Narasi politik dewasa ini hanya mengumbar kemuakkan, politik santun pada akhirnya hanya sebuah ujaran-ujaran membosankan.
Pinterpolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]egaduhan politik melanda berbagai dunia dalam beberapa tahun ini. Kegaduhan ini tidak jarang memberikan rasa jengah karena seringkali para pihak yang berkepentingan menebar rasa benci terhadap lawan politiknya.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) berharap agar masyarakat menjaga pesta demokrasi menjadi momentum untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas.
Karenanya, Jokowi menolak Pemilu yang diwarnai dengan saling menjelek-jelekkan dan saling menebarkan fitnah. Selain merusak demokrasi, praktik-praktik itu juga dinilai tidak sesuai dengan etika publik.
Apakah politik santun masih berlaku dalam era post-truth seperti sekarang ini? Share on XMeski demikian, para kandidat yang bertarung dalam Pemilu tentu memiliki gaya komunikasi yang berbeda untuk meraih simpati masyarakat. Sekalipun Jokowi berujar tentang kampanye damai, namun tidak menutup kemungkinan muncul kampanye-kampanye dengan bahasa komunikasi yang cenderung kasar.
Kondisi seperti ini juga terjadi di berbagai negara, salah satunya di Amerika Serikat (AS). Di negara tersebut, Presiden Donald Trump berjaya meski caranya meraih kekuasaan dipenuhi dengan nada-nada kekasaran. Ia bisa membuktikan bahwa orang seperti dirinya bisa terpilih sebagai orang nomor satu di Negeri Paman Sam.
Relasi antara bahasa dengan kekuasaan memang menarik untuk dibicarakan. Jika dahulu masyarakat cenderung lebih senang dengan gaya komunikasi yang santun dengan mendekatkan secara personal kepada konstituen, namun ternyata saat ini kondisi seperti itu tidak bisa menjadi syarat mutlak bagi keterpilihan seseorang.
Lantas apakah gaya politik santun sudah tidak lagi menjadi katalis penting bagi publik untuk menentukan pilihannya?
Entitas Politik Santun
Entah mengapa, dalam setiap perhelatan politik, kampanye damai selalu menjadi persetujuan bersama bagi semua pihak, baik dari para kandidat, penyelenggara hingga masyarakat luas. Di Indonesia sendiri hal itu diteguhkan dengan deklarasi damai. Namun pada praktiknya kondisi tersebut sering diselewengkan.
Political politeness atau politik santun adalah cara yang digunakan untuk mendeskripsikan bahasa, aturan, atau tindakan yang dimaksudkan untuk menghindari sakit hati atau kerugian kepada anggota kelompok tertentu dalam masyarakat.
Kamus Oxford mendefinisikannya sebagai penghindaran bentuk ekspresi atau perilaku yang dipersepsikan untuk mengecualikan, memarjinalisasi, atau menghina kelompok masyarakat yang secara sosial dirugikan atau terdiskriminasi.
Untuk melakukan politik santun ini, biasanya tokoh politik menggunakan eufemisme atau ungkapan yang tidak menyinggung perasaan atau ungkapan halus untuk menggantikan kata-kata yang dirasakan menghina atau tidak menyenangkan. Intinya, mempergunakan kata-kata dengan arti baik.
Tokoh-tokoh publik yang biasa menggunakan politik santun di antaranya adalah Jokowi, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingga Barrack Obama. Ketiga sosok tersebut meraih kekuasaan dalam ukuran tertentu karena personanya yang santun ketika tampil di depan publik.
SBY meriah dua kali kursi kepresidenan dengan memanfaatkan retorika politiknya. Hal itu juga dia lakukan ketika menjelaskan kondisi pemerintahannya selama menjabat. SBY tipe jenderal yang lembut dalam bertutur.
Sementara Jokowi, memenangkan kontestasi Pilpres pada 2014 juga tidak jauh dari sosoknya yang tampil santun. Selain itu, sosok lawan Jokowi yaitu Prabowo dikesankan dengan sosok yang lebih kasar dan keras. Ada asumsi yang menyebut bahwa hal itu berpengaruh kepada preferensi masyarakat untuk memilih Jokowi.
Sementara Obama, melalui pidato-pidatonya yang indah kerap membuai publik AS, bahkan pidato perpisahannya pada 2016 diyakini adalah salah satu pidato terbaik sepanjang sejarah negara tersebut.
Lantas kenapa orang cenderung suka dengan pemimpin yang mempraktikkan politik santun? Dalam buku Politeness: Some Universals in Language Usage Penelope Brown dan Stephen Levinson mengemukakan sebuah strategi kesantunan yang dikenal dengan “penyelamatan muka” (face-saving), yaitu aktivitas tindak tutur sebagai sebuah kegiatan rasional yang mengandung maksud dan sifat tertentu sebagai manifestasi penghargaan atau penghormatan terhadap individu anggota masyarakat.
Kesopanan positif merupakan pendekatan yang menorehkan kesan pada muka lawan berbicara (konstituen) bahwa pada hal-hal tertentu, penutur juga mempunyai keinginan yang sama dengan mereka. Hal ini bisa memberikan rasa simpati mendalam dari publik. Hal ini juga seperti yang ditulis dalam serial The Book of Life, bahwa politik santun ini bisa secara langsung menyasar pada sisi sensitivitas seseorang dan menimbulkan rasa simpati.
Meski keterpilihan seseorang tidak ditentukan secara tunggal oleh gaya komunikasi, namun komunikasi adalah bentuk esensial bagi seseorang untuk membentuk persepsi publik. Politik kesantunan mengurangi pertentangan dengan konstituen dan memiliki relasi positif dengan rasa ketertarikan, persetujuan dan simpati mereka.
Dalam konteks Indonesia, politik santun masih menjadi pertimbangan penting masyarakat dalam menentukan pilihan. Setidaknya itu terjadi pada Pilpres 2014. Saat itu Jokowi diuntungkan dengan strategi politik santun sehingga bisa menggaet masyarakat.
Hal itu pun masih digunakan oleh Jokowi pada Pilpres kali ini. Ini bisa dilihat ketika dirinya memberikan pidato saat Rakernas Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) yang menyebutkan bahwa tak masalah memilih pemimpin siapa saja, yang penting memilih atas dasar ide, gagasan serta prestasi apa yang dimiliki.
Cara seperti ini disebut sebagai cara politik santun karena Jokowi tidak mengeluarkan narasi yang menyerang lawan secara vulgar, namun lebih memberikan kebebasan publik untuk memilih.
Lawannya: Kekasaran
Sementara kelompok Machiavellian tidak menganggap moral sebagai bagian yang intrinsik dalam berpolitik. Kelompok ini akan cenderung menggunakan berbagai cara untuk mencapai tujuan politiknya, termasuk dengan bertutur kasar.
Dalam sebuah komunikasi politik, ada yang dikenal dengan istilah bentuk ungkapan atau sindiran dengan kasar, yang biasanya berbentuk sarkasme.
Sarkasme adalah pengucapan yang dilakukan secara amat kasar yang diduga akan menyakiti hati orang lain yang biasanya ditandai dengan pengucapan kata-kata yang pahit dan kasar. Penggunaan kata-kata ini untuk mengejek, cemooh atau menyindir yang diduga akan menyakiti hati orang lain dan hal ini melanggar kesantunan dalam berbahasa.
Sarkasme bisa menimbulkan efek emosi tertentu, misalnya terhina, sakit hati, tidak enak, marah, dan lain-lain. Selain melanggar kesantunan berbahasa, sarkasme dapat terjadi karena pilihan kata atau diksi yang sangat kasar, juga karena dapat mengancam muka atau membuat malu mitra tuturnya.
Bentuk komunikasi seperti ini juga banyak digunakan oleh pemimpin-pemimpin di dunia dalam beberapa tahun belakangan ini, berbarengan dengan merebaknya istilah populisme. Beberapa di antaranya adalah Donald Trump di AS, Rodrigo Duterte di Filipina, hingga Jair Bolsonaro di Brasil.
Trump adalah presiden terpilih AS pada 2016. Saat melakukan kampanye, ia merasa tidak perlu bersantun-santun ria dalam gaya komunikasi politiknya. Justru inilah yang membuatnya disanjung para pengikutnya karena Trump dianggap tidak takut mengatakan apa pun yang dipikirkan. Dia mengeluarkan isi kepalanya secara jelas seolah tanpa ada yang disembunyikan.
Hal serupa juga dilakukan oleh pemimpin Filipina, Duterte. Duterte terkenal karena ucapannya yang blak-blakkan khususnya ketika keseriusannya untuk memerangi narkoba. Duterte tidak segan-segan menggunakan senjata, dan terbukti hal itu sudah ia lakukan. Ia juga cukup keras ketika mengkritik otoritas Gereja Katolik di Filipina.
Selanjutnya ada tokoh politik dari Brazil, yang belum lama ini memenangkan ronde pertama Pilpres di sana, Jair Bolsonaro. Bolsanora adalah tokoh populis Brasil yang menggabungkan janji langkah-langkah kesederhanaan dengan prediksi kekerasan. Kampanyenya adalah campuran rasisme, misogini atau kebencian terhadap wanita, serta posisi hukum dan ketertiban yang ekstrem.
Tampilnya Rodrigo Duterte, Jair Bolsonaro, hingga Donald Trump mengafirmasi bahwa kelompok “kanan” ini bisa menggunakan retorika kasarnya untuk menarik simpati publik.
Ketiganya memiliki kesamaan dan mendapatkan julukan yang berbeda dari para pendukungnya, misalnya “The Great Negotiator”, “The Punisher”, dan “The Myth”.
Mereka sama-sama menggunakan bahasa yang vulgar dan merepresentasikan kepribadian yang otentik. Bagi para pendukungnya mereka adalah tokoh yang to the point dengan gaya alamiah, di mana mereka tidak peduli dengan politik kesantunan.
Kalau di Amrik ada Donald trump, di Filipina ada Rodrigo Duterte, di Indonesia ada Sandi Prabowo.
— WARGA BIASA (@pluitdalam) August 15, 2018
Dengan trend seperti itu di dunia, tidak menutup kemungkinan hal itu terjadi di Pilpres 2019 nanti di Indonesia. Kita tahu bahwa Prabowo adalah figur yang keras dan sering mengkritik pemerintah dengan nada vulgar.
Ia sering menggunakan narasi “selamatkan bangsa”, “nasionalisasi”, hingga “kebocoran finansial”. Narasi ketakutan seperti ini adalah gaya komunikasi politik Prabowo yang ia mainkan kali ini.
Jika melihat konteks masyarakat Indonesia saat ini dengan kondisi ekonomi yang kurang baik, maka tidak menutup kemungkinan Prabowo dapat memikat kelompok masyarakat yang takut terhadap persoalan masa depan.
Pemilih konservatif biasanya akan lebih mudah menerima narasi-narasi yang mengancam basic needs mereka. Karena dalam kondisi seperti itu, secara psikologis, otak (amygdala) mereka akan menerima respons dan memilih berita atau narasi yang bisa membuatnya aman.
Politik Kesantunan Masih Berlaku?
Bahasa bukan sekedar alat untuk berkomunikasi, tapi dapat pula dimanipulasi sedemikian rupa untuk memaksimalkan kepentingan para aktor politik.
Dengan terbelahnya gaya komunikasi politik yang sudah dijelaskan sebelumnya, nampak jargon-jargon tentang politik damai sudah menjadi tidak begitu penting dan hanya menjadi hitam di atas putih.
Diskursus yang menyejukkan mulai bergeser dengan narasi-narasi yang memuakkan. Bahasa untuk melancarkan propaganda dan perang wacana yang sarat kebencian, pembunuhan karakter, dan penelanjangan kejelekan orang lain akan semakin dimaklumi oleh publik. Hal ini tentu bisa dikatakan sebagai satu bagian dari mundurnya demokrasi.
Tetangga Adalah Saudara Dekat dari Ayah & Ibu yang Berbeda"Mungkin Adagium iti tidak berlebihan.
Sebab ketika kita ditimpa musibah,merekalah org pertama yg kerap membantu.
Mohon kepada para elit politik memberikan contoh kepada kami dengan perkataan yg santun hati yg jernih
— abah masur (@MasurAbah) October 10, 2018
Public sphere atau ruang publik sudah menjadi fear factory. Publik ditakut-takuti dengan wacana meresahkan seolah hidup akan menjadi lebih menderita.
Dengan terpilihnya orang-orang yang senang menggunakan perkataan kasar, sepertinya itu bisa membahayakan bagi iklim demokrasi sebab bagaimana pun penggunaan bahasa yang keras dan tidak santun oleh para elit politik dan pemegang kekuasaan merupakan salah satu faktor masyarakat menganut budaya kekerasan.
Namun, politik yang santun juga berbahaya jika menyimpan kepalsuan. Jika santun tetapi tak mampu memenuhi janji-janjinya, tentu akan berakibat buruk juga bagi masyarakat.
Lantas, penting untuk mempertanyakan kembali dalam-dalam, apakah politik santun masih berlaku dalam era post-truth seperti sekarang ini? (A37)