Sebuah publikasi yang ditulis Pangdam III/Siliwangi Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo di Kompas cukup mengejutkan karena seolah menggambarkan kegelisahan terhadap atmosfer politik Indonesia. Kunto menyebut TNI bisa sedikit maju memposisikan diri jika kondisi tertentu terjadi. Lantas, apakah hal itu benar-benar menggambarkan keresahan para prajurit ketika dihadapkan dalam kondisi berbangsa dan bernegara saat ini?
Mengejutkan. Kiranya itu impresi yang eksis saat melihat publikasi Pangdam III/Siliwangi Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo yang menyinggung probabilitas TNI untuk sedikit maju mengambil posisi – demi pertahanan dan keamanan Indonesia – setelah menyoroti kondisi mengkhawatirkan perpolitikan tanah air.
Itu diungkapkan Mayjen Kunto dalam sebuah kolom tulisan berjudul Etika Menuju 2024 yang dipublikasikan Kompas.com pada 10 April 2023 lalu.
Memang, belum ada konfirmasi apakah tulisan tersebut merupakan sikap pribadi, dalam tupoksinya sebagai Pangdam, atau – meski kecil kemungkinan untuk diungkap secara eksplisit – mewakili suara hati angkatan bersenjata.
Akan tetapi, jika menghayati isi publikasi itu, Mayjen Kunto tampaknya berusaha mengungkapkan kegelisahan atas maraknya provokasi tak bertanggung jawab dalam komunikasi politik beberapa waktu terakhir yang justru berpotensi memantik ancaman bagi pertahanan dan keamanan negara.
Di penghujung tulisannya, Mayjen Kunto turut menyinggung peran krusial yang belum sepenuhnya ditunaikan partai politik (parpol) yang secara formal dapat mengelola komunikasi politik yang ada.
“Lembaga inilah (parpol) yang akan menggodok semua kepentingan politik, sekaligus bertanggung jawab mendewasakan pemilihnya, kadernya, dan publik secara luas. Akan tetapi, andai Parpol tidak peduli terhadap itu, maka jelas tubuh parpol sendiri juga bermasalah dalam mewujudkan komunikasi politik yang beradab,” begitu tegas Mayjen Kunto.
Sang Pangdam, yang juga putra Panglima ABRI (1988-1993) dan Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno, menyebut esensi Pancasila dibutuhkan di tengah kondisi perpolitikan Indonesia yang tidak baik-baik saja saat ini.
Impresi keterkejutan atas publikasi Mayjen Kunto juga ditunjukkan juru bicara (Jubir) Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Adhie Massardi.
Menurutnya, ini adalah pertama kalinya sejak era Reformasi, ekspresi kerisauan terhadap situasi politik semacam itu datang dari jenderal TNI aktif.
Adhie kemudian mengaitkannya dengan kehidupan sosial politik dan bernegara saat ini yang memang amburadul.
Itu dikarenakan, pelanggaran konstitusi menurutnya tak pernah mendapat sanksi. Sementara itu, tiga cabang kekuasaan disebut Adhie berada dalam cengkeraman tangan (ketua umum) parpol.
Sedangkan, lanjut Adhie, parpol tunduk pada perintah para pemilik uang (oligarki) yang kini dianggap bisa “mengatur” untuk memuluskan kepentingan mereka dalam menguasai sumber daya kehidupan Indonesia.
Menariknya, terlepas dari korelasi langsung atau tidak, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono baru saja mengingatkan agar kejadian perang saudara (konflik militer dengan paramiliter) yang terjadi di Sudan tidak terjadi di tanah air.
Mantan KSAL itu juga memerintahkan agar para komandan satuan TNI harus bertanggungjawab atas amanah yang diberikan dengan risiko apapun.
“Pemimpin selain tampil dan bertanggung jawab dalam memimpin perlu di ikuti nalar dan nurani untuk kepentingan nasional,” begitu ujar Yudo.
Jika benar apa yang ditulis Mayjen Kunto mewakili keresahan para prajurit, apa maknanya bagi situasi politik Indonesia jelang Pemilu 2024? Lalu, seperti apa konteks skenario memposisikan TNI sedikit lebih maju yang disinggungnya?
Resonansi Dari Barak?
Karakteristik militer Indonesia yang pretorian erat dengan apa yang dijelaskan Amos Perlmutter dalam The Praetorian State and the Praetorian Army. Menurutnya, pretorian merupakan ciri militer yang melihat keterlibatan dalam politik sebagai implementasi dari sifat perjuangan.
Namun, sejak dikembalikan – atau sudut pandang lain, berkenan untuk kembali – ke barak saat Reformasi, TNI tak lagi memainkan peran aktif dalam kehidupan politik dan pemerintahan Indonesia.
Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa irisan dengan kepentingan politik agaknya tetap tak dapat dipisahkan hingga kini. Misalnya ketika berbicara mengenai penunjukan Panglima TNI.
Perdebatan mengenai hak prerogatif presiden dengan pergiliran antarmatra sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI masih terus terjadi saban pergantian pemegang komando di Cilangkap.
Hal ini turut direfleksikan Adhie atas keresahan Mayjen Kunto, yakni dengan menyebut ketidakpastian rotasi Panglima TNI dan hak prerogatif presiden – yang notabene merupakan hasil proses politik – berpotensi melahirkan kasak-kusuk petinggi TNI dan konflik internal di tubuh militer.
Itu hanya salah satu contoh. Belum termasuk menempatkan militer aktif di lembaga maupun kementerian, yang terlihat semakin marak di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menariknya, kultur rotasi antarmatra Panglima TNI pun patah di era sang mantan Wali Kota Solo tersebut.
Jika diinterpretasi, hal itu tidak dapat dikatakan terlalu dangkal untuk melihat relasi TNI dan politik kontemporer. Bahkan, hubungan itu dapat menjadi pintu masuk terhadap analisis lebih komprehensif atas berbagai persoalan terkait.
Pengamat militer dan pertahanan yang juga anggota Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik Khairul Fahmi turut menyoroti hal tersebut.
Meskipun berkarakteristik militer pretorian, berbaurnya militer dalam peran-peran non-militer atau bahkan “terseret” dalam ranah politis disebutnya lebih disebabkan ketidakstabilan sistem dan kegagalan pemimpin menjamin ditaatinya norma dan proses politik.
Oleh karena itu, bukan tidak mungkin fenomena seperti tergoda “circle kekuasaan”, kasak-kusuk, hingga persaingan elite di internal TNI yang bertendensi politis turut dirasakan dan menjadi keresahan para prajurit yang selama ini benar-benar tetap di barak, dalam artian ingin menjadi militer profesional.
Apalagi, ketika pengabaian norma politik terkait hal tersebut oleh para aktor di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung memantik berbagai narasi-narasi provokatif. Persis sebagaimana menjadi kegelisahan Mayjen Kunto.
Kendati demikian, wanti-wanti Mayjen Kunto mengenai TNI yang akan lebih maju untuk mengambil posisi jika pengabaian kondusivitas politik tetap terjadi kiranya diharapkan hanya sebatas pengingat konstruktif.
Hal itu dikarenakan, perubahan posisi TNI saat ini dalam tatanan bernegara pasca Reformasi justru akan menimbulkan kemudaratan lebih. Mengapa demikian?
Wajib Tetap di Barak?
Ketika ungkapan keresahan seperti yang diungkapkan perwira tinggi aktif TNI seperti Mayjen Kunto telah muncul, para aktor dalam ekosistem politik Indonesia kiranya memang patut membenahi perilakunya.
Tentu, untuk mencegah inisiatif perubahan status quo posisi TNI yang lebih aktif dan tak menutup kemungkinan dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Peran aktif dengan kecenderungan agresif dari sebuah angkatan bersenjata dalam situasi politik dan pemerintahan sipil yang dianggap “kacau” sendiri sebenarnya dapat dipahami secara sederhana.
Dalam situasi dan kalkulasi tertentu, militer sebuah negara bisa kapan saja menggulingkan pemerintahan sipil itu dengan privilisenya menguasai senjata. Istilah tenarnya adalah kudeta.
Saat itu terjadi, fenomena minor seperti kongkalikong di antara oligarki dan para aktor politik yang seolah dapat mengendalikan militer, misalnya, kemungkinan besar tak akan berarti lagi.
Atau kalau pun relasi itu masih bermakna dan dapat memengaruhi sebagian pejabat militer strategis lain, probabilitas lain yang terjadi adalah konfrontasi domestik terbuka dengan faksi yang berhaluan idealis.
Hal itu tentu sangat tidak diharapkan untuk terjadi. Oleh karenanya, perbaikan secara komprehensif dalam menjunjung tinggi norma dan etika berpolitik, berbangsa, dan bernegara agaknya mutlak harus dilakukan sesegera mungkin bersama-sama, tanpa terkecuali.
Terlebih, dengan semakin dekatnya Pemilu 2024 di mana proses politiknya bersamaan dengan munculnya nama Panglima TNI baru, yang dapat dipastikan akan berada di bawah komando baru pula, yakni Presiden ke-8 RI.
Memulai semuanya dari kesadaran bersama untuk menyelenggarakan pemilu yang bebas, rahasia, jujur, dan adil kiranya dapat menjadi awal perbaikan dan upaya preventif perubahan posisi TNI dalam politik.
Setelahnya, menjalani peran politik, pemerintahan, dan ketatanegaraan sesuai porsi dan norma bisa dilakukan untuk mengelola terciptanya kondusivitas interaksi yang terjadi.
Mungkin sudah saatnya memaknai utopia dalam politik dan pemerintahan plus relasi langsung dan tak langsungnya dengan militer seperti yang disiratkan filsuf Thomas More.
Utopia sejak awal bukanlah sebuah masyarakat yang ideal dan sempurna, melainkan sebuah masyarakat di mana hasrat akan kesempurnaan diterima sebagai sesuatu yang sah, yang lumrah. (J61)