Site icon PinterPolitik.com

Poros Sakti Tiga Partai Islam

PAN, PKS, dan PKB sedang dirundung kegalauan. Posisi mereka dalam poros masing-masing sedang terancam karena kemungkinan gagal mendapatkan jatah calon wakil presiden. Hal ini membuka peluang bagi ketiga partai itu untuk membuat poros tersendiri.


Pinterpolitik.com

[dropcap]M[/dropcap]endekati hari-hari pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), partai-partai politik saling bermanuver. Dua kubu yang kini santer terdengar, yakni Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto melakukan lobi sana-sini untuk menghimpun kekuatan.

Sementara itu, perilaku yang tak kalah menakjubkan diperlihatkan oleh partai-partai pendukung koalisi. Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan misalnya menganggap bahwa mereka belum final menentukan dukungan kepada Prabowo. Zulkifli mengatakan partainya akan menentukan arah dukungan terhadap capres dalam Rapat Kerja Nasional PAN.

Lain halnya dengan PKB. Beberapa alim ulama dari sejumlah wilayah di Indonesia mendukung  Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjadi cawapres Jokowi dalam Pilpres 2019. Sekalipun telah masuk dalam koalisi Jokowi, jika melihat pernyataan beberapa petingginya, PKB tetap bersitegas dengan pilihannya mengusung Cak Imin sebagai cawapres.

Keinginan Cak Imin menjadi cawapres Jokowi buka peluang terbentuknya poros ketiga bersama PKS dan PAN. (Foto: Tribunnews)

Di lain pihak, PKS tengah melakukan manuver di tengah koalisi dengan Gerindra. Parpol pendukung Prabowo ini masih ngotot meminta jatah kursi cawapres. PKS masih memegang rekomendasi Ijtima Ulama. Bahkan, partai itu mempertimbangkan untuk abstain atau tidak bersikap pada Pilpres 2019 jika kadernya tidak dipilih menjadi cawapres oleh Prabowo.

Akibatnya, isu yang kini cukup kencang berhembus dan mengerucut adalah kemungkinan hengkangnya PKS dan PAN dari kubu Prabowo, dan PKB dari kubu Jokowi. Ketiga partai itu merasa tidak akan mendapatkan jatah cawapres untuk masing-masing kubu, sehingga memikirkan jalur politik yang lebih menguntungkan. Masuknya Partai Demokrat dalam barisan Prabowo, memang membuat PKS dan PAN merasa tidak nyaman, utamanya karena alasan cawapres tersebut.

Lalu akankah koalisi tiga partai Islam ini bisa terwujud?

Realpolitik PAN-PKS-PKB  

Pilpres 2014 memang diingat lewat pertarungan antara Koalisi Merah Putih (KMP) yang mengusung Prabowo dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mengusung Jokowi. Kekalahan Prabowo saat itu membuat KMP terpecah.

Satu per satu partai berpaling dari KMP, termasuk PAN, PPP, dan Golkar yang kini jadi bagian dari kabinet pemerintahan. Hanya PKS yang menunjukkan sikap berbeda dan tetap setia di samping Gerindra. Adapun PAN mulai bermain “dua kaki”, mengingat pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, partai ini berbeda dukungan dengan mayoritas partai pemerintah dan merapat ke kubu Prabowo.

Sementara itu, sempat adem ayem selama awal-awal pemerintahan, nyatanya jelang perhelatan Pilpres 2019 ini ada yang berubah dari koalisi Jokowi. Salah satunya adalah PKB yang mantap mengusung Cak Imin sebagai  sebagai calon pendamping Jokowi.

Dalam pertemuan para kiai Sabtu lalu, disepakati bahwa nama Cak Imin masuk dalam rekomendasi para kiai tersebut sebagai cawapres Jokowi. Hal ini memperkuat dukungan mengingat pada Maret lalu, Cak Imin juga didaulat menjadi cawapres oleh para kiai se-Jatim yang tergabung dalam ‘Silaturrohim Ulama Nusantara’. Cak Imin memang cukup intensif dalam mengkampanyekan dirinya sebagai cawapres Jokowi melalu relawan JOIN alias Jokowi-Imin.

Jika dilihat, posisi PKB saat ini sebenarnya cukup nyaman berada dalam gerbong koalisi Jokowi dengan 3 menteri dalam kabinet. Meskipun begitu, belum ada tanda-tanda bahwa Jokowi akan memilih Cak Imin sebagai wakilnya.

Di lain pihak, PKS dan PAN juga merasa sudah tidak nyaman berada dalam gerbong Gerindra. Masuknya Partai Demokrat membuat posisi PKS menjadi dilematis, apalagi kadernya berpotensi tidak dijadikan sebagai cawapres Prabowo.

Pun begitu dengan PAN. Masuknya Demokrat menggusur partai matahari putih itu sebagai penyumbang jumlah kursi terbesar. Sebelumnya, PAN memang memiliki jumlah suara parlemen lebih banyak dari PKSdan memiliki harapan lebih besar untuk mendapatkan kursi cawapres Prabowo.

Desas-desusnya Prabowo kemungkinan akan menggandeng Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari Demokrat sebagai pendampingnya. John McBeth dalam tulisannya di Asia Times menyebut Demokrat memberi jaminan logistik Pilpres untuk Prabowo jika memilih AHY sebagai cawapres.

Artinya, jika PAN, PKB dan PKS akhirnya hengkang dari koalisi masing-masing, maka benarlah apa yang dikatakan politisi Inggris dari abad ke-19, Henry John Templebahwa dalam politik, tidak ada musuh abadi, dan tidak ada kawan abadi, yang abadi hanyalah kepentingan. Politik adalah sebuah panggung teatrikal yang memungkinkan para aktornya berganti kostum sedemikian rupa.

Dalam teori realpolitik, dijelaskan bahwa keputusan-keputusan politik diambil berdasarkan realita keadaan dan kebutuhan yang terjadi, bukan didasarkan pada ideologi semata. Teori ini  dicetuskan pertama kali oleh Ludwig von Rochau dalam bukunya yang berjudul Grundsätze der Realpolitik (1853).

Tidak ada idealisme abadi dalam politik. Kepentinganlah yang abadi.Tokoh-tokoh yang semula berseberangan, tiba-tiba bisa menjadi kawan karena kepentingan yang sama.Konsepsi ini bisa menjelaskan fenomena yang sedang menimpa PAN, PKB dan PKS tersebut.

Bisa saja PAN, PKS dan PKB keluar dari pakem yang selama ini mereka anut. Bagi PAN hal ini sudah sering mereka alami, sementara PKS sebagai partai yang cenderung loyal hal ini tentu mencengangkan. Kalau PKB, semuanya tergantung pada kepentingan politik Cak Imin.

Apakah kemudian partai-partai islam ini akan memisahkan diri dari porosnya masing-masing dan membuat poros baru?

Koalisi Ad Hoc

Direktur Eksekutif Kedai Kopi, Hendri Satrio mengatakan bahwa hal itu bisa terjadi dan ketiga partai ini bisa bersatu kalau berbicara tentang kepentingan umat dan masjid. Ia menyebutnya ‘Koalisi Umat’, apalagi jika melihat kekuatan NU dan Muhammadiyah di belakangnya.

Namun, jika berkaca pada pengalaman sejarah, hal ini sepertinya sulit terwujud lagi. Kita tentu ingat pada Pemilu 1999, terbentuk Koalisi Poros Tengah yang mewakili partai-partai Islam. Koalisi iniberkontribusi memenangkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden.

Seiring berjalannya waktu, justru Amien Rais lewat PAN-lah yang salah satunya menjatuhkan Gus Dur. Hingga kini, masih banyak pengikut Gus Dur di PKB yang menyimpan catatan pahit tersebut dan menganggap koalisi partai Islam sebagai ide yang buruk. Artinya, sulit untuk melihat koalisi ini terwujud kembali, kecuali benar-benar ada hal besar yang mendesak.

Koalisi partai-partai Islam berhasil memenangkan Gus Dur pada Pemilu 1999. (Foto: Suara Islam)

Tetapi, jika melihat dinamika politik yang kini berkembang, nampaknya konsep Poros Tengah ini kembali dihembuskan. Apalagi diketahui bahwa nama-nama yang diusung oleh ketiga partai itu – PAN, PKS dan PKB – kemungkinan kecil akan dipilih di dua poros yang sudah ada. Baik Prabowo maupun Jokowi memiliki kriteria masing-masing untuk calon wakilnya.

Tentu saja hal ini membuat gamang tiga partai Islam itu. Mereka harus memutar otak agar mendapatkan posisi yang lebih baik, termasuk lewat kemungkinan membentuk poros baru. Dalam sebuah sistem presidensial, dikenal istilah koalisi ad hoc yang atau koalisi untuk isu tertentu yang bisa dilakukan secara temporer

Seorang pengambil kebijakan dapat mengidentifikasi agenda-agenda kebijakannya yang cocok dengan pihak-pihak lain, tidak peduli ia berasal dari koalisi atau oposisi. Agenda A mungkin cocok untuk partai X, agenda B cocok dengan partai Y, dan agenda C dapat didukung partai Z.

Dalam hal ini PAN, PKS, dan PKB dapat membangun koalisi baru untuk mencalonkan kandidat masing-masing. Poros ini tentu tidak bisa dianggap remeh, mesin-mesin tiga partai ini bisa bekerja dengan sangat baik untuk menarik suara.

Contohnya adalah pada pilkada 2018 ini. Kita tahu bahwa PAN menjadi salah satu partai yang memenangkan pilkada di 10 provinsi dan PKS menang di 7 provinsi. Kekuatan militansi kader PKS juga tidak bisa diremehkan, terbukti dari Pilkada Jawa Barat. Saat itu pasangan Sudrajat dan Ahmad Syaikhu yang didukungnya bisa memperoleh suara yang berbeda sedikit dengan Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum, disebut-sebut karena faktor militansi kader PKS.

Sementara itu, meski PKB gigit jari pada Pilgub di Pulau Jawa, namun tidak bisa diremehkan kekuatan NU pada Pilpres nanti, mengingat beberapa nama besar petinggi PKB juga punya posisi penting di NU. Basis-basis NU tentu akan mendengarkan kiai yang mereka junjung. (Baca: NU Terperangkap Politik PKB?)

Bisa saja koalisi ini mengusung beberapa kemungkinan pasangan capres dan cawapres, misalnya Cak Imin dipasangkan dengan Anies Baswedan atau Ahmad Heryawan atau Zulkifli Hasan.Tokoh lain adalah Gatot Nurmantyo yang dari sisi tingkat keterpilihan juga masih cukup tinggi.

Koalisi ini mungkin saja berpotensi kecil untuk menang, namun punya dampak yang menentukan siapa yang akan jadi presiden di 2019 nanti. Tentu pertanyaan besarnya adalah apakah mungkin terwujud? Atau jangan-jangan ini hanya “akal-akalan” ketiganya saja biar bisa dapat posisi politik yang lebih menguntungkan di masing-masing koalisi?

Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas PKS sudah membuka jalan dengan “abstain” jika kadernya tidak menjadi cawapres Prabowo. PKB masih bersikukuh memasangkan Cak Imin dengan Joko Widodo. Sedangkan PAN masih belum menentukan gerbong mana yang akan ia masuki.

Menarik untuk ditunggu apakah ketiga partai ini akan mewujudkan koalisi baru ataukah justru ketiganya akan jadi partai gurem baru seiring makin banyaknya partai di Pilpres kali ini. (A37)

 

Exit mobile version