Partai Gerindra memastikan akan kembali mengusung Prabowo Subianto menjadi calon presiden (capres) di tahun 2024. Beberapa pengamat menganalisis peluang Prabowo untuk memenangi kontestasi pemilihan presiden (pilpres) justru mengecil. Apa penyebabnya?
Partai Gerindra melalui pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Ahmad Muzani memastikan akan kembali mengusung sang Ketua Umum (Ketum) Prabowo Subianto menjadi calon presiden (capres) dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Sekilas, pencalonan Prabowo untuk kembali maju dalam kontestasi Pilpres tampak sah-sah saja.
Prabowo sebagai Ketum jelas punya privilese untuk mencalonkan diri sebagai kandidat. Ditambah, rentetan hasil survei menempatkan namanya di jajaran teratas kandidat capres dengan elektabilitas tertinggi.
Namun, kondisi tersebut diyakini tidak serta merta membuat langkah sang jenderal menjadi mulus. Beberapa pengamat justru menilai peluang mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus) itu mengecil di tahun 2024.
Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yuda memaparkan Prabowo akan menghadapi banyak tantangan untuk mencalonkan diri di 2024. Pertama, meski elektabilitasnya relatif tinggi tetapi kondisi ini diyakini belum aman. Jika dilakukan simulasi head-to-head dengan kandidat kuat lain – seperti Anies Baswedan, Prabowo diyakini akan kesulitan untuk menang.
Baca Juga: Prancis Pilihan Terbaik Prabowo?
Kedua, preferensi politik masyarakat dinilai sudah berubah karena masyarakat saat ini diyakini menginginkan sosok baru. Terkait hal ini, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati, menambahkan saat ini publik mendambakan regenerasi kepemimpinan di 2024.
Wasisto juga menyebut publik sedang mencari pemimpin yang mengusung narasi populis yang mampu menarik perhatian publik dengan gaya kerakyatan, adaptif, dan membuka diri. Menariknya, narasi populisme seperti ini dinilai berlawanan dengan karakter Prabowo dan justru dimiliki oleh beberapa sosok potensial lainnya, seperti Ganjar Pranowo dan Anies.
Hal tersebut tentu menjadi menarik untuk dianalisis. Mengapa narasi populisme seperti ini dapat menjadi ganjalan Prabowo? Kemudian, faktor-faktor apa saja yang menyebabkannya menjadi ganjalan?
Mengenal Populisme
Populisme mungkin menjadi salah satu istilah politik yang paling populer beberapa tahun belakangan. Kemenangan Donald Trump pada Pilpres Amerika Serikat (AS) tahun 2016 menjadi salah satu tonggak naiknya popularitas gerakan politik yang satu ini.
Populisme sendiri secara sederhana bisa diartikan sebagai gerakan politik yang mengkapitalisasi suara mayoritas masyarakat dan membenturkannya dengan sekelompok elite atau penguasa.
Memang masih banyak perdebatan tentang pengertiannya. Namun, kebanyakan ahli sepakat bahwa gerakan mengkapitalisasi suara mayoritas secara politik untuk melawan kelompok tertentu dan memenangkan pemilu merupakan bagian dari populisme.
Secara spesifik, beberapa pemikir menyebut populisme lebih tepat disebut sebagai strategi politik ketimbang ideologi politik atau ekonomi. Kurt Weyland – seperti dikutip dari tulisan Edward Aspinall – menyebut populisme sebagai strategi politik ketika seorang politisi dengan karakter personal tertentu membangun kekuatan dan dukungan secara langsung tanpa terikat institusi dari sejumlah besar masyarakat yang mayoritas adalah pengikut yang tidak terorganisir. Pada titik ini, populisme memang melewati batasan institusi – entah itu partai politik maupun yang sejenisnya.
Menariknya, jika melihat pada dua kontestasi Pilpres terakhir, baik Jokowi dan Prabowo dianggap sama-sama mengusung narasi populisme – sekalipun di spektrum yang berbeda. Jokowi memang dikenal sebagai tokoh yang populis sejak menjabat sebagai Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Sementara, Prabowo juga belakangan diduga “mencoba” menggunakan strategi yang sama saat mengkapitalisasi dukungan politik – misalnya ketika ia bicara tentang “pencurian” kekayaan nasional.
Terkait hal ini, Aspinall dalam Oligharcic Populism: Prabowo Subianto Challenge to Indonesian Democracy memaparkan berbeda dengan Jokowi yang dianggap memainkan narasi populisme di spektrum kiri. Populisme yang dimainkan Prabowo menurut Aspinall cenderung ada di spektrum kanan.
Dua spektrum politik ini memang masih menjadi perdebatan – khususnya apabila berbicara dalam konteks Indonesia. Berbeda dengan AS, misalnya, yang jelas secara kepartaian sudah memberikan distingsi antara Partai Demokrat yang liberal-progresif dengan Partai Republik yang konservatif.
Baca Juga: Prabowo Tak Sayang Sandiaga?
Secara garis besar, spektrum politik kiri memang dicirikan oleh adanya pasar yang adil (fair trade), egalitarianisme, gerakan yang progresif, sosialisme, equality (persamaan), serta keberpihakan pada kelompok pekerja dan rakyat kecil. Sementara, spektrum politik kanan dicirikan oleh pasar bebas (free trade), kondisi masyarakat yang tradisionalis-elitis, adanya status quo, konservatisme, equity (keadilan), meritokrasi, dan cenderung berpihak pada pengusaha.
Menurut Aspinall, Prabowo mengambil spektrum populisme yang cenderung kanan – seperti Thaksin Shinawatra, Hugo Chavez, bahkan Donald Trump. Populisme Prabowo juga bisa disebut sebagai pluto populism, yakni populisme yang berasal dari pemikiran orang kaya dan berharta.
Kebangkitan populisme kanan memang sedang terjadi di banyak negara di dunia. AS dengan Trump yang tentu saja kanan dan Amerika Latin dengan para pemimpin ultra kanan-nya, telah menjadi barometer kebangkitan gerakan politik kanan itu.
Lantas, jika dianggap memiliki karakteristik narasi populisme yang sama dengan Thaksin, Chavez, dan Trump, mengapa dalam penerapannya konsep populisme Prabowo ini bisa dinilai gagal?
Mengapa Prabowo Mungkin Gagal?
Aspinal seperti yang sempat disinggung di atas, menyebut populisme Prabowo ini sebagai oligarch populism atau populisme oligarkis, yakni populisme yang berasal dari pemikiran orang kaya dan berharta. Hal ini merujuk pada latar belakangnya yang memang berasal dari kalangan pebisnis dan orang kaya.
Total kekayaan Prabowo mencapai Rp 1,67 triliun dan US$7,5 juta. Jumlah tersebut belum termasuk sokongan dana dari saudaranya, Hashim Djojohadikusumo.
Aspinall sempat menyebutkan bahwa Hashim menghabiskan sekitar US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun jika dihitung berdasarkan kurs hari ini, untuk mendanai pendirian Partai Gerindra pada 2008-2009.
Jika merujuk pada hasil pilpres 2014 dan 2019, tentu sah saja untuk mengatakan bahwa narasi populisme yang dibawa Prabowo sejauh ini belum berhasil untuk diterapkan. Aspinall memaparkan Prabowo memang kerap mengritik para elite. Namun, latar belakang dirinya yang nyatanya berasal dari kelompok elite mau tidak mau membuat sudut pandang Prabowo menjadi bias.
Hal ini berbeda dengan Jokowi yang relatif berhasil menyamakan dirinya dengan rakyat biasa. Ini disebabkan narasi populisme spektrum kiri Jokowi juga diperkuat dari latar belakangnya yang bukan berasal dari kelompok elite. Ia juga lebih dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat yang ingin menyuarakan perubahan, progresif, dan terpinggirkan.
Lalu, apakah faktor latar belakangnya yang berasal dari keluarga elite menyebabkan narasi populisme yang dibawa Prabowo berulang kali gagal? Jawabannya mungkin iya tetapi diyakini bukan faktor satu-satunya.
Baca Juga: Prabowo-Puan Lebih Realistis?
Di sini, kita coba melihat contoh kasus lain. Dari ciri-ciri tersebut, narasi populisme Prabowo bisa dibilang mirip dengan Thaksin Shinawatra yang juga adalah pebisnis dan mantan Perdana Menteri (PM) Thailand. Sama seperti Prabowo, Thaksin sendiri berasal dari kelompok elite pebisnis, yang membuatnya juga bisa disebut sebagai oligarch populist dan pluto populist. Aspinall juga menyebut baik Prabowo maupun Thaksin sebagai populis otoritarian klasik.
Thaksin disinyalir sangat kuat dalam retorika populisme terkait elite korup, kebocoran kekayaan negara. dan lain sebagainya – narasi-narasi populisme yang sangat mirip dengan yang dibawa Prabowo dalam dua pemilu terakhir. Namun, berbeda dengan Prabowo, ia terbukti berhasil menggalang dukungan masyarakat hingga mengantarnya ke kursi PM.
Grigoris Markou dan Phanuwat Lasote dalam tulisannya untuk Populismus menyebut salah satu kunci keberhasilan Thaksin adalah menciptakan diskursus “us” yang mewakili orang-orang miskin dengan dirinya di dalam kelompok tersebut, melawan kelompok “them” yang mewakili kelompok elit koruptif, pebisnis, aristokrat, militer, bahkan hingga keluarga kerajaan.
Griforis Markou lebih lanjut menjelaskan sosok yang elitis seperti Thaksin bisa menjadi tokoh populis yang diterima masyarakat dan berhasil karena dia tak hanya menganggap populisme sebagai narasi tetapi ia juga menjalankan konsep tersebut di kehidupan sehari-hari.
Thaksin pada masa-masa tertentu berani turun langsung ke masyarakat dengan memperkenalkan konsepnya. Ia dengan menggunakan setelan khas masyarakat biasa, turun langsung mengenalkan doktrin “Thaksinomics” untuk mengambil hati masyarakat kelas bawah dalam rangka memperbaiki Thailand pasca-Krisis 1998 itu. Dengan perlahan, ia menjadi sangat populis dan dapat diterima masyarakat
Jika berkaca pada kasus Thaksin, walau berasal dari keluarga elite tetapi nyatanya narasi populismenya cukup berhasil. Keberhasilan Thaksin ini sekaligus mematahkan asumsi bahwa sosok elitis bahkan yang berasal langsung dari keluarga elite tidak bisa menjadi sosok yang populis.
Mungkin, ini adalah alasan lain mengapa narasi populisme yang dibawa Prabowo gagal, terlepas dia mempunyai latar belakang elite sehingga narasi populismenya terkesan bias tetapi ia juga diyakini tak menjalankan konsep populisme tersebut di kehidupan sehari-hari – setidaknya seperti apa yang dilakukan Thaksin, yaitu turun langsung ke masyarakat dan mengambil simpati mereka.
Padahal, berdasar temuan LIPI, saat ini masyarakat cenderung menginginkan pemimpin yang mengusung narasi populis yang mampu menarik perhatian publik dengan gaya kerakyatan, adaptif, dan membuka diri. Narasi yang cenderung masuk ke dalam narasi populisme spektrum kiri menurut Aspinall. Tentu, hal ini bertolak belakang dengan narasi yang dibawa Prabowo.
Menyikapi hal ini, Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yuda menyarankan sang jenderal untuk melakukan rebranding sosok dalam rangka menghadapi Pilpres 2024. Namun, hal ini diyakini sulit bagi sosok seperti Prabowo yang dinilai mempunyai karakteristik yang kuat untuk begitu saja mengubah narasi dan model kampanyenya menjadi lebih populis seperti yang disukai masyarakat.
Ditambah, posisi Prabowo saat ini sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) tidak mendukung untuk memakai gaya populisme tersebut dibandingkan dengan Gubernur atau Menteri yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Pada akhirnya, berdasarkan pada beberapa faktor di atas, bukan tidak mungkin narasi populisme lagi-lagi bisa menjadi ganjalan utama bagi Prabowo untuk memenangi kontestasi Pilpres pada tahun 2024 nanti. (A72)
Baca Juga: Siasat Perang Modern ala Prabowo