Site icon PinterPolitik.com

Politik ‘Numpang Popularitas Jokowi’

Di luar perkiraan, PDIP akhirnya mengusung Joko Widodo (Jokowi) kembali menjadi capres untuk Pemilu 2019.


PinterPolitik.com

Pencalonan sang kader PDIP ini disebut-sebut dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu sebelum Rakornas di Bali, yang berlangsung pada 22-23 Februari yang lalu. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kabarnya secara tiba-tiba mengumumkan pencalonan Jokowi ini.

Hal ini diakui sendiri oleh Jokowi, yang menyebut bahwa pencalonan dari PDIP tersebut adalah hak prerogatif Megawati dan tidak dirapatkan terlebih dahulu dengan kader partai yang lain. Jokowi juga memuji PDIP sebagai partai ideologis yang kuat yang mampu mendobrak kultur ketua umum menjadi calon presiden.

Disebut-sebut, pencalonan ini dilakukan PDIP agar Jokowi tidak terlalu merapat dengan partai-partai lain dan tetap setia kepada mereka. Sebelumnya, memang banyak selentingan yang beredar bahwa ada kerenggangan hubungan antara Jokowi dengan PDIPdan sang “petugas partai” ini mungkin akan ditinggalkan oleh PDIP pada Pemilu 2019.

Pengusungan ini pun dilakukan terbilang cepat, bila melihat tren yang dilakukan PDIP untuk menghadapi pemilihan umum. Selama ini, PDIP dikenal selalu memberi rekomendasi pencalonan di menit-menit akhir. Karenanya, pencalonan dini Jokowi ini sepertinya dilakukan dengan kalkulasi politik yang cepat dan cukup matang, yakni melalui pertemuan di Istana Batu Tulis antara Jokowi dan Mega beberapa waktu lalu.

Disinyalir, ada pilihan-pilihan politik yang dilakukan oleh PDIP dalam mengambil keputusan ini. Hal ini menyangkut beberapa isu nasional yang berkaitan dengan partai berlambang banteng tersebut. Tetap berada dekat dengan sang presiden, bisa jadi adalah strategi PDIP untuk terus mengamankan kekuasaan.

Di samping itu, sepertinya ada pula keterkaitan antara pencalonan Jokowi ini dengan kepentingan PDIP pada Pilkada 2018. Seperti yang diungkapkan Hasto Kristiyanto, pencapresan Jokowi adalah strategi PDIP yang sejalan dengan pemenangan di Pilkada.

Political Endorsement Jokowi di Pilkada

Kepentingan PDIP menggunakan Jokowi pada Pilkada memang cukup terlihat. Untuk memenangkan calon-calon yang bertarung di Pilkada, maka political endorsement atau dukungan politik dari Jokowi—sebagai seorang aktor politik yang populer—disebut-sebut sangat determinan.

Konsep political endorsement menjelaskan, bahwa pilihan-pilihan rasional seorang pemilih (voter) pun sebenarnya dipengaruhi oleh informasi-informasi dari orang-orang yang dikenal secara baik oleh publik, bukan informasi dari kandidat yang bertarung. Sebabnya, publik tidak akan mendapatkan informasi sepenuhnya dari kandidat yang asing bagi mereka.

Pun begitu pula alasan mengapa banyak partai yang menggunakan jasa selebriti sebagai juru kampanye, bahkan menarik selebriti-selebriti tersebut ke dalam partainya dan bertarung dalam Pemilu.

Jokowi pun disebut-sebut telah memberikan endorsement-nya kepada sejumlah calon. Banyak sinyal yang tercium ke publik, bahwa beberapa kandidat dalam Pilkada 2018 adalah “calonnya” Jokowi. Mereka antara lain Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi (Duo DM) di Jawa Barat (Jabar) serta Khofifah Indar Parawansa  dan Emil Dardak di Jawa Timur (Jatim). (Baca juga: Duel ‘Prajurit Jokowi di Pilkada)

Jokowi “mengusung” calon-calon ini agar pada saatnya nanti di 2019, mereka yang menang di daerah akan membantu meningkatkan angka keterpilihan Jokowi di daerah tersebut. Faktor ini yang secara tidak langsung membawa pengaruh Jokowi cukup besar dalam Pilkada 2018.

Jokowi disebut-sebut sudah mengendorse beberapa nama di daerah-daerah yang strategis, yang menariknya di antara nama-nama itu tidak ada calon PDIP di dalamnya. Secara kasat mata, PDIP memang selalu berseberangan di Pilkada dengan partai-partai pendukung Jokowi lainnya.

Misalnya, di Jabar Jokowi disinyalir menggunakan kendaraan Golkar dan Demokrat untuk mengusung Duo DM. Sementara itu, di menit akhir PDIP baru mengusung dua pasang jenderal TNI-Polri, yakni TB Hassanudin-Anton Charliyan. Hingga kini, pasangan yang diusung PDIP ini memiliki elektabilitas paling bontot, sangat kontras dengan “jagoan” Jokowi, Duo DM.

Maka, dari sudut pandang PDIP, dukungan dari Jokowi jelas amat diperlukan. Jokowi bisa menjadi sosok yang mendongkrak elektabilitas calon-calon “lemah” PDIP di daerah. Tak hanya di Jabar, tapi juga di daerah lain, misalnya Sumatera Utara di mana Djarot sedang tertatih-tatih mengejar elektabilitas Edy Rahmayadi.

Menyelamatkan Posisi Nasional

Spanduk Golkar yang mengambil political endorsement dari Jokowi

Political endorsement dari Jokowi begitu penting untuk Pilkada 2018 dan diperebutkan oleh banyak partai yang bertarung, demikian pun dengan PDIP.

Selain itu, hasil Pilkada 2018 akan mempengaruhi Pemilu 2019. Dengan mengimbangi partai-partai lain yang punya kekuatan di Pilkada, maka PDIP ingin Jokowi tidak melupakan mereka di koalisi nasional. Hal ini juga tentu saja menepis isu miring tentang “keretakan rumah tangga” di antara PDIP dengan Jokowi.

Lalu, apakah hanya masalah Pilkada dan isu-isu ketidakharmonisan koalisi saja yang ingin dikejar PDIP?

Sepertinya lebih dari itu, PDIP punya motif untuk melindungi diri dari beberapa kasus/isu miring tentang mereka, dengan menggunakan kekuatan Jokowi. Selentingan-selentingan isu yang beredar, misalnya tentang megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Novel Baswedan.

Kasus megakorupsi BLBI adalah kasus korupsi yang merugikan negara paling besar sepanjang sejarah, yang jika ditotal dengan dana penyehatan bank antara 1997-2004 jumlahnya mencapai 604,9 triliun rupiah. Megawati yang menjabat presiden saat itu, diduga melakukan malpraktik dengan menerbitkan aturan yang menyebabkan lahirnya Surat Keterangan Lunas (SKL). Walaupun demikian, ada argumen lain bahwa malpraktik sesungguhnya dilakukan Ketua MPR saat itu, Amien Rais. (Baca juga: Jegal Megawati di BLBI?)

Sementara itu, kasus Novel Baswedan yang baru-baru ini tengah hangat dibicarakan, pun diduga berkaitan dengan kepentingan PDIP. Teori-teori bertebaran tentang jenderal polisi (yang disebut oleh Novel), yang sesungguhnya adalah orang dekat Megawati dan bakal diusung jadi cawapres dari PDIP. Teori-teori ini belum bisa dibuktikan, tapi tak pernah juga bisa dibantah sampai sekarang.

Penolakan PDIP akan pembentukan TGPF Novel ini pun mengindikasikan ke arah sana. Melalui pernyataan kadernya Masinton Pasaribu, yang juga mencatut nama Jokowi, terpampang jelas bagaimana motif PDIP mendekatkan diri dengan Jokowi. PDIP “menyeret” Jokowi dalam kubangan lumpur kasus Novel Baswedan yang tidak ingin mereka sentuh.

Dengan cara-cara itu, PDIP ingin menyelamatkan posisi partai dari peta politik nasional. Mereka tidak ingin kehilangan suara dengan berbagai tuduhan kontroversial yang dialamatkan kepada mereka. PDIP seolah ingin berlindung di belakang popularitas Jokowi yang masih melekat citranya dengan mereka sejak 2014.

Begitu juga, mereka tidak ingin kehilangan posisi di tengah koalisi partai-partai politik nasional yang satu per satu mulai mencalonkan Jokowi terlebih dahulu. PDIP harus ikut arus dan kembali dalam perlombaan ini jika tidak ingin kalah di kemudian hari.

Secara strategi politik, sebenarnya langkah PDIP dan Megawati ini patut diacungi jempol. Mereka mendeklarasikan pencalonan Jokowi di awal masa kampanye juga ketika Gerindra tengah mendamba-dambakan pencalonan Prabowo yang sedang gundah gulana dan masih ragu apakah akannyapres atau tidak.

Sehingga tak hanya bermanfaat untuk Pilkada, pencalonan ini juga memaksa Gerindra untuk cepat-cepat mendeklarasikan Prabowo sebagai capres. Bila Prabowo belum siap saat ini, bukan tidak mungkin elektabilitas Jokowi semakin memuncak, dan dibarengi dengan elektabilitas PDIP yang akan ikut menumpang elektabilitas Jokowi.

Apakah PDIP benar-benar bisa mengamankan dirinya dengan manuver dadakan ini? (R17)

Exit mobile version