehan yang tak juga maksimal di 2019 karena menjadi parpol juru kunci peraih suara parlemen, PPP yang notabene adalah parpol legendaris warisan Orde Baru (Orba) memang membutuhkan strategi khusus dalam kontestasi elektoral mendatang.
Sejauh ini, gertakan politik yang diiringi faktor eksternal berupa sikap politik Partai Golkar dan PAN membuat PPP tampaknya bisa sedikit memainkan tempo dan daya tawar di depan koalisi PDIP-Ganjar.
Namun, pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana PPP berani untuk benar-benar menarik dukungan, menentukan takdir politiknya sendiri, sekaligus mengubah peta politik di Pemilu dan Pilpres 2024?
Mustahil Hengkang?
Detik-detik krusial bagi setiap langkah para aktor politik tanah air di 2024 agaknya sedang terjadi saat ini.
Pada case koalisi pengusung Ganjar, PDIP dan PPP kemungkinan sedang berhitung matang tentang langkah terbaik apa yang dapat diambil, serta menerka potensi langkah calon kawan maupun lawan nantinya.
Dalam situasi ini, PDIP maupun PPP agaknya akan melakukan kalkulasi berdasarkan positive political theory (PPT) sebagaimana digagas oleh William H. Riker dalam bukunya yang berjudul The Theory of Political Coalitions.
Riker menerapkan prinsip-prinsip teori permainan dalam studi politik untuk memetakan perspektif aktor dalam sebuah koalisi.
PPT menggabungkan metode formal yang cukup komprehensif seperti teori pilihan sosial, teori permainan, dan analisis statistik.
Secara khusus, metode PPT digunakan untuk menggambarkan dan menganalisis kinerja aturan atau institusi untuk menciptakan keseimbangan permainan.
Jika mengacu pada perhitungan matematika politik PPT, PDIP yang secara impresi tengah tersudut setelah Partai Golkar dan PAN lebih memilih Prabowo, agaknya enggan melakukan langkah yang turut membuat PPP berpikir ulang mengenai dukungannya.
Di saat bersamaan, PPP sendiri kemungkinan sulit untuk menarik dukungan kepada Ganjar. Selain potensi kesan tak loyal dan inkonsisten, ruang gerak PPP untuk berada di koalisi lain pun agaknya tak cukup menguntungkan.
Efek ekor jas atau dampak elektoral pencapresan Ganjar kiranya akan lebih ideal direngkuh PPP dibanding dengan koalisi lain yang telah penuh sesak oleh parpol-parpol yang lebih besar secara perolehan suara di 2019 lalu.
Kendati demikian, akan sangat menarik untuk menanti sikap PPP sesungguhnya andai Sandi tak dipilih sebagai cawapres Ganjar, termasuk dampak berantainya terhadap peta politik nasional di 2024. (J61)