Site icon PinterPolitik.com

PON, Siasat Jokowi Damaikan Papua?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) (tengah) bersama rombongan pada tahun 2019 silam meninjau pembangunan Stadion Papua Bangkit di Jayapura, Papua, yang akan digunakan untuk perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX. (Foto: Istimewa)

Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX di Papua tinggal menghitung hari. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD sebut acara ini akan menjadi bukti bahwa pemerintahan Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi) hadir di Papua. Dapatkah PON XX menjadi kunci perdamaian Papua yang selama ini dicari-cari?


PinterPolitik.com

Pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX di Papua sudah di depan mata. Acara olahraga terbesar Indonesia yang diselenggarakan setiap empat tahun sekali ini rencananya akan berlangsung pada tanggal 2 Oktober hingga 15 Oktober 2021. Ini adalah pertama kalinya PON dilaksanakan di Bumi Cenderawasih.

Tentu, hal ini disambut dengan gembira oleh sebagian besar warga Indonesia. Akan tetapi, melihat situasi di Papua akhir-akhir ini, dengan adanya serangan beruntun dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), tidak sedikit juga masyarakat yang mulai khawatir akan keamanan pelaksanaan PON nanti. Sudah banyak pemukiman warga yang diserang, tidak sedikit juga nyawa warga tidak bersalah yang telah direnggut.

Sebagai upaya meredam adanya kekhawatiran ini, pemerintah Indonesia sudah melakukan berbagai upaya untuk memastikan acara penting ini bisa berlangsung secara aman dan damai.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut sejumlah antisipasi terkait dengan keamanan dan persiapan protokol kesehatan telah disiapkan. Pihaknya juga disebut sudah berulang kali memantau lokasi penyelenggaraan PON bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Marsekal Hadi Tjahjanto, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Pihak aparat sendiri disebutkan sudah mempersiapkan setidaknya 1.500 personel gabungan yang tersebar di berbagai objek-objek vital di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Merauke.

Baca Juga: Membaca Keberadaan Ma’ruf Amin di Papua

Mahfud mengatakan proses besar pengamanan yang telah dilakukan pihaknya ini adalah upaya untuk menunjukkan bahwa pemerintah hadir di Papua, sebagaimana juga di provinsi Indonesia lainnya. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga menekankan PON ini adalah pesta olahraga yang akan memajukan Papua bersama Indonesia.

Dari komitmen yang ditunjukkan oleh pemerintah untuk dapat melaksanakan PON secara lancar, timbul rasa penasaran yang perlu dijawab. Sebenarnya, mengapa pemerintah rela mengambil risiko keamanan dan tetap bersikeras untuk menyelenggarakan acara olahraga ini? Memangnya, manfaat apa saja yang dapat diperoleh dari perhelatan olahraga ini?

Olahraga sebagai Alat Politik

Sebagai upaya mencapai tujuan politis, negara melakukan apa yang dinamakan sebagai diplomasi. Dalam menjalankan diplomasi, kekuatan atau power adalah sumber dayanya. Umumnya power dibagi menjadi dua kategori, yaitu hard power dan soft power.

Joseph Nye adalam bukunya The Future of Power menjelaskan bahwa hard power adalah kekuatan negara yang memiliki bentuk, seperti tenaga militer. Sementara, soft power adalah jenis sumber daya yang tidak berwujud, seperti, ide, nilai, budaya, dan legitimasi kebijakan.

Dalam konteks penyelenggaraan PON, kita bisa mengartikan acara olahraga adalah termasuk salah satu bentuk dari soft power yang diaplikasikan dalam upaya diplomasi Indonesia. Sudah lama Indonesia menginginkan adanya perdamaian di Papua. Oleh karena itu, tentu sangat masuk akal jika pemerintah mulai menggunakan semangat olahraga sebagai alat untuk menciptakan rasa kebersamaan dan perdamaian.

Stuart Murray dalam bukunya Sports Diplomacy: History, Theory, and Practice menyebut olahraga sebagai sumber daya yang kuat dalam diplomasi. Ia menyebutnya sebagai sports diplomacy (diplomasi olahraga).

Murray mengatakan kekuatan unik olahraga dapat mendekatkan orang, bangsa, dan komunitas melalui kecintaan bersama yaitu pada batasan fisik manusia. Kekuatan ini dapat mendekatkan pihak yang teralienasi, dan mencapai tujuan kebijakan suatu negara.

Di satu sisi, Michał Kobierecki, dosen politik di Universitas Lodz, dalam artikel di situs The Warsaw Institute menyebutkan bahwa olahraga mampu berkontribusi besar dalam membangun citra negara di mata dunia. Ia melihat olahraga dapat memberi dua manfaat besar dari segi politik.

Baca Juga: Jokowi Perlu ‘Politik Rekognisi’ Papua?

Pertama, olahraga adalah tempat politisi bisa melangkah lebih jauh daripada di dunia politik. Misalnya, dua kubu mungkin tidak memiliki hubungan diplomatik yang formal, dan interaksi fisik di antara mereka mungkin terbatas karena adanya konflik, tetapi faktor-faktor politik ini bisa dikesampingkan begitu saja dengan menggelar kegiatan olahraga bersama. Olahraga tidak dikekang oleh hal yang dapat mengekang aksi politik.

Kedua, keuntungan kedua dari olahraga yang membuatnya sangat berguna bagi politik adalah popularitasnya. Bukan kebetulan bahwa acara olahraga adalah salah satu jenis acara yang paling mahal dari segi advertorial, ini tentu karena olahraga sangat populer di masyarakat.

Akibatnya, popularitas olahraga dapat digunakan untuk mencapai tujuan politik – sama seperti iklan perusahaan yang juga menggunakan semangat olahraga untuk tujuan komersial (Coca-Cola contohnya). Ini adalah dasar kuat dari terbentuknya soft power suatu negara – kata Kobierecki.

Oleh karena itu, dari perspektif internasional, kemampuan dan kesuksesan Indonesia dalam menyelenggarakan PON XX akan menjadi amunisi yang kuat bagi para diplomat Indonesia. Seperti yang kita tahu, Indonesia sering mendapat sindiran dari negara-negara Pasifik Selatan – seperti Vanuatu – di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas dugaan pelanggaran HAM terhadap warga Papua.

Jika PON XX berjalan lancar dan damai, ini akan jadi citra kuat Indonesia di mata internasional, bahwa Tanah Air mampu menciptakan perdamaian di Bumi Cenderawasih dengan semangat olahraga – di tengah badai konflik kekerasan yang terjadi antara TNI dan KKB.

Selain itu, sebagai tambahan adanya tujuan politis, olahraga sebagai alat diplomasi juga dapat membangun ekonomi, ini sesuai dengan keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membangun infrastruktur di Papua. Selain penyediaan fasilitas akomodasi yang mumpuni, pemerintah juga tentunya akan membangun akses transportasi darat, laut, dan udara. Untuk jangka panjangnya, ini bisa menjadi modal pariwisata yang bermanfaat, tentu jika dirawat dengan baik.

Ketika Olahraga Ciptakan Perdamaian

Pengaplikasian semangat olahraga sebagai alat mencapai perdamaian sudah lama dilakukan oleh manusia. Sejak ribuan tahun lalu, manusia telah berulang kali menjadikan olahraga sebagai sarana pencipta perdamaian.

Salah satu contoh paling tuanya adalah apa yang disebut sebagai Olympic Truce. Ini adalah tradisi kuno yang diterapkan pada masa Yunani kuno – kurang lebih pada sekitar abad ke-8 SM untuk mempromosikan semangat perdamaian melalui kompetisi olahraga.

Baca Juga: Gejolak Papua, Haruskah Ditindak Represif?

Yunani Kuno adalah periode ketika sering terjadi peperangan. Oleh karena itu, agar negara-negara Yunani bisa menjalankan kejuaraan olahraga yang damai, mereka menciptakan perjanjian yang menjamin keselamatan para atlet dan penonton dari mulai keberangkatan ke tempat tuan rumah kejuaraan, yaitu di kota Elis, hingga kemudian sampai kepulangan mereka ke tempat asalnya.

Peneliti ilmu sosial, Ramon Spaaij, dalam tulisannya yang berjudul Olympics Ring of Peace? mengatakan meskipun ada beberapa kali pelanggaran terhadap aturan gencatan senjata Olympic Truce, efektivitas, dan berapa lamanya Olimpiade kuno berlangsung – dari abad ke-8 SM sampai abad ke 3 M – menjadi bukti bahwa olahraga dapat menjadi batu yang cukup kuat untuk mempertahankan perdamaian di Yunani Kuno.

Contoh modern dari penggunaan olahraga untuk perdamaian bisa kita lihat dari kontingen gabungan antara Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) di acara Olimpiade Musim Dingin 2018. Pada saat pembukaan, kedua negara yang memiliki hubungan politik panas itu berparade secara gabungan di bawah bendera unifikasi Korea. Selanjutnya, mereka juga membentuk tim hoki es wanita gabungan.

Selain hanya memberikan gambaran bahwa olahraga dapat menciptakan perdamaian, unifikasi Korea di Olimpiade ini juga telah mampu memberikan harapan yang sebelumnya tidak dapat dibayangkan dari kacamata politik. Kemampuan soft power, khususnya semangat olahraga, dapat menembus ketegangan politik.

Dari sini, kita bisa melihat bahwa Indonesia sudah berjalan di arah yang benar, yaitu menghapus stigma Papua sebagai wilayah yang terasingkan dengan memberikan kepercayaan untuk menjadi tuan rumah acara olahraga terbesar Indonesia. Hanya saja, Jokowi juga harus sadar bahwa meskipun PON XX nanti dapat membuat semangat kebersamaan dan gerbang komersial yang menjanjikan di Papua, konsekuensi buruk sosial-ekonomi pasca penyelenggaraan acara masih dapat terjadi.

Kita tidak boleh lupa bagaimana Piala Dunia FIFA 2014 di Brazil menimbulkan banyak rasa ketidakpuasan dari masyarakatnya akibat terlalu mengeluarkan banyak biaya – yang mana warga Brazil anggap justru lebih baik untuk digunakan membangun sistem kesehatan dan edukasi yang lebih baik. Dari segi infrastruktur pun, Piala Dunia ini terjadi banyak masalah – seperti kematian pekerja saat konstruksi stadion, penerobosan stadion, runtuhnya monorel, dan runtuhnya jembatan layang yang belum selesai di Belo Horizonte.

Semoga saja, di PON XX ini, Jokowi benar-benar sudah memastikan kesiapan infrastruktur, dan juga dapat menjamin kestabilan keamanan di salah satu wilayah yang paling berkonflik di Indonesia. Dan, yang paling penting, tentu kita harapkan semangat olahraga yang dirangsang melalui acara besar ini dapat menabur benih kepercayaan dan perdamaian abadi di Bumi Cenderawasih. (D74)

Baca Juga: Membaca Siasat Tito Mekarkan Papua


Exit mobile version