Site icon PinterPolitik.com

Politik ‘Tengah Absolut’ Zulkifli Hasan

Memasuki tahun politik 2018 dan 2019, PAN masih kukuh dalam posisi politik ‘tengah absolut’.


PinterPolitik.com

Apa yang harus kamu lakukan kalau teman mainmu di kelas ingin mengusung diri menjadi calon ketua kelas? Kamu tentu saja harus mendukung keinginannya dan ikut dalam barisan suporternya.

Tapi, tidak begitu dengan Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN. Menyusul semakin hangatnya pembicaraan tentang deklarasi Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres) pada Februari 2018 ini, PAN tidak bergeming. PAN masih berada dalam gerbong partai pendukung pemerintah.

“Masih belum, saya kan pendukung Pak Jokowi. Bagi kita apa yang dirasakan rakyat, itu kita perjuangkan. Itu kerja, kerja, kerja,” ujar Zulkifli, kemarin (31/1), menegaskan bahwa dirinya belum membicarakan pen-capres-an Prabowo dan masih setia dengan Jokowi.

Padahal, kemesraan PAN dengan kubu Gerindra dan PKS semakin terlihat belakangan ini, terutama menjelang Pilkada serentak 2018. Hal ini terlihat misalnya ketika Zulkifli Hasan turut menghadiri rapat bersama Prabowo Subianto dan Sohibul Iman di DPP PKS, Desember lalu. Buntut dari rapat ini, ‘Koalisi Trisula’ yang terdiri dari Gerindra-PKS-PAN terbentuk dan bersama-sama mengusung lima pasang cagub-cawagub di lima daerah dalam Pilkada 2018.

Di samping Pilkada 2018, koalisi ini juga ‘berjanji’ akan menyongsong Pemilu 2019 bersama-sama. Calon dari koalisi ini, yang sudah hampir pasti, tentu saja Prabowo Subianto. Zulkifli pun masuk dalam nama-nama bakal calon pendamping Prabowo yang sempat dipertimbangkan oleh Gerindra.

Karenanya, PAN tentu saat ini sedang bimbang. Ingin setia dengan pemerintahan Jokowi sebagai koalisinya di pusat, atau beralih dengan mendukung Prabowo sebagai koalisinya di Pilkada.

Bagaimana PAN menghadapi dua poros ini? Bagaimana Zulkifli membawa PAN menjadi ‘partai tengah’?

Ambisi ‘Tengah’ Zulkifli dan PAN

Zulkifli Hasan sukses menjabat sebagai Ketua MPR setelah memenangkan voting dari seluruh fraksi anggota DPR dan DPD RI. Menurut politisi PAN Drajad Wibowo, keterpilihan Zulkifli tak terlepas dari sosoknya yang memiliki akseptabilitas yang baik di semua kalangan dan dapat menengahi polarisasi politik pasca-Pemilu.

Anggapan ini kemudian dibuktikan oleh Zulkifli. Ia menjadi aktor politik yang berperan penting dalam menengahi panas-panasnya perseteruan antar koalisi pasca-Pemilu 2014.

Saat itu, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memang belum selesai berseteru sampai beberapa pekan setelah Pemilu selesai. Perseteruan tak hanya terjadi dengan saling klaim kemenangan Pemilu, tapi juga berlanjut sampai proses pemilihan jajaran pimpinan DPR.

KMP saat itu terlebih dahulu mengajukan jajaran pimpinan DPR dengan politisi Golkar Setya Novanto sebagai ketuanya. KIH pimpinan PDIP yang tidak terima atas jajaran tersebut—dengan alasan PDIP adalah pemenang Pemilu—lalu mengusulkan jajaran pimpinan DPR versi mereka, dengan politisi PKB Ida Fauziah sebagai ketuanya. DPR terpecah menjadi dua kubu kepemimpinan akibat konflik ini.

Zulkifli menjadi salah satu aktor penting yang melobi kubu KIH untuk mengakhiri konflik. Lobi dilakukan dengan pertemuan-pertemuan yang dilakukan secara rutin antara pihak KIH dan KMP. PAN menjadi partai yang terus mengusahakan konsolidasi, misalnya saat menggelar pertemuan di rumah Hatta Rajasa dan Zulkifli Hasan sendiri.

Lobi selama dua minggu berjalan efektif, dan akhirnya dualisme di DPR berhasil diselesaikan di awal November 2014. Revisi UU MD3 kemudian berhasil disahkan pada Desember 2014, melegitimasi penuh kepemimpinan DPR dari kelompok KMP.

Zulkifli Hasan sukses melobi Megawati untuk ‘menyerahkan kursi pimpinan DPR

Pada 1 Maret 2015, Zulkifli Hasan kemudian terpilih menjadi Ketua Umum PAN menggantikan Hatta Rajasa. Kekuasaannya di PAN kemudian digunakan untuk ‘menyelesaikan’ sisa-sisa perseteruan KIH-KMP. Zulkifli mengundang kedua kubu dalam Rapat Besar PAN pertama sejak dipimpinnya. Zulkifli juga mengundang kedua kubu kembali ke kediamannya, untuk berbuka puasa bersama di bulan Ramadhan 2015. Pada saat itu, PAN masih berada dalam koalisi Gerindra.

Sampai pada September 2015, PAN pimpinan Zulkifli kemudian masuk ke gerbong partai pendukung pemerintah. Dalam jumpa pers bersama Presiden Jokowi dan jajaran pimpinan partai pendukung pemerintah, Zulkifli menyampaikan masuknya PAN ke koalisi pemerintah. Ia mengaku tidak ada permintaan dari partainya untuk masuk ke kabinet dan sebagainya.

Masuknya PAN ke partai pendukung pemerintah memang tidak dibarengi dengan masuknya PAN ke dalam kabinet Jokowi—seperti mekanisme pada umumnya. Asman Abnur dari PAN baru menjabat sebagai Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada 2016.

PAN kemudian secara formal menjadi partai pemerintah. Namun, seperti yang telah diketahui, beberapa sikap PAN cenderung melawan sikap pemerintah, antara lain dalam pengesahan UU Pemilu dan UU Ormas. PAN terkadang masih ‘mesra’ dengan Gerindra-PKS.

PAN di bawah Zulkifli jelas dibawa menjadi partai ‘tengah’. Tidak mau beroposisi, tapi setengah hati mendukung pemerintah Jokowi.

Permainan ‘tengah’ Zulkifli lalu berujung ambisinya menyongsong Pemilu 2019. Ada dorongan dari organisasi-organisasi sayap PAN untuk mendukung Zulkifli bukan hanya menjadi cawapres, bahkan juga menjadi capres di 2019.

Lalu, ke kubu mana PAN dan Zulkifli akan berlabuh?

SBY, Soetrisno Bachir, sampai Amien Rais

“Men are political animals.”

-Aristoteles-

Manusia adalah binatang politik, demikian kata Aristoteles. Begitu pula dengan Zulkifli Hasan, yang sebenarnya adalah ‘binatang politik’ dari ‘peternak politik’ yang mengangkatnya ke jabatan-jabatannya saat ini. Dan tak terlepas dari ‘ambisi binatang’-nya untuk menjadi capres, kita harus melihat siapa ‘peternak’ yang mampu mengangkat karir politiknya.

‘Peternak politik’ atau political entrepreneur di belakang Zulkifli sebenarnya adalah orang yang memang ‘netral’ di tengah dua kutub politik saat ini. Siapakah dia?

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), disebut-sebut sebagai sosok yang mendorong Zulkifli untuk dicalonkan dalam pemilihan Ketua MPR. Tak hanya itu, fraksi Demokrat di DPR juga yang paling aktif melobi fraksi-fraksi lain untuk memilih Zulkifli.

Seperti diketahui, Zulkifli sendiri memang dekat dengan SBY karena pernah menjabat sebagai Menteri Kehutanan di periode kedua saat SBY berkuasa.

Selain itu, SBY juga memiliki kedekatan dengan PAN dalam dua periode kepresidenannya. Di periode pertama, Ketua Umum PAN dijabat oleh Soetrisno Bachir. Kemudian, pada periode kedua kepresidenannya, Ketua Umum PAN dijabat oleh Hatta Rajasa. Hubungan SBY dengan Hatta bahkan lebih dekat lagi, karena keduanya adalah besan.

Saat ini, Soetrisno Bachir yang menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Partai, memiliki posisi politik yang sama dengan Zulkifli. Soetrisno juga adalah pendukung Jokowi. Oleh Jokowi, Soetrisno ditempatkan di kursi Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN).

Sementara, di kutub berlawanan dengan Soetrisno, ada Amien Rais. Amien yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Partai—secara struktur berada di atas Soetrisno—sebenarnya adalah sosok yang mendorong keterpilihan Zulkifli menjadi ketum pada 2015. Namun, Amien sendiri masih menjadi oposisi Jokowi sejak 2014 dan setia di pihak Prabowo.

Hal ini menjadi keunikan dan kerancuan tersendiri, karena Amien membawa Zulkifli yang melabuhkan PAN di kubu Jokowi, sementara Amien sendiri masih di kubu Prabowo. Apakah Zulkifli adalah sosok yang mbalelo dari keinginan Amien sebagai pengusungnya? Ataukah memang ini strategi politik mereka untuk memecah dukungan?

Bisa jadi posisi PAN yang abu-abu memang sudah didesain dengan kehadiran berbagai pihak lintas faksi dalam kepemimpinan Zulkifli, mulai dari Soetrisno (kubu Jokowi), Amien (kubu Prabowo), serta SBY sebagai poros tengah.

Ataukah mungkin sebenarnya PAN masih sejalan dengan Demokrat, dan akan ikut dengan keputusan Demokrat? Apakah sebenarnya kedua partai ini sama-sama poros tengah, namun dengan Demokrat yang ‘benar-benar tak berkoalisi’, sementara PAN menjadi ‘koalisi pemerintah setengah hati’? Tidak ada yang bisa memastikan.

Yang hampir pasti, keberadaan orang-orang ini semakin menegaskan posisi ‘tengah absolut’ Zulkifli, yang berarti dia bisa saja menjadi ‘cawapres semua orang’. Dan ini juga berarti sebaliknya, bahwa mungkin dia tidak akan pernah menjadi cawapres siapapun, apalagi capres. (R17)

Exit mobile version