Site icon PinterPolitik.com

Politisasi Usang Isu Banjir

Sibuk saling tuding dan nyinyir, membuat kita jadi lupa kalau ada yang lebih penting ketika berhadapan dengan banjir, yakni pencegahannya.


PinterPolitik.com 

[dropcap]D[/dropcap]alam kalender cuaca, Indonesia sudah resmi memasuki musim penghujan. Ini dibuktikan dari sering munculnya warna langit kelabu, halilintar di kejauhan, hujan yang turun tanpa peringatan, serta flu dan masuk angin kemudian. Tapi dari itu semua, banjir adalah perkara yang paling membuat warga Jakarta dan sekitarnya was-was sekaligus kesal.

Siapa yang tak kesal dan was-was jika tiap tahun harus menyaksikan rumah dimasuki air? Terjebak macet berjam-jam di jalan karena banjir? Atau rusaknya kendaraan pribadi karena mesin dimasuki air? Jika hal tersebut ditasbihkan sebagai tradisi, alih-alih kesalahan sistem pengelolaan kota dalam menghalau banjir, tentu ada yang kurang beres pada kita.

Di sisi lain, rasanya sulit pula membangun kepercayaan pada pemimpin, yakni Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno, karena mengeluarkan komentar jika hujan deras yang mengguyur ibukota selama hampir dua jam itu harus dilihat sisi positifnya. “Allah lagi ngirimin hujan. Kalau kita punya sistem yang baik, hujan justru harus menjadi berkah bagi kita.”

Tidaklah aneh, bahkan wajar, jika warga langganan banjir, bertambah was-was, kesal, dan makin tak percaya pada pemerintah, kalau mendengar respon Sandiaga Uno tersebut. Namun begitu, menyindir, dan menuding Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta saat ini, sebagai penyebab banjir, tidaklah produktif. Begitu pula membandingkannya dengan Ahok atau Jokowi, yang sebelumnya juga duduk sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Tentu upaya melakukan perbandingan tak salah dilakukan sebagai cara untuk memperbaiki, menambah, dan mengukur efektifitas sebuah kebijakan. Tetapi yang terjadi pada sebagian besar netizen, beberapa kelompok masyarakat, dan bahkan politisi, isu banjir malah semakin mengaburkan dan menjauhkan kita dari pentingnya kesadaran penyebab banjir dan penanganannya.

Politisasi Banjir, Pencitraan, dan Salah Fokus

Sejak masa Pilkada DKI Jakarta, isu banjir memang sudah dipakai beberapa kelompok untuk mendompleng citranya. Sebagai contohnya di awal tahun 2017 ini saja, banjir besar terjadi di beberapa titik di Jabodetabek, hingga membuat ratusan orang di Kelurahan Cipinang Melayu, Jakarta Timur, menjadi pengungsi berhari-hari. Bahkan seorang remaja dilaporkan tewas terseret arus di Kecamatan Jatiasih, Bekasi.

Tapi memang dasarnya orang-orang tak sensitif, di tengah bencana, duka, dan penderitaan itu, beberapa pihak justru terlibat perang di media sosial atau berlomba tampil menunjukan siapa yang paling peduli. Hal tersebut mencuat setelah beredar foto Anies Baswedan saat mengunjungi lokasi banjir di media sosial, yang dianggap sebagai bagian dari kampanye melawan Ahok.

sumber: BBC Indonesia

Pendukung Ahok saat itu juga lebih dulu memainkan momentum hujan, bahkan saat banjir belum melanda. Beberapa tokoh selebriti dan aktivis, yang juga pendukung Ahok, seperti sutradara Joko Anwar, Sarah Sechan, hingga Fadjroel Rahman, sama-sama mengeluarkan cuitan bernada serupa, yakni mempertanyakan bahwa banjir tak terjadi walau hujan deras beberapa hari. Cuitan mereka seolah-olah diarahkan untuk membentuk citra Ahok dalam mengelola banjir.

sumber: istimewa

Lebih jauh lagi, ‘perang’ antar keduanya berlanjut saat tim Anies mendirikan posko-posko bantuan dan kesehatan di beberapa titik di Jakarta guna membantu korban banjir. Akun pendukung Ahok, yakni @temanAhok, mengeluarkan cuitan yang berkata jika perbuatan tersebut dangkal. “Kalau peduli banjir itu cuma sekedar bikin2 posko nyalurin bantuan itu cetek banget sob. Support mereka yg berjuang bikin banjir surut.”

Kini, saat Pilkada DKI Jakarta usai, sisa-sisa politisasi banjir masih terus terjadi. Beberapa kelompok masyarakat kembali melakukan aksi saling sindir dan nyinyir. Pihak yang mendukung Anies berkata jika wajar Gubernur DKI Jakarta baru ini kewalahan menghadapi banjir, sebab baru dua bulan mereka bertugas. Di tempat lain, kelompok yang bukan pendukung Anies, melancarkan meme guna menyindir Anies.

Menilik fenomena tersebut, pakar komunikasi politik dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Gun Gun Heryanto, berkata bahwa banjir memang menyediakan publisitas gratis atau free ride publicity. “Di Jakarta, banjir memang telah lama jadi komoditas politik. Seperti yang terjadi di (Pilkada) 2012 juga,” jelasnya.

Dalam pandangannya, baik pendukung Ahok dan Anies, masih sama-sama bermain di permukaan konteks penyelesaian banjir. Padahal banjir bukanlah persoalan sederhana. “Ini adalah mata rantai yang menyangkut peraturan ruang dan variabel lain. Siapa pun yang menjadi gubernur akan menghadapi hal yang sama,” kata Gun Gun.

Apa yang dikatakan Gun Gun, tak asbun sama sekali. Mengatasi banjir memang bukanlah persoalan mudah. Banjir ada tiap tahun dan pada masa kepemimpinan siapapun. Bahkan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, pernyataan Gun Gun seakan divalidasi bahwa banjir sebetulnya sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda (VOC).

Sutopo menambahkan jika ancaman banjir makin meningkat seiring landuse change atau perubahan kegunaan lahan di daerah Jabodetabek. Sejak tahun 1972 hingga 2014, kawasan hijau pepohonan makin berkurang digantikan dengan kawasan terbangun. Hal ini tentu akan menyulitkan siapapun yang menjadi Gubernur DKI Jakarta sulit menuntaskan banjir sebab lahan serapan makin berkurang.

Dengan demikian, banjir di Jakarta tak hanya terjadi pada pemerintahan Ahok atau Anies saja. Tetapi ia sudah berlangsung jauh sebelumnya. Sebagai tambahan, sejak masa pemerintahan Foke di tahun 2012, Jokowi, lalu Ahok, Djarot, dan Anies, banjir tak pernah absen. Di masa pemerintahan Ahok, misalnya, banjir bahkan pernah merendam Istana Negara dan juga Balai Kota.

Ruang resapan yang terus berkurang, masalah pada mitigasi bencana banjir Jakarta, rendahnya tanah Jakarta adalah beberapa elemen penyebab banjir perlu mendapat fokus dan perhatian. Bukannya tokoh gubernur tertentu semata. Jika masih memandang demikian, tak usah heran atau bertanya-tanya kenapa Jakarta tiap tahunnya tak pernah lolos dari terjangan banjir.

Jakarta Akan Selalu Banjir?

Jika ingin bercermin, keadaan tanah Jakarta sebetulnya hampir mirip bila dibandingkan dengan tanah Belanda. Belanda punya nama asli Koninkrijk der Nederlande yang artinya negeri berdaratan rendah. Sekitar 60 persen tanah Belanda, memang terletak di bawah permukaan laut.

Kondisi ini akhirnya menyebabkan aliran air yang lambat, sebab ditambah pula dari tanah Belanda yang datar. Hingga akhirnya bencana banjir akibat hujan lebat menyerang negeri tersebut. Namun pada tahun 1920, pemerintah Belanda sigap dan mulai membangun bendungan yang dinamakan Afsluitdijk.

sumber: Tirto

Tak hanya bendungan, pemerintah Belanda juga membangun sungai dan kanal buatan. Hal tersebut sengaja dibangun untuk memudahkan hubungan dari satu sungai ke sungai lainnya melalui kota-kota tertentu. ini pula yang menjadi sumber ekonomi baru bagi warga Belanda. Dari pembangunan itu pula, Belanda berhasil menghalau banjir besar sejak lama.

Pemerintah Belanda memang sangat serius mengatasi ancaman banjir dan gelombang laut. Bagaimana tak serius? Pemerintah Belanda konsisten menggelontorkan dana sebanyak $2,8 miliar untuk inovasi pencegahan banjir dan pengelolaan air di Belanda. Alih-alih memerangi air, Belanda memanfaatkannya untuk membangun negaranya dengan membangun sungai, bendungan, dam, kanal, dan tanggul untuk 4 juta penduduknya.

Nah, kota Jakarta, yang notabene sama seperti Belanda yang berada di bawah permukaan laut, mau tak mau harus agresif seperti Belanda untuk bisa lepas dari banjir. Tentunya, selain adanya kekuatan aliran dana yang besar jumlahnya, komitmen kuat baik dari pemerintah DKI Jakarta serta dukungan dari masyarakat dan netizen sangat dibutuhkan juga.

Nah, sekarang apa masih mau saling sindir dan nyinyir soal banjir lagi? Berikan pendapatmu. (Berbagai Sumber/A27)

Exit mobile version