Kenyataannya, masalah di Tanah Abang tak sekedar kesemrawutan dan macet. Ada benturan kepentingan pemerintah, jawara, PKL, serta tentunya para pejalan kaki yang hadir di sana.
PinterPolitik.com
[dropcap]W[/dropcap]alau sudah dikoreksi, ucapan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno masih membuat gerah kelompok pejalan kaki. Betapa tidak? Ia sempat menyederhanakan masalah kemacetan dan kesemrawutan Tanah Abang, dengan menunjuk pejalan kaki sebagai biang kerok.
Anies Baswedan sempat pasang badan membela Sandiaga Uno dengan mengatakan bahwa apa yang dikatakan Wakil Gubernur itu, adalah hasil riset melalui drone. Pejalan kaki menempati urutan dua penyebab kemacetan di Tanah Abang, urutan pertama dan ketiga ditempati oleh pembangunan jalan dan banyaknya angkot liar yang ngetem.
Terlepas dari insiden ‘kepeleset’ Sandiaga saat memberikan pernyataan, apakah benar permasalahan kemacetan di Tanah Abang hanya berkisar pada tiga hal tersebut?
Tanah Abang, Tanah Penting
Selain kemacetan dan kesemrawutannya, Tanah Abang memang ladang untung bagi pihak tertentu. Tak main-main, sentra grosir terbesar se-Asia Tenggara ini punya nilai transaksi lebih dari Rp. 200 miliar per hari, seperti yang disampaikan Ketua Majelis Pertimbangan Asosiasi Pedagang Seluruh Indonesia (APPSI) DKI Jakarta, Hasan Basri. Bahkan saat Ramadhan 2011 lalu, omzet pedagang Tanah Abang bisa mencapai Rp. 3 triliun.
Namun itu dulu, karena di tahun 2017 ini beberapa pedagang Tanah Abang mengaku mengalami penurunan penjualan yang signifikan. Salah satunya Hadi, pemilik kios Blok A Tanah Abang. “Sekarang lagi sepi-sepinya. Paling sehari cuma dapat Rp. 4 jutaan, padahal biasanya bisa sampai Rp. 10 jutaan,” jelasnya.
Namun begitu, di masa tingginya perputaran uang di Tanah Abang, pasar grosir ini mampu membuat beberapa kelompok tertarik masuk ke dalam pusaran ekonomi Tanah Abang. Tentu saja di dalamnya tak hanya melibatkan penjual dan pembeli semata, para pengelola kios, pemerintah DKI Jakarta, serta tentunya para ‘jawara’ yang sudah mendiami kawasan Tanah Abang selama beberapa dekade juga ikut mencari untung di sana.
Seperti dikatakan Ketua APPSI, kios-kios di Tanah Abang yang berada di Blok A, B, F, dan G, dikelola oleh swasta. Walau kesemuanya milik PD Pasar Jaya, namun tangan yang mengurusnya langsung adalah PT Primanaya. Perusahaan milik Djan Fariz, mantan Menteri Perumahan Rakyat di masa Kabinet Indonesia Bersatu jilid II pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sekaligus kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Jika dihitung-hitung, kios-kios yang berada dalam pengelolaan PT Primanaya ini membawahi lebih dari 10.000 unit. Total kios di Blok A mencapai 800 unit, Blok B 500 unit, Blok F 4000 unit, belum lagi Blok G yang menjadi lokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) sekitar 1.300 lapak.
Semua itu belum termasuk kios di Tanah Abang Bukit yang berjumlah 300 unit. Wajar saja jika perputaran uang yang tinggi di masa jayanya dahulu, membuat pengelola kios mati-matian menjaga kekuasaan dan pengaruhnya di sana. Siapa yang tak tergiur dengan keuntungan minimal Rp. 500 juta sampai Rp. 2 miliar tiap harinya?
Berdasarkan fakta ini, tak mengherankan jika Tanah Abang menarik berbagai elemen masyarakat masuk dalam pusaran Tanah Abang.
Preman, Satpol PP, Hingga Haji Lulung
Membahas kemacetan dan kesemrawutan jalan Tanah Abang memang topik yang sensitif. Bila harus menunjuk pelakunya memang yang terlihat jelas adalah PKL, pejalan kaki, dan angkot yang parkir di pinggir jalan. Mereka yang berjejalan di sana hampir setiap waktu. Tapi, tentu ada alasan mereka bertahan di trotoar jalan.
PKL yang mengambil trotoar jalan untuk menjajakan dagangannya ini, sudah membayar sewa yang tak sedikit pada oknum tertentu. Berdasarkan penelusuran Kompas, sudut-sudut trotoar Tanah Abang disewakan sebesar Rp. 1,5 juta per bulannya. Biaya itu masih harus ditambah biaya kebersihan sebesar Rp. 2.000 hingga Rp. 5.000 dan biaya keamanan sebesar Rp. 50.000 sampai Rp. 100.000 tiap harinya. “Enggak mahal ini, Rp. 50.000 sehari, kok mahal. Cepetan ini sudah banyak yang mau,”kata Anas, salah satu penyewa trotoar.
Jika sah membayar, sepetak trotoar berukuran tak lebih dari 1 X 2 meter persegi menjadi milik pedagang. Penjaja yang menyewakan trotoar kepada para PKL ini, tentu tak hanya Anas saja. Kelompok ini banyak dan biasanya tergabung secara primordial atau kesukuan. Banyak yang menyebutnya preman, namun mereka lebih ‘nyaman’ jika disebut sebagai ‘anak wilayah’ atau ‘penguasa wilayah’.
Preman-preman tersebut pernah mengukir kisahnya sendiri di tanah Abang. Di lokasi dengan perputaran uang yang tinggi, kekuasaan berlomba-lomba dipertahankan. Ucu Kambing, menjadi salah satu nama yang paling sering disebut sebagai preman berpengaruh di Tanah Abang.
Ia pernah menjadi aktor utama bentrokan antar preman di Tanah Abang. Di tahun 1996, Ucu Kambing yang berasal dari kelompok Betawi bertikai dengan Hercules, preman asal wilayah Indonesia Timur. Saat itu, Abraham Lunggana alias Haji Lulung dicari-cari Ucu Kambing sebab ia menjadi pihak pengkhianat kelompok penguasa wilayah Betawi. Setelah konflik reda, Ucu Kambing ‘berdamai’ dengan Haji Lulung.
Ketika itu, melalui PD Pasar Jaya yang merupakan perpanjangan tangan PT Primanaya milik Dzan Fariz, mengelola jasa keamanan Pasar Tanah Abang dengan bantuan preman-preman Betawi. PD Pasar Jaya menggandeng kelompok Jawara Hulubalang.
Saat itu, Lulung ditunjuk langsung oleh Kepala PD Pasar Jaya, Prabowo Sunirman, untuk mengelola keamanan di Blok F. Peran itu, seperti yang diungkapkan Ucu Kambing, dilakoni Lulung hingga detik ini. Ia mempekerjakan warga Tanah Abang sebagai jasa keamanan.
Walau sudah duduk sebagai anggota DPRD DKI Jakarta melalui PPP, Lulung tak pernah meninggalkan Tanah Abang, ia masih sering berkomentar saat isu Tanah Abang mencuat. Terakhir, Lulung bahkan menolak pernyataan Sandiaga Uno mengenai preman Tanah Abang. Ia meluruskan bahwa tak ada preman di Tanah Abang.
Polemik ini makin runyam dengan keterlibatan Satpol PP di dalamnya. Adrianus Meliala selaku anggota Ombudsman berkata, bahwa ada mal-administrasi dan kerjasama preman dengan oknum Satpol PP di Pasar Tanah Abang. Menurutnya, terdapat pengakuan dari PKL bahwa memang ada kehadiran preman dan ormas di pihak ketiga.
Pihak ketiga ini yang bertugas menarik uang langsung dari PKL, sebab oknum Satpol PP ‘khawatir’ dipermalukan. “Jadi dulu rupanya kalau Satpol PP terima uang langsung dari PKL. Sekarang karena takut ketahuan dan takut dipermalukan atau apa, maka dipergunakanlah jasa pihak ketiga ini untuk menerima uang dari PKL tersebut,” jelas Adrianus.
Melimpahnya PKL di trotoar jalan, tentu menarik pelanggan berjejalan di sana. Pejalan kaki ini, tak hanya pembeli, tetapi juga mereka yang menggunakan akses jalan untuk mencapai suatu tempat. Dari melimpahnya pejalan kaki dan pembeli, tentu saja mengundang angkot untuk berjejer menanti adanya penumpang.
Tabrak Kebijakan
Hal-hal itulah yang dirasakan terus bertabrakan dengan kebijakan Pemerintah Daerah Jakarta, terutama Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk menertibkan kawasan Pasar Tanah Abang. Kebijakan dari pemerintah daerah, tak pernah benar-benar bisa melenyapkan kesemrawutan dan kemacetan di Pasar Tanah Abang, tanpa langkah yang tegas.
Menyalahkan PKL, apalagi pejalan kaki yang mengisi trotoar tak akan menyelamatkan apapun. Penyebab kuat dan latennya kesemrawutan jalan itu tak terlihat langsung. Hal itu berakar pada hubungan preman, Satpol PP, kekuatan pengelola keamanan, serta tentunya perputaran uang yang fantastis di Pasar Tanah Abang.
Pejalan kaki dan terutama PKL, menjadi sumber ekonomi dan nadi kehidupan kota bagi kelompok-kelompok tersebut. Namun bukan berarti PKL tak bisa ditertibkan dan juga tak seharusnya mereka menjadi korban pemerasan sewenang-wenang dari pihak tertentu.
Para PKL tak seharusnya secara vulgar dikenai julukan sebagai pencuri hak warga atas rasa aman dan nyaman, seperti yang dituding oleh Sandiaga Uno, sebab sebetulnya, kebanyakan dari mereka tak punya banyak pilihan membeli lapak. Tak banyak pedagang yang mampu menyewa kios Rp. 10 juta per bulannya di blok-blok milik PT Primanaya.
Hubungan rumit serta tak mudah dilihat dan dibuktikan inilah, yang patut dipahami oleh pemimpin tertinggi DKI Jakarta. Tak hanya itu, perlu langkah yang tegas pula untuk memutus rantai ‘pemerasan’ di dalamnya. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh pengelola kota yang mampu berani bersikap menata Tanah Abang. (Berbagai Sumber/A27)