Lewat sudah beberapa hari lalu sejak Presiden Jokowi meluapkan kemarahan dan kekesalannya di hadapan publik terkait kebijakan instansi-instansi pemerintah yang lebih memilih untuk mengimpor ketimbang menggunakan produk dalam negeri. Walaupun novelis Jane Austen pernah bilang bahwa orang yang marah tidak selalu bijak, nyatanya kemarahan bisa jadi jalan politik untuk mendapatkan hasil tertentu. Bahkan kemarahan bisa jadi alat yang efektif bagi penguasa jika digunakan dengan sebaik-baiknya.
“When anger rises, think of the consequences”.
::Konfusius, Filsuf Tiongkok::
Kemarahan Jokowi memang beralasan. Pasalnya, di tengah kondisi ekonomi seperti sekarang ini, belanja dalam negeri tentu saja akan sangat membantu menggerakkan perekonomian. Apalagi, banyak item barang yang diimpor sebetulnya juga bisa diproduksi dalam negeri – menurut Pak Jokowi tentunya. Walaupun memang kita tahu bahwa banyak kali produk dalam negeri dari sisi harga maupun kualitas belum sebagus produk impor.
Salah satu yang disorot Jokowi adalah pengadaan seragam TNI-Polri yang disebutnya masih impor. Padahal, di dalam negeri, industri tekstil Indonesia bisa dibilang cukup mampu bersaing, bahkan tak sedikit yang punya kualitas lebih bagus dari produk impor. Dengan demikian, sudah sewajarnya memang seragam tersebut bisa dibeli dari produsen lokal.
Selain seragam, ada juga traktor yang menjadi alat mesin pertanian atau alsintan. Jokowi menyebutkan bahwa ia melihat banyak traktor yang tak high-tech yang dibeli untuk para petani, namun didatangkan dengan mekanisme impor alias dibeli dari luar negeri. Padahal, di dalam negeri sudah banyak produsen traktor lokal yang hasil produksinya tak kalah dibandingkan merk-merk luar negeri.
Buat yang sering bergelut dengan dunia pertanian, pasti familiar dengan brand traktor Quick misalnya, yang merupakan hasil produksi CV Karya Hidup Sentosa – perusahaan yang ada di Yogyakarta. Tak tanggung-tanggung, perusahaan ini sudah memproduksi traktor sejak tahun 1953 dan alat-alat yang diproduksi sudah masif digunakan di Indonesia.
Jokowi juga menyinggung soal impor CCTV, alat tulis seperti pensil dan bolpoin, alat kesehatan dan tempat tidur rumah sakit, serta item-item lainnya. Bisa dibilang wajar melihat Jokowi akhirnya marah-marah terkait hal itu. Ia sampai mengeluarkan ancaman akan me-reshuffle menteri yang instansinya masih suka impor dan memerintahkan untuk memecat direktur BUMN yang perusahaannya masih suka impor.
Tentu pertanyaannya adalah akankah kemarahan ini efektif? Apakah ini hanya drama yang ingin ditampilkan oleh Jokowi atau benar-benar show case otoritas politik Jokowi?
Political Anger
Kemarahan memang selalu punya nuansa politis dan sering jadi alat politik yang efektif. Profesor Nick Crossley dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa pada umumnya kemarahan bukanlah sesuatu yang lahir dari inner mental realm atau alam batiniah semata, melainkan merupakan bentuk reaksi atas situasi.
Pandangan ini bersesuaian dengan konsep yang pernah disebutkan oleh filsuf anti-Cartesian asal Prancis, Maurice Merleau-Ponty, tentang relasi antara emosi dengan aspek publik yang mempengaruhi sikap manusia. Seperti diketahui, Merleau-Ponty memang banyak berbicara soal bagaimana persepsi menentukan pengalaman manusia di dunia.
Dengan demikian, kemarahan memang dilihat sebagai reaksi terhadap kondisi, dan karenanya sering kali bisa dimanfaatkan sebagai cara untuk menunjukkan sikap.
Filsuf macam Aristoteles sendiri pernah menyinggung soal controlled anger atau kemarahan yang terkontrol. Ia menyebut: “Anybody can become angry – that is easy. But to be angry with the right person and to the right degree and at the right time and for the right purpose, and in the right way – that is not within everybody’s power and is not easy”.
Terjemahan kasarnya adalah bahwa untuk sekedar marah saja itu mudah. Tapi untuk marah pada orang yang tepat dengan kadar kemarahan yang pas serta pada saat dan untuk tujuan yang tepat, bukanlah hal yang mudah. Ini karena kemarahan punya dimensi sebab akibat dan punya tingkatan tertentu yang bisa mengarah pada bentuk emosi lain.
Jika menggunakan wheel of emotion atau bagan emosi yang dibuat oleh professor psikologi dari Amerika Serikat, Robert Plutchik, di seberang kemarahan ada ketakutan. Anger dan fear punya relasi sebab akibat yang kuat. Ini karena kemarahan bisa melahirkan ketakutan.
Menariknya lagi, jika menggunakan pendekatan politik realis-tradisional, ketakutan adalah faktor yang penting dalam kepemimpinan politik. Niccolò Machiavelli misalnya, pernah menyebutkan bahwa pemimpin yang baik adalah dia yang ditakuti oleh bawahan dan masyarakatnya. Lebih baik ditakuti daripada dicintai – demikian kata Machiavelli.
Pasalnya, ketakutan memang lebih menjamin keinginan atau strategi politik yang ingin dicapai oleh seorang pemimpin bisa terwujud. Dengan demikian, kemarahan Presiden Jokowi pada level tertentu memang menjadi semacam shock therapy yang bisa menimbulkan ketakutan dari bawahan-bawahannya. Tujuan akhirnya adalah keinginan Jokowi bisa lebih didengarkan dan apa yang diharapkan oleh sang presiden bisa terwujud.
Incar Siapa?
Pada titik ini memang kemarahan Jokowi ada di level yang terukur. Jokowi tak sampai membanting-banting meja atau melakukan hal lain yang sifatnya merusak. Pikiran dan kemarahannya disampaikan secara terkontrol. Dan karena disampaikan di hadapan publik serta diliput berbagai media massa, kemarahan Jokowi jadi punya resonansi berlebih.
Ini wajar terjadi karena show case kemarahan di hadapan publik umumnya punya sifat penggalangan dukungan atau penarik simpati. Jokowi paham betul bahwa dirinya adalah pemimpin yang dipilih oleh masyarakat lewat proses demokrasi. Dengan demikian, menunjukkan rasionalitas kepemimpinan – baik dalam kemarahan maupun dalam bentuk biasa – akan punya makna yang lebih besar.
Apalagi, kekuasaan Jokowi sifatnya tidak tunggal. Walaupun menjabat sebagai presiden yang nota bene adalah pemimpin tertinggi di republik ini, masalah politik kekuasaan selalu melibatkan lebih dari satu aktor. Ada partai politik, ada elite nasional, ada kelompok pebisnis, ada militer, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, Jokowi memang tengah berupaya untuk “menembak” pihak-pihak tertentu – katakanlah mereka-mereka yang mengambil kebijakan pengadaan barang seperti yang disebut Jokowi. Kemarahan yang terkontrol ini bisa saja nantinya akan membuahkan hasil.
Kritik terhadap pengadaan seragam militer misalnya, akan punya resonansi yang besar karena disampaikan di hadapan publik. Kemarahan soal traktor akan membuat Menteri Pertanian dan partainya – Partai Nasdem – berpikir dua kali jika ingin membuat kebijakan yang tak sesuai dengan keinginan presiden. Demikianpun dengan kementerian lainnya.
Pada akhirnya, harapan publik adalah kemarahan Jokowi bisa menjadi jalan masuk bagi kebijakan yang lebih baik. Bagaimanapun juga, kepemimpinan yang didengarkan oleh bawahan adalah kondisi ideal bagi negara. Mungkin, hal itulah yang ingin dicapai oleh Presiden Jokowi. Hmm, atau presiden memang sedang sulit didengarkan bawahan? Hmm, menarik. (S13)