Setelah pertemuan PPP dan PKS, wacana poros partai Islam tampil di 2024 ramai dibahas. Mungkinkah poros Islam terwujud di 2024? Jika terjadi, apakah akan keluar sebagai pemenang?
Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra tampak paling antusias dalam merespons wacana poros Islam selepas pertemuan PPP dan PKS. Selaku sosok yang kerap disebut “Natsir muda”, Yusril memang telah lama menunjukkan concern pada kebangkitan politik Islam.
Tidak hanya PBB, dua partai Islam lainnya, PKB dan PAN juga telah bersuara. Kendati tidak terlihat seantusias PBB, PKB tetap menunjukkan ketertarikan. Sementara PAN sudah menolak dengan tegas.
Berbagai pengamat juga telah memberikan pandangannya atas wacana ini. Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno, misalnya, tidak memberikan pandangan optimis atas wacana tersebut. Ada beberapa poin yang dinilai Adi menjadi ganjalan.
Pertama, setiap partai memiliki ego sektoralnya masing-masing. Kedua, siapa sosok prominen yang dapat diusung. Tutup Adi, besar kemungkinan poros Islam akan layu sebelum berkembang karena memiliki masalah internal yang sulit diselesaikan.
Terlepas dari analisis Adi, sangat menarik sebenarnya mempertanyakan mengapa partai Islam tidak pernah menjadi pemenang pemilu dengan fakta Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia. Katakanlah poros Islam terbentuk dengan segala dinamika. Mungkinkah poros ini dapat berbicara banyak di 2024?
Renggang dari Kapital
Berbicara politik Islam tentu tidak terlepas dari gerakan populisme Islam. Namun, kembali pada pertanyaan sebelumnya, mengapa gerakan populisme Islam yang telah lama terjadi tidak berbuah kemenangan bagi partai Islam? Katakanlah apabila dibandingkan dengan di Turki.
Vedi R. Hadiz dalam bukunya Islamic Populism in Indonesia and the Middle East memberikan penjelasan penting yang sangat menarik. Hadiz menjabarkan beberapa faktor mengapa gerakan populisme Islam di Indonesia tidak seberhasil di Turki.
Pertama, basis massa populisme Islam di Indonesia dengan Turki berbeda. Jika di Turki pekerja kerah putih banyak terlibat, gerakan populisme Islam di Indonesia justru didominasi oleh pekerja kerah biru alias golongan menengah ke bawah.
Kedua, berbeda dengan sejarah gerakan populisme Islam di Turki yang berasal dari kaum borjuis yang berkonsolidasi untuk melawan westernisasi dan autokrasi, populisme Islam di Indonesia justru berawal atas perlawanan terhadap etnis Tionghoa karena dilihat mendapatkan manfaat dalam tatanan sosial kolonial.
Baca Juga: Ini Alasan FPI Tidak Akan Berjaya
Sampai saat ini perlawanan terhadap dominasi etnis Tionghoa terus direproduksi. Masalahnya, borjuasi besar di Indonesia sampai saat ini didominasi oleh etnis Tionghoa. Alhasil, gerakan populisme Islam di Indonesia tidak akan mendapatkan dukungan kapital yang kuat.
Berbeda dengan di Turki, konsolidasi borjuis di sana telah berhasil membuat tidak adanya borjuasi besar “asing”. Praktis, gerakan populisme Islam memiliki logistik yang memadai.
Ketiga, Turki memiliki sejarah emas Kekaisaran Ottoman yang membuatnya pernah merasakan kekuatan negara Islam dalam melawan kekuatan Eropa.
Itu membuat gerakan populisme Islam di Turki memiliki nafas yang sama dengan konstruksi politik yang ada. Pun begitu dengan usaha sekularisasi setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman, yang justru memberikan pembenaran ideologis atas pemerintahan khalifah.
Sementara di Indonesia, meskipun terdapat narasi-narasi seperti kerajaan Islam, tidak adanya pengalaman konkret sebagai negara Islam membuat narasi tersebut tidak memiliki legitimasi budaya atau legasi sejarah.
Singkatnya, kita dapat menarik dua faktor penting. Pertama, tidak ada legasi sejarah. Kedua, dan mungkin yang terpenting, kurangnya dukungan karena hubungan yang kurang baik dengan para borjuasi besar.
Situasi ini memang cukup dilematis. Melihat gestur parpol Islam sejak lama, narasi anti-kemapanan kerap menjadi andalan. Partai-partai dengan logistik besar, seperti Golkar dan Nasdem jelas tidak menunjukkan narasi semacam itu.
Lantas, jika telah demikian, apakah situasi ini dapat diubah? Bisa, dan sangat memungkinkan.
Perlu Mencontoh AKP
Sebagai jawaban, kita dapat melihat keberhasilan Recep Tayyip Erdoğan dan Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP) di Turki saat ini. Setelah Kekaisaran Ottoman runtuh, cukup menarik melihat Turki berubah menjadi negara sekuler yang membuat partai Islam tidak mendapat ruang.
Untuk mendapat ruang dan meraih suara, AKP melakukan strategi politik yang disebut dengan moderasi. Konsep moderasi ini berangkat dari tesis moderasi-inklusi yang menjelaskan pengurangan idealisme politik yang dianggap radikal.
Berdasarkan tesis ini, partai-partai yang memiliki pandangan yang lebih ekstrem – baik sayap kanan maupun sayap kiri – akan memoderasi pandangannya dan melakukan inklusi atas prinsip-prinsip demokratis di tengah-tengah kompetisi elektoral.
Sebelum di AKP, Erdoğan merupakan kader dari Refah Partisi (RP), partai politik yang menjalankan politik Islam di Turki. Partai ini akhirnya dilarang pada akhir abad ke-20 dan Erdoğan pun ditahan.
Baca Juga: Manuver PKS Sambut Ajakan Koalisi
Pada permulaan abad ke-21, Erdoğan kemudian memutuskan untuk mendirikan partai politik baru, yakni partainya saat ini, Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP).
Berbeda dengan partai sebelumnya, AKP memiliki gagasan politik yang bersifat sekuler. Galib Bashirov dan Caroline Lancaster dalam tulisannya End of Moderation menjelaskan AKP kala itu dikenal sebagai partai Islam yang moderat dan demokratis.
Kehadiran AKP disebut sebagai keberhasilan penghapusan politik Islam yang konservatif, baik secara perilaku maupun dalam hal ideologis. AKP juga dinilai sebagai puncak dari era baru Islamisme moderat di Timur Tengah.
Selain melakukan moderasi, İsmail Doğa Karatepe dalam tulisannya Islamists, Bourgeoisie and Economic Policies in Turkey juga menyebut pemerintahan Turki di bawah AKP telah berhasil menemukan titik keseimbangan antara kepentingan fraksi borjuis yang berbeda sehingga mendapatkan dukungan kapital.
Dilema Pragmatis
Kembali pada persoalan internal yang dimaksud Adi di awal, persoalan moderasi yang bercirikan pragmatisme politik tampaknya menjadi ganjalan utama. Tidak hanya di lingkup partai politik, persoalan internal semacam itu juga terjadi di gerakan politik lainnya, seperti gerakan feminisme di Amerika Serikat (AS).
Meskipun setiap gerakan feminis memiliki ideologi yang sama, yakni menciptakan kesetaraan gender. Namun karena setiap gerakan memiliki metode atau cara yang berbeda untuk menuju tujuan tersebut, yang terjadi justru adalah perpecahan.
Artinya, partai-partai Islam yang ada, jika memang ingin menjadi pemenang, atau setidaknya mengulang kejayaan di era Masyumi, sikap pragmatisme dengan meredam ego sektoral masing-masing sangatlah krusial. John McGowan dalam bukunya Pragmatist Politics juga menjelaskan bahwa sikap pragmatis dilakukan dengan mengorbankan komitmen dan keyakinan sektoral untuk meraih tujuan tertentu.
Kendati pragmatisme dapat menjadi jawaban, sikap pragmatis juga menjadi ancaman tersendiri. Sebagaimana diketahui, tujuan dari setiap partai, apapun ideologinya, adalah lolos ke parlemen. Pada konteks pilpres, tentu pada persoalan kemampuan mencalonkan kandidat.
Nah, mengacu pada partai-partai Islam yang lolos di parlemen saat ini, kemungkinan terbentuknya poros Islam tampaknya berat. Dari empat partai yang ada, PKS, PPP, PKB, dan PAN, partai yang dipimpin Zulkifli Hasan telah menegaskan penolakan.
Lalu terkait PKB. Meskipun tidak memberikan penolakan seperti PAN, di bawah Muhaimin Iskandar (Cak Imin), partai lebah telah lama menunjukkan sikap oportunis seperti Golkar dengan selalu merapat ke kekuasaan. Saat ini, Cak Imin juga disebut-sebut memiliki hubungan yang dekat dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Baca Juga: Cak Imin Buat PKB Jadi Golkar?
Artinya, mengacu pada sikap pragmatis dan oportunis politik, kecil kemungkinan PKB akan bergabung untuk membentuk poros Islam. Jika demikian yang terjadi, praktis hanya tersisa PKS dan PPP. Dengan perolehan suara PKS sebesar 8,21 persen dan PPP 4,52 persen, ini masih jauh dari presidential threshold (PT) 20 persen.
Ya, ujung-ujungnya, keduanya mungkin hanya menjadi partai tengah, sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya.
Well, pada akhirnya mungkin dapat simpulkan, wacana terbentuknya poros Islam akan sama seperti judul tulisan ini, “Karam di Dermaga”. Sudah layu sebelum terbentuk. (R53)