“TNI dalam posisi netral dalam politik praktis. Ini yang penting, Panglima TNI pasti berpolitik. Politiknya adalah politik negara bukan politik praktis,” – Panglima TNI Gatot Nurmantyo
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]ada upacara dan tabur bunga di atas KRI dr. Soeharso-990 beberapa waktu lalu, Panglima TNI Gatot Nurmantyo menegaskan bahwa sebagai Panglima ia pasti berpolitik. Ia menegaskan bahwa politiknya adalah politik negara. Hal ini ia tegaskan kembali pada peringatan HUT TNI ke-72. Pernyataan ini seolah dimaksudkan untuk menjawab tudingan bahwa dirinya kini tengah melakukan manuver politik praktis.
Kiprah Gatot belakangan ini dianggap mengarah pada politik praktis dengan tujuan pribadi. Beberapa kali ia menemui tokoh atau partai politik. Ia juga kerap melontarkan pernyataan kontroversial yang bertentangan dengan kebijakan negara secara keseluruhan. Gatot juga kerap menunjukkan sikap yang tidak koordinatif dengan pejabat lainnya.
Lalu apakah yang dimaksud dengan politik negara tersebut? Konsep ini menarik untuk diketahui lebih lanjut, apalagi jika mengingat beragam kiprah Gatot sebagai Panglima selama ini. Perlu dibuktikan apakah manuver yang dilakukan Gatot sejauh ini telah sesuai dengan politik negara yang ia sebutkan atau tidak.
Menyoal Politik Negara
Gagasan mengenai politik TNI adalah politik negara telah diungkapkan oleh para pendahulu bangsa ini. Jenderal Sudirman pernah berpesan tentang jati diri TNI. Ia menyatakan bahwa politik tentara politik negara, politik TNI adalah politik negara. TNI harus tunduk dan loyal kepada negara. Senada dengan hal itu, Presiden Soekarno juga mengingatkan bahwa angkatan perang tidak boleh ikut dalam urusan politik praktis.
Secara konsep, politik negara dapat diartikan sebagai garis politik yang ditetapkan dalam sistem ketatanegaraan untuk mencapai cita-cita nasional. Jika merujuk pada UU No.34 tahun 2004 tentang TNI, kebijakan politik negara tersebut sesuai dengan mekanisme ketatanegaraan dan mengacu pada nilai demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Secara spesifik jika merujuk pada pidato Gatot pada 5 Oktober lalu, politik negara TNI dirangkum dalam Sapta Marga dan sumpah prajurit. Jika kedua hal tersebut yang menjadi rujukan, maka pengabdian TNI yang paling utama adalah kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Undang-undang Dasar (UUD) 1945, dan juga Pancasila.
Sesuai dengan Sapta Marga dan sumpah prajurit, tindakan seorang prajurit dimaksudkan tidak lain untuk melindungi segenap rakyat Indonesia dan juga ditujukan untuk kepentingan rakyat. Selain itu, tentara juga harus selalu tunduk pada atasan. Dalam konteks ini kesetiaan Panglima TNI jatuh pada Presiden Republik Indonesia.
Sebagai perwujudan dari reformasi TNI yang direncanakan pasca runtuhnya Orde Baru, TNI harus tunduk pada tertib politik dan kedaulatan rakyat. TNI dalam hal ini harus mengikuti kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden yang telah mendapat persetujuan DPR. Pada tataran kebijakan, untuk mengerahkan dan menggunakan kekuatan militer maka Panglima TNI harus mendapat perintah Presiden terlebih dahulu.
Selain patuh pada perintah presiden, Panglima TNI juga harus banyak berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan. Dalam urusan kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan. Hal ini termasuk penganggaran dan rencana pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Meski tunduk dan patuh pada Presiden sebagai panglima tertinggi, hal ini tidak berarti TNI dan Panglima-nya dapat menjadi instrumen politik penguasa. Seorang presiden tidak sepantasnya menjadikan TNI sebagai basis politiknya. Dalam hal ini, interaksi antara penguasa dengan TNI harus steril dari urusan politik pribadi Presiden.
Jika dilihat pada UU No. 28 tahun 1999, bab II pasal 2, pada dasarnya Panglima beserta anggota TNI lainnya digolongkan sebagai penyelenggara negara. Maka segala tindak-tanduknya harus berlandaskan politik negara dan tidak patut memiliki ambisi politik pribadi. Sebagaimana abdi negara lainnya, Panglima TNI di masa dinasnya tidak boleh melakukan aktivitas politik yang bersifat pribadi seperti bergabung dengan partai politik atau maju dalam Pilkada.
Lalu apakah Panglima TNI tergolong penyelenggara politik dalam hal ini pembuat kebijakan? Di luar tugas keprajuritan, tidak ada peran seorang Panglima TNI sebagai penyelenggara politik. Pada dasarnya Panglima TNI tunduk pada supremasi sipil di bawah perintah presiden dan koordinasi Menteri Pertahanan. Sebagaimana disebut sebelumnya, mulai dari kebijakan penganggaran hingga keputusan pengerahan kekuatan militer semuanya bergantung pada keputusan pemerintahan sipil.
Politik Negara dan Manuver Gatot
Meski terlalu dini untuk mengatakan Gatot memiliki ambisi politik pribadi, ada indikasi manuver Gatot tidak sepenuhnya sesuai dengan politik negara. Beragam pernyataan dan tindakannya seolah menunjukkan ada pertentangan dengan mekanisme yang sesuai dengan politik negara.
Panglima TNI Gatot Nurmantyo: Buktikan bahwa Saya Berpolitik Praktis https://t.co/CWEQ4iUSEJ
— Kompas.com (@kompascom) October 6, 2017
Mekanisme kelembagaan dan sikap tunduk pada supremasi sipil tidak ditunjukkan pada manuver Gatot belakangan ini. Pernyataannya mengenai 5.000 pucuk senjata menunjukkan bahwa ada indikasi kurang koordinasi dalam sikapnya tersebut. Maka bisa saja apa yang ia ucapkan menjadi ungkapan pribadi dan tidak mendahulukan cita-cita nasional pada politik negara.
Informasi semacam itu adalah informasi yang bersifat rahasia. Idealnya, Gatot seharusnya menyampaikan informasi tersebut kepada presiden dan menghindari pernyataan kepada publik. Pernyataan tersebut menunjukkan ada alur koordinasi yang terputus antara Gatot dengan pemimpin sipilnya. Gatot memunculkan kesan tidak koordinatif dengan Menteri Pertahanan dan Menko Polhukam yang sepantasnya ia beritahu terlebih dahulu.
Kesan serupa juga terlihat dalam polemik penayangan film Pengkhianatan G30S PKI. Gatot menyebutkan bahwa kebijakan untuk memutar kembali film tersebut adalah atas perintahnya. Padahal penayangan film ini telah dihentikan oleh pemerintahan sebelumnya. Meski Presiden tidak menentang keputusan Gatot tersebut, langkah ini dapat menjadi penanda Gatot tidak sepenuhnya patuh pada politik negara. Ia bersikap independen menginstruksikan penayangan film yang sempat dihentikan penayangannya itu.
Pada kasus-kasus tersebut, politik negara yang menekankan supremasi sipil tidak terlihat. Gatot bersikap terlalu independen dan mengabaikan koordinasi dengan pejabat sipil lainnya. Idealnya seorang Panglima TNI tidak boleh bergerak atas inisiatifnya sendiri. Panglima TNI seharusnya bertindak sesuai dengan putusan pejabat yang dipilih secara demokratis.
Dalam beberapa kesempatan Gatot juga kerap memenuhi undangan pertemuan dengan berbagai tokoh politik. Gatot misalnya pernah mampir ke acara yang dihelat Partai Golkar dan PKS. Ia juga pernah mengadakan ulama dan santri. Terakhir ia juga memenuhi undangan silaturahmi dengan pengusaha.
Terlepas dari hal-hal tersebut, terlalu dini untuk menghakimi bahwa Gatot melakukan aktivitas politik praktis yang bersifat pribadi. Secara tekstual, tidak ada larangan seorang Panglima TNI untuk bertemu siapapun termasuk tokoh-tokoh partai politik. Tentu hal ini dapat meningkatkan citra dan popularitasnya, tetapi di atas kertas selama tidak bergabung dengan parpol dan ikut dalam suatu pemilihan, maka Gatot tidak melanggar apapun.
Meskipun demikian Gatot seharusnya berhati-hati. Sebagai Panglima ia seharusnya tidak memberikan pernyataan dan sikap yang tidak sesuai dengan tugas pokoknya. Saat bertemu tokoh partai politik dan ormas Islam misalnya, Gatot perlu membuktikan bahwa aktivitas tersebut murni sebagai upaya TNI merangkul masyarakat. Ia perlu menunjukkan bahwa ia tidak tengah mengonsolidasikan kekuatan politik untuk ambisi pribadinya. Ia juga harus menghindari langkah seperti memuji suatu partai politik dengan nada yang tendensius. (H33/Berbagai sumber)