Dilihat dari perilaku politiknya (political behavioral) nampaknya Jokowi hanya menarik konstituen Islam untuk kepentingan elektoralnya saja.
Pinterpolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]ada Mei lalu, usai melakukan kunjungan kenegaraan di Beijing, Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung bertolak ke Palu, Sulawesi Tengah. Menempuh perjalanan cukup panjang selama 7 jam, Jokowi datang untuk membuka Kongres Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ke-19 yang dihelat di Auditorium Masjid Agung Darussalam.
Di waktu lain, kita juga menyaksikan pada 23 Juli lalu Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi secara cukup mengejutkan menyatakan mundur dari Partai Demokrat.
Kemudian seperti diketahui, TGB berbalik mendukung Jokowi sebagai calon presiden (capres) untuk Pilpres 2019. Nama TGB bukanlah sosok sembarangan karena yang kita bicarakan ini adalah ulama terpandang di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW).
Dua kondisi ini menarik untuk diperhatikan. Ini membuktikan bahwa Indonesia mengalami kondisi di mana populisme, secara khusus populisme Islam, telah masuk ke ruang-ruang publik.
Perilaku Jokowi dengan melakukan pendekatan kepada kelompok maupun tokoh muslim menimbulkan pertanyaan tersendiri. Apakah hal tersebut bisa dimaknai hanya sebagai perjalanan kenegaraan bagi Jokowi, atau ada motif lain untuk mencari basis dukungan yang lebih besar menuju kontestasi politik di 2019?
Berebut Konstituen Islam
Sejak masa Orde Baru, pemilih muslim sudah diperebutkan. Menjelang pemungutan suara pada 9 Juni 1992 misalnya, ulama-ulama bersorban melakukan salat hajat berjamaah, membaca yasin, dan bersalawat di aula kantor Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Hal tersebut sekedar gambaran betapa umat Islam memang menjadi bagian yang amat menentukan, terutama pada masa-masa pemilu. Ini tak lepas dari posisi kaum muslim sebagai pemilih mayoritas.
Sensus Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang beragama Islam mencapai 207 juta jiwa atau 87 persen dari total populasi masyarakat Indonesia. Tidak mengherankan jika dari masa ke masa, konstituen Islam selalu diperebutkan oleh kontestan politik.
Hal ini juga coba dilakukan oleh Jokowi menghadapi Pilpres 2019 nanti. Ia menggunakan kalkulasi Islam politik dalam berbagai keputusan, termasuk dalam menentukan cawapres.
Itu yg saya prediksi sebelumnya bahwa utk mengimbangi pemilih muslim yg dukung UAS sbg cawapres Pak Prabowo, Pak Jokowi juga bisa memilih cawapres yg punya masa Islam lainnya. Asal jangan ditafsirkan bahwa umat Islam mau diadu domba…….
— 2019 for 02 (@SatibiRahmat) August 5, 2018
Tak dinyana, sesuai dengan komposisi demografis Indonesia, pemilih beragama Islam merupakan ceruk besar dalam setiap Pemilihan Umum. Tak mengherankan jika mereka yang hendak memenangi Pemilihan Presiden mencurahkan banyak sumber daya buat menaklukkan pemilih Islam.
Meski begitu, sejarah menunjukkan “suara Islam” sebenarnya tidak pernah tunggal dalam konteks politik. Anggota NU dan Muhammadiyah misalnya, hampir tak pernah memiliki pilihan politik yang sama. Partai-partai pengusung bendera Islam – dengan derajat ideologi yang berbeda-beda – pun tak kunjung memperoleh suara signifikan dalam setiap pemilihan umum, terutama pasca-reformasi.
Bisa jadi jika kekhawatiran Jokowi terkait konstituen Islam adalah pengalaman pada Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu yang keras. Di sini, mobilisasi populisme Islam konservatif berhasil mengantarkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menjadi pemenang Pilkada tersebut.
Populisme Islam, Transformasi Ekonomi-Politik
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar dalam tulisannya di Indoprogress menyebutkan bahwa populisme adalah bagian dari perubahan-perubahan ekonomi-politik yang terjadi di negara maju, yang kemudian menyebar ke negara-negara berkembang.
Menurutnya, populisme adalah bentuk dari pergeseran ‘kelas’ – yang diyakini terjadi ketika neoliberalisasi di negara-negara maju melahirkan perubahan pada komposisi kelas. Kondisi ini melahirkan orang-orang yang ‘kalah’.
Memahami populisme sayap kanan, baik yang bernafaskan agama, sentimen rasial, atau hanya mengedepankan chauvinisme identitas tertentu, perlu dilakukan dengan memahami transformasi ekonomi politik global kontemporer yang menyebar ke negara-negara lain karena struktur ekonomi-politik internasional neoliberal yang ‘timpang’ (uneven), tapi terkombinasi oleh jejaring-jejaring institusi keuangan global.
Hal ini dijelaskan dengan baik oleh Vedi Hadiz dengan perbandingan antara populisme Islam di Indonesia yang memiliki jejaring dan proses interaktif dengan gerakan populis Islam di Mesir dan Turki. Dalam bukunya yang berjudul Islamic Populism in Indonesia and the Middle East, Vedi Hadiz mencoba melihat sebuah trend politik global dari populisme yang kini menjadi tantangan pada banyak negara.
Hadiz mencapai pada kesimpulan bahwa populisme adalah sebuah gerakan lintas kelas sosial yang asimetris. Menurutnya, dalam gerakan populis ada berbagai kepentingan kelas yang bisa jadi antagonistik dan berbeda tingkat artikulasinya. Dengan perspektif demikian, Hadiz memaparkan kemunculan populisme Islam sebagai warisan dari kebangkitan gerakan Pan-Islamisme yang muncul pada awal abad ke-20 seiring dengan memudarnya Kekaisaran Utsmaniyah.
Terkait hal tersebut, Abdil Mughis Mudhoffir, Diatyka Widya Permata Yasih dan Luqman-nul Hakim dalam tulisan berjudul “Populisme Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia” yang terbit di majalah Prisma, menyebutkan bahwa terjadinya fragmentasi aliansi populisme Islam tersebut disebabkan oleh faktor tidak terbangunnya basis pengorganisasian yang kuat selama era Soeharto.
Selain itu, faktor lain adalah karena tidak adanya kelas borjuis Muslim yang kuat. Era Soeharto memang ditandai dengan adanya konsolidasi ekonomi yang melahirkan dominasi etnis Tionghoa dan kroni-kroninya dalam ekonomi.
Pada akhirnya memang tetap tidak muncul kelas menengah (borjuasi) yang independen dari absolutisme kekuasaan atau sisa-sisanya post-reform, Islam politik yang moderat tergeser oleh populisme konservatif
— sudiarto (@akunsudi) July 28, 2018
Menurut Mudhoffir dkk, hal ini penting karena ketiadaan kelas borjuis Muslim yang kuat membuat aliansi multi kelas dengan bendera “umat” tidak bisa berdiri tegak di Indonesia. Ini berbeda dengan yang terjadi di Turki dan Mesir, di mana neoliberalisasi melahirkan aliansi multi kelas yang relatif kuat.
Sebagai negara yang bersandar pada industri ekstraktif, jatuhnya beberapa komoditas ekstraktif seperti minyak dan batubara (serta bangkitnya industri manufaktur Tiongkok dalam percaturan ekonomi politik global) mengakibatkan kelas-kelas pemilik modal di Indonesia terdampak.
Hal-hal semacam ini membuka jalan bagi sentimen anti-etnis tertentu di Indonesia, yang dieskalasikan dengan sangat baik oleh para pengusaha politik di tataran politik lokal. Sentimen terhadap kelompok Tionghoa adalah salah satu contohnya.
Dengan demikian, kebangkitan populisme sayap kanan bukan sekadar ekspresi identitas. Ia juga merupakan sinyalemen dari krisis tatanan ekonomi politik tertentu yang diikuti oleh rekonsolidasi tatanan politik lain.
Untuk menjelaskannya, perlu analisis dua-tingkat dengan melihat dampak krisis finansial global serta instabilitas harga komoditas ekstraktif terhadap perubahan politik domestik dan munculnya gerakan-gerakan populis sayap kanan yang bekerja dalam politik elektoral demokratis.
Konskuensi dari krisis legitimasi dari partai-partai liberal dan sosialisme demokratis ini adalah munculnya populisme sayap kanan yang berkecimpung melalui kontestasi elektoral.
Kita bisa melihat bahwa krisis global, yang berdampak pada politik domestik karena ketidakmampuan pemerintah untuk mencari solusi, melahirkan ketidakpuasan politik di tingkat domestik. Sehingga, ketimpangan yang dihasilkan oleh rezim-rezim neoliberal segera ‘digoreng’ menjadi komoditas politik kelompok populis sayap kanan semacam ini.
Jokowi di Persimpangan Jalan
Lalu bagaimana dengan konteks strategi politik Jokowi?
Faktanya, saat ini memang terdapat beragam elemen gerakan Islam yang menyebut diri “merepresentasikan umat”. Bahkan, tidak jarang, ada dari kelompok-kelompok tersebut yang menempuh jalur kekerasan dan fundamentalisme.
Selain itu, ada pula kelompok-kelompok pengajian yang cenderung apolitis, hingga tentu saja ormas dan partai-partai Islam.
Dalam konteks tersebut, politisasi identitas yang eksklusif menjadi jalan pintas yang digunakan untuk memobilisasi suara, selain melalui politik uang dan kekerasan, di tengah tekanan menuju Pemilu.
Menerka arah jalan Jokowi demi kepentingan politiknya pada tahun 2019, bisa dipastikan bahwa ia melakukan lobi-lobi politik terhadap sebanyak mungkin kalangan. Termasuk terhadap kelompok 212 yang pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun lalu menghentak banyak pihak.
Menurut laporan Tempo, pemerintah memang tengah berupaya untuk mendekati beberapa ulama pendukung gerakan 212. Misalnya saja TGB, awalnya adalah pendukung gerakan 212, bahkan namanya sempat masuk dalam daftar lima capres versi Persaudaraan Alumni 212.
Ulama sebagai representasi umat Islam dan tokoh-tokoh yang didengar bisa menjadi basis pengorganisasian mobilisasi politik populisme yang dapat dibangun untuk kepentingan elektoral.
Tahun-tahun ke depan jelas bukan masa yang mudah bagi presiden yang terpilih. Tekanan ekonomi akibat perkembangan global – termasuk akibat perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok – perlu ditanggapi dengan cepat dan lihai. Soal kurs rupiah yang mencapai titik terendah sepanjang sejarah juga perlu dijawab dengan kebijakan tepat.
Upaya Jokowi melanjutkan kekuasaannya dengan menoleh ke “kanan” hanya akan menimbulkan kesan bahwa ia sedang mencari ceruk massa Islam yang besar. Artinya, tidak ada diskursus untuk merangkul kelompok Islam agar melahirkan partisipasi politik yang berkualitas dalam intrumen demokrasi.
Dilihat dari perilaku politiknya (political behavioral) nampaknya Jokowi hanya menarik konstituen Islam untuk kepentingan elektoralnya saja, namun tidak ada diskursus yang progresif.
Akankah strategi ini berhasil? Tentu semuanya akan terjawabi di tahun 2019 nanti. Menarik untuk ditunggu. (A37)
***
Ralat: artikel ini telah mengalami perubahan di beberapa bagian pada 19 Desember 2018, utamanya terkait kutipan yang bersumber dari tulisan berjudul “Populisme Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia” karya Abdil Mughis Mudhoffir, Diatyka Widya Permata Yasih dan Luqman-nul Hakim, yang sebelumnya tidak disertakan.
Terima kasih diucapkan kepada Bapak Abdil Mughis Mudhoffir atas tanggapannya terkait pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh penulis artikel ini pada beberapa bagian tulisan. Redaksi menyampaikan permohonan maaf terkait persoalan tersebut.