Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Di tengah proses meraba positioning politik jelang pemerintahan baru, Megawati Soekarnoputri dan PDIP mungkin diuntungkan secara politik andai wacana menempatkan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terwujud. Mengapa demikian?
“Meminimalisir” peran Korps Bhayangkara seolah menjadi poin tersirat dari wacana meletakkan kembali Polri di bawah komando Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam revisi UU Polri. Dan, Megawati Soekarnoputri-PDIP tampaknya akan sangat sepakat mengenai hal ini.
Lebih jauh lagi, terkait probabilitas peran-peran yang boleh jadi memiliki proyeksi kurang menguntungkan bagi PDIP di kemudian hari.
Wacana “merelokasi” Polri ke Kemendagri sendiri bukan hal baru. Namun, belakangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjadi aktor yang vokal menginisiasi wacana itu.
Teranyar, peneliti senior Pusat Riset Politik BRIN, Lili Romli yang menjadi pemantik wacana tersebut. Ihwal yang kemudian disambut positif sejumlah pengamat, utamanya koalisi masyarakat sipil.
Argumen mereka dilandasi oleh efisiensi dan efektivitas Polri yang dinilai akan lebih baik karena jika di bawah Kemendagri, mereka bisa lebih cepat berkoordinasi dengan daerah jika terjadi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
Akan tetapi, jika ditelisik lebih dalam, argumen tersebut sebenarnya cukup abstrak dan agaknya tak dapat menyelesaikan konteks serta substansi persoalan sesungguhnya. Mengapa demikian? Serta, kembali ke postulat di awal, benarkah terdapat korelasi khusus wacana Polri digeser di bawah komando Kemendagri dengan Megawati dan PDIP?
Terlalu Banyak Bias?
Ketika membahas peran Polri dalam dinamika sosial, keamanan, dan ketertiban di Indonesia, penting untuk memahami bias kognitif kolektif yang sering kali mempengaruhi pandangan masyarakat dan pengambil keputusan mengenai Korps Bhayangkara.
Bias kognitif kolektif, dalam hal ini confirmation bias atau bias konfirmasi, dapat dilihat sebagai kecenderungan masyarakat atau kelompok tertentu untuk mempersepsikan informasi dan peristiwa dengan cara yang mendukung keyakinan atau kepentingan mereka yang sudah ada.
Dalam konteks ini, ada kemungkinan bahwa wacana relokasi Polri ke bawah Kemendagri dipengaruhi oleh persepsi dan keyakinan yang didorong oleh bias tersebut.
Misalnya, beberapa pihak mungkin berpendapat bahwa Polri yang berada langsung di bawah Presiden memiliki potensi untuk digunakan sebagai alat politik oleh kekuatan tertentu, sehingga menempatkannya di bawah Kemendagri dianggap dapat mengurangi risiko tersebut.
Namun, persepsi ini mungkin tidak sepenuhnya objektif dan dapat dipengaruhi oleh bias kognitif yang memperbesar kekhawatiran atau ancaman yang sebenarnya tidak sepadan dengan realitas.
Selain itu, argumen mengenai efisiensi dan efektivitas koordinasi antara Polri dan pemerintah daerah jika berada di bawah Kemendagri juga bisa saja dipengaruhi oleh bias lainnya.
Sentimen menempatkan Polri di bawah Kemendagri pun secara tak langsung memantik sorotan negatif akan kinerja mereka. Konstruksi narasi yang berkembang pun kemudian bergulir sangat subjektif dan tendensius.
Tak hanya itu, secara kontekstual, dalam situasi di mana keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi prioritas, persepsi bahwa perubahan struktur komando akan otomatis meningkatkan respons dan koordinasi dapat mengabaikan faktor-faktor lain yang lebih kompleks.
Sebagai contoh, budaya organisasi, kapabilitas sumber daya manusia, dan sistem komunikasi yang sudah ada mungkin memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap efektivitas operasional Polri.
Menempatkan Polri di bawah Kemendagri dengan postulat menempatkan kepala daerah sebagai ujung tombak juga berpeluang menciptakan raja-raja kecil di daerah yang justru sangat rentan menimbulkan instabilitas keamanan.
Secara historis pun, Polri pernah beberapa kali mengalami penyesuaian koordinasi, baik di bawah Kemendagri, Perdana Menteri, hingga ABRI yang pada muaranya kesepakatan bermuara pada pertanggung jawaban langsung kepada Presiden.
Dengan demikian, menempatkan Polri di bawah komando Kemendagri justru dapat dilihat sebagai langkah yang berpotensi mengurangi fleksibilitas dan responsivitas Polri dalam menghadapi berbagai tantangan keamanan yang dinamis.
Selain itu, dalam dinamika sosial budaya Indonesia yang kompleks, Polri sering kali berada di garis depan dalam menangani isu-isu krusial yang memiliki implikasi politik.
Misalnya, penanganan aksi unjuk rasa, konflik horizontal, dan gangguan keamanan lainnya yang membutuhkan respons cepat dan tepat.
Dalam hal ini, keberadaan Polri di bawah komando Presiden memungkinkan adanya jalur komunikasi dan pengambilan keputusan yang lebih langsung dan cepat, yang mungkin tidak seefisien jika berada di bawah struktur birokrasi Kemendagri dan pemerintah daerah.
BRIN, Polri, dan Megawati
Sebagaimana diketahui, memindahkan Polri di bawah Kemendagri bukan lah wacana baru. Namun, sedikit berbeda, kali ini, wacana diinisiasi sekaligus disokong oleh peneliti senior BRIN, sebuah lembaga riset nasional yang sejak awal pembentukannya dinilai rentan akan tendensi politis.
Meletakkan sorotan kepada aktor di dalam BRIN kiranya dapat menjadi pintu masuk analisis berikutnya.
Awalnya, pembentukan BRIN dilatarbelakangi kebutuhan akan dukungan politik sebagai satu dari tiga masalah utama riset Indonesia, sebagaimana yang dikemukakan Ahmad Najib Burhani, dkk, dalam analisis mereka yang berjudul The National Research and Innovation Agency (BRIN): A New Arrangement for Research in Indonesia.
Meski demikian, poin analisis Najib dkk mengenai dukungan politik tampaknya tak sepenuhnya tepat. Akuntabilitas serta subjektivitas tampak menjadi abu-abu dan cukup sulit untuk dihindari korelasinya dengan dinamika politik yang begitu dinamis dan sarat akan kepentingan.
Sejak gagasan pembentukan BRIN dikemukakan dan diiringi penunjukkan sosok Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah, kritik jamak mengiringi setiap hasil telaah maupun pernyataan yang keluar dari lembaga tersebut.
Satu kritik yang cukup tajam dilontarkan mendiang akademisi dan cendekiawan muslim Indonesia Prof. Azyumardi Azra yang mengatakan keberadaan ketum parpol justru membuat BRIN riskan menjadi alat politik.
Secara teoretis, apa yang dikhawatirkan Prof. Azra agaknya berkelindan dengan konsep relasi kuasa yang dikemukakan Michael Foucault, seorang filsuf pelopor strukturalisme asal Prancis.
Eksistensi Megawati dengan status sosio politik dan kuasa yang dimilikinya dikhawatirkan membuat BRIN tidak lagi independen dan kredibel, melainkan berorientasi pada kepentingan politik tertentu yang cenderung pragmatis.
Inisiasi wacana relokasi Polri ke Kemendagri oleh aktor yang datang dengan membawa predikat BRIN tak menutup kemungkinan untuk dipandang sebagai langkah yang dipengaruhi oleh tendensi politik tertentu.
Terlebih, dalam beberapa waktu ke belakang, Megawati seolah sedang kurang begitu senang dengan Polri saat berulang kali menyentil penegakan hukum di Indonesia.
Utamanya, terkait kasus yang diduga melibatkan Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto dan bermuara pada gestur arogan dan seakan bisa mengintervensi hukum dengan “menantang” Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Bagaimanapun, wacana meletakkan Polri di bawah komando Kemendagri merupakan isu yang kompleks dan multidimensional, yang tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan budaya Indonesia.
Dengan demikian, diperlukan pendekatan yang holistik dan objektif dalam menilai wacana relokasi Polri ke Kemendagri, dengan mempertimbangkan semua aspek yang relevan, termasuk efisiensi, efektivitas, dan independensi institusi terkait. (J61)