HomeHeadlinePopularitas Lintas Generasi, Rahasia Eminensi Yusril

Popularitas Lintas Generasi, Rahasia Eminensi Yusril

Kecil Besar

Kerap disebut kurang diperhitungkan, penilaian terhadap elektabilitas Yusril Ihza Mahendra sebagai salah satu kandidat bacawapres di 2024 kiranya keliru, baik jika ditinjau secara substansial (kualitas ketokohan) maupun secara popularitas.


PinterPolitik.com 

Kekeliruan kiranya melingkupi mereka yang mempertanyakan elektabilitas serta popularitas sosok Yusril Ihza Mahendra yang masuk ke bursa bacawapres Prabowo Subianto di Pilpres 2024. 

Dalam survei Indikator yang dirilis pada 30 September lalu, misalnya, Yusril hanya menduduki posisi ketujuh dengan torehan 1 persen. Pertanyaan yang diajukan kepada responden sendiri adalah mengenai sepuluh nama yang dianggap pantas menjadi cawapres Prabowo. 

Padahal, jika dianalisis secara komprehensif Yusril agaknya memiliki segala kualifikasi untuk menduduki posisi apapun di pemerintahan dengan pengalaman, kapasitas, dan prestasi yang dimilikinya. Lebih dari cukup kiranya untuk disebut โ€œpantasโ€. 

Kembali, dengan mengacu pada berbagai variabel sosiopolitik di Indonesia, penilaian terhadap elektabilitas maupun popularitas Yusril selama ini kiranya keliru. Mengapa demikian? 

Bias Lembaga Survei 

Untuk menjawab kemungkinan kekeliruan itu, pertanyaan balik terhadap esensi lembaga survei sendiri dapat menjadi pintu masuk pertama. 

Netralitas lembaga survei sendiri kerap dipertanyakan oleh masyarakat tanah air yang kian kritis menilai berbagai diskursus politik. 

infografis haruskah kita percaya lembaga survei

Terlebih, Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi) sempat menyebut terdapat 42 lembaga survei โ€œabal-abalโ€ yang muncul menjelang Pemilu 2024. Mereka dipesan dengan menaikkan margin elektabilitas kandidat lebih tinggi dari yang seharusnya. 

Dalam buku berjudul Polls and Politics: The Dilemma of Democracy, Michael Genovese mengatakan di tengah pasar elektoral yang semakin ketat, lembaga survei kemudian rawan melanggar prosedur demi kebutuhan operasional, yang berkorelasi dengan kebutuhan kliennya. 

Problem berikutnya adalah mengenai polarisasi yang bermula dari perdebatan mengenai posisi maupun status lembaga survei, sebagai lembaga riset atau konsultan politik. 

Baca juga :  Aguan dan The Political Conglomerate

Dirk Tomsa dalam Public Opinion Polling and Post-truth Politics in Indonesia menyebut sampel Pilpres 2014 yang mana disebut terdapat bias partisan lembaga survei kepada dua kontestan saat itu, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. 

Apa yang terjadi di 2014 kiranya telah membentuk persepsi bahwa bias partisan lembaga survei memang bisa saja senantiasa terjadi selagi terdapat โ€œkebutuhanโ€ dan โ€œpermintaanโ€. 

Kembali, ke konteks penilaian terhadap elektabilitas maupun popularitas Yusril selama ini yang tampak keliru, terdapat satu interpretasi lain yang dapat memperkuat postulat itu. 

Yusril, Tenar Lintas Generasi? 

Satu hal yang menjadi pembeda popularitas Yusril dan kandidat bacawapres lain adalah namanya yang sedari awal telah populer secara harfiah. 

Mengacu pada data yang dihimpun dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Kemendikbud, nama โ€œYusril Ihza Mahendraโ€ memiliki popularitas tertinggi dibandingkan kandidat lain. 

infografis yusril cawapres prabowo

Dalam konteks ini, nama-nama itu merupakan mahasiswa yang kini merupakan milenial dan generasi z. Dengan kata lain, cukup logis untuk mengatakan bahwa nama Yusril sangat populer dan menginspirasi di kalangan orang tua saat anak mereka lahir. 

Nama sendiri adalah bagian penting dari identitas seseorang, dan seringkali memiliki makna mendalam atau merujuk kepada tokoh-tokoh yang dihormati. 

Sebagian besar khalayak Indonesia kiranya sepakat bahwa Yusril merupakan tokoh politik dan cendekiawan yang memiliki reputasi positif dalam kiprahnya di bidang politik, hukum, dan pemerintahan. 

Popularitas dan pengaruhnya dalam dunia politik dan hukum telah menjadikannya sosok yang dihormati oleh banyak orang di Indonesia. 

Secara sosiopolitik, nama juga mencerminkan simbolisme nama di mana hal itu menciptakan ikatan emosional antara โ€œnamaโ€ dan โ€œcita-citaโ€ yang diharapkan untuk generasi yang akan datang. 

Selain itu, Yusril juga dikenal karena pandangan politik dan ideologinya yang khas, sejuk, dan tak konfrontatif. Bagi beberapa orang tua, memberikan nama โ€œYusril Ihza Mahendraโ€ kepada anak mereka mungkin merupakan bentuk dukungan terhadap ideologi atau nilai-nilai yang terwakili. 

Baca juga :  Return of the Wolf Warrior?

Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa nama โ€œYusril Ihza Mahendraโ€ memiliki popularitas yang cukup signifikan di kalangan generasi milenial dan generasi Z di Indonesia. 

Faktor-faktor seperti pengaruh positif Yusril, simbolisme budaya, dan ideologi politik kiranya memiliki keterkaitan dalam popularitas nama Yusril. 

Popularitas nama Yusril kiranya mencerminkan nilai-nilai dan aspirasi yang ingin disampaikan oleh orang tua kepada generasi penerus mereka, serta penghargaan terhadap prestasi dan kontribusi yang telah dilakukan oleh tokoh Yusril Ihza Mahendra dalam dunia politik, pemerintahan, dan hukum di Indonesia. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Return of the Wolf Warrior?

Retorika internasional Tiongkok belakangan mulai menunjukkan perubahan. Kira-kira apa esensi strategis di baliknya? 

Prabowoโ€™s Revolusi Hijau 2.0?

Presiden Prabowo mengatakan bahwa Indonesia akan memimpin revolusi hijau kedua di peluncuran Gerina. Mengapa ini punya makna strategis?

Cak Imin-Zulhas โ€œGabut Berhadiahโ€?

Memiliki similaritas sebagai ketua umum partai politik dan menteri koordinator, namun dengan jalan takdir berbeda, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Zulkifli Hasan (Zulhas) agaknya menampilkan motivasi baru dalam dinamika politik Indonesia. Walau kiprah dan jabatan mereka dinilai โ€œgabutโ€, manuver keduanya dinilai akan sangat memengaruhi pasang-surut pemerintahan saat ini, menuju kontestasi elektoral berikutnya.

Indonesia Thugocracy: Republik Para Preman?

Pembangunan pabrik BYD di Subang disebut-sebut terkendala akibat premanisme. Sementara LG โ€œkaburโ€ dari investasinya di Indonesia karena masalah โ€œlingkungan investasiโ€.

Honey Trapping: Kala Rayuan Jadi Spionase

Sejumlah aplikasi kencan tercatat kerap digunakan untuk kepentingan intelijen. Bagaimana sejarah relasi antara spionase dan hubungan romantis itu sendiri?

Menguak CPNS โ€œGigi Mundurโ€ Berjemaah

Fenomena undur diri ribuan CPNS karena berbagai alasan menyingkap beberapa intepretasi yang kiranya menjadi catatan krusial bagi pemerintah serta bagi para calon ASN itu sendiri. Mengapa demikian?

It is Gibran Time?

Gibran muncul lewat sebuah video monolog โ€“ atau bahasa kekiniannya eksplainer โ€“ membahas isu penting yang tengah dihadapi Indonesia: bonus demografi. Isu ini memang penting, namun yang mencuri perhatian publik adalah kemunculan Gibran sendiri yang membawakan narasi yang cukup besar seperti bonus demografi.

Anies-Gibran Perpetual Debate?

Respons dan pengingat kritis Anies Baswedan terhadap konten โ€œbonus demografiโ€ Gibran Rakabuming Raka seolah menguak kembali bahwa terdapat gap di antara mereka dan bagaimana audiens serta pengikut mereka bereaksi satu sama lain. Lalu, akankah gap tersebut terpelihara dan turut membentuk dinamika sosial-politik tanah air ke depan?

More Stories

Cak Imin-Zulhas โ€œGabut Berhadiahโ€?

Memiliki similaritas sebagai ketua umum partai politik dan menteri koordinator, namun dengan jalan takdir berbeda, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Zulkifli Hasan (Zulhas) agaknya menampilkan motivasi baru dalam dinamika politik Indonesia. Walau kiprah dan jabatan mereka dinilai โ€œgabutโ€, manuver keduanya dinilai akan sangat memengaruhi pasang-surut pemerintahan saat ini, menuju kontestasi elektoral berikutnya.

Menguak CPNS โ€œGigi Mundurโ€ Berjemaah

Fenomena undur diri ribuan CPNS karena berbagai alasan menyingkap beberapa intepretasi yang kiranya menjadi catatan krusial bagi pemerintah serta bagi para calon ASN itu sendiri. Mengapa demikian?

Anies-Gibran Perpetual Debate?

Respons dan pengingat kritis Anies Baswedan terhadap konten โ€œbonus demografiโ€ Gibran Rakabuming Raka seolah menguak kembali bahwa terdapat gap di antara mereka dan bagaimana audiens serta pengikut mereka bereaksi satu sama lain. Lalu, akankah gap tersebut terpelihara dan turut membentuk dinamika sosial-politik tanah air ke depan?