Kemiskinan di ibukota juga memiliki kecenderungan untuk naik secara signifikan. Antara September 2015 sampai Maret 2016 misalnya, persentase kenaikan penduduk miskin di Jakarta mencapai 4 % dibandingkan periode sebelumnya. Tingkat keparahan kemiskinan pun juga meningkat dua kali lipat pada periode yang sama.
pinterpolitik.com
[dropcap size=big]D[/dropcap]ua hari lagi pesta demokrasi akan diselenggarakan di berbagai daerah di Indonesia dalam tajuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak. Mungkin dari keseluruhan daerah yang menyelenggarakan Pilkada, DKI Jakarta adalah daerah dengan antusiasme politik paling tinggi. Hal ini tak bisa dilepaskan dari posisi DKI Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia – selain juga karena proyeksi politik Jakarta yang dianggap sangat mewakili kondisi politik nasional secara keseluruhan.
Namun, di balik riuh kampanye dan cerita-cerita debat politik pasangan calon (paslon) pemimpin di DKI Jakarta, tersimpan kisah-kisah lain di daerah pinggiran kota – yang mungkin tidak terjamah pemberitaan. Potret kemiskinan di daerah-daerah kumuh berbanding terbalik dengan makin banyaknya gedung-gedung pencakar langit dan apartemen yang dibangun di ibukota.
Jumlah Kemiskinan di Daerah Menurun, di Ibukota Malah Naik: Badan Pusat… https://t.co/ccBTWUIXqO #industrycoid #beritaindustri #berita pic.twitter.com/JRsLQRO04h
— Industry.co.id (@industrycoid) January 3, 2017
Sebut saja Pak Tarjo (65), seorang lelaki tua yang tinggal di daerah dekat stasiun Kebayoran Lama. Sudah beberapa tahun terakhir, pria yang hidup sendirian ini kesulitan berjalan dan terpaksa menggunakan tongkat. Ia juga tak bisa lagi bekerja.
Tinggal di sebuah kamar pengap berukuran 2 kali 3 meter yang jauh dari layak dengan sampah di mana-mana, Pak Tarjo hanya bisa berharap bantuan dari tetangganya untuk makan sehari-hari. Ia adalah satu dari 385 ribu orang miskin yang masih ada di Jakarta – menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2016.
Riuh Pilkada sepertinya tak terlalu mengena bagi Pak Tarjo. Ia hanya ingat diberikan kaos dengan wajah salah satu paslon yang bertarung pada Pilkada Jakarta kali ini oleh tetangganya. Bagi Pak Tarjo, doa terbaiknya adalah agar siapa pun pemimpin yang terpilih nanti bisa memperhatikan warga seperti dirinya.
Ketika pembangunan terjadi di mana-mana, banyak masyarakat miskin yang akhirnya terpinggirkan. Sementara saat kampanye, kemiskinan adalah salah satu alat politik para calon gubernur yang bertarung. ‘Kami akan berusaha untuk memberantas kemiskinan, bla bla bla’, demikian kata-kata mereka saat kampanye.
Namun, saat berkuasa, seringkali kata-kata itu terlupakan. Kemiskinan hanya jadi alat politik: mendulang suara saat Pilkada.
Potret Buram Kemiskinan di Jakarta
Kisah tentang Pak Tarjo seolah-olah membuka mata bahwa di Jakarta sekalipun, masih ada orang yang hidup sebatang kara dan tidak terurus. Sebagai salah satu provinsi dengan pendapatan daerah paling besar di Indonesia – mencapai Rp 44 triliun pada tahun 2015 – hal ini tentunya sangat memprihatinkan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jakarta pun mencapai Rp 62 triliun pada tahun 2016 – jumlah yang tentunya bisa mencukupi untuk pemberantasan kemiskinan – tentunya jika dianggarakan dan digunakan secara bijak dan sesuai aturan.
Kemiskinan di ibukota juga memiliki kecenderungan untuk naik secara signifikan. Antara September 2015 sampai Maret 2016 misalnya, persentase kenaikan penduduk miskin di Jakarta mencapai 4 % dibandingkan periode sebelumnya. Tingkat keparahan kemiskinan pun juga meningkat dua kali lipat pada periode yang sama.
Hal ini membuktikan bahwa persoalan kemiskinan di ibukota adalah masalah yang serius, dan jika tidak ditanggulangi dengan benar, maka akan berdampak secara keseluruhan terhadap persoalan sosial ekonomi di Jakarta.
Pagi, siang, dan malam… Satu Semangat untuk Perubahan… ☝?
-AHY- pic.twitter.com/YbS6hmA8f7
— Agus Yudhoyono (@AgusYudhoyono) January 5, 2017
Tingkat kemiskinan yang tinggi akan melahirkan banyak masalah sosial baru, misalnya yang berhubungan dengan kriminalitas. Makin tinggi kemiskinan, maka masalah-masalah kriminal akan semakin banyak dalam masyarakat. Pada tahun 2015, menurut catatan kepolisian tercatat ada 44.304 kasus kriminal yang terjadi di Jakarta. Jumlah tersebut masih berada di kisaran yang sama di tahun berikutnya.
Terkait hal tersebut, John Locke (1632-1704) salah satu filsuf dari Inggris, dalam bukunya “Second Treatise of the Government” (1689) menyebutkan bahwa ada kaitan antara peningkatan angka kemiskinan terhadap angka kriminalitas, sesuai dengan hakikat manusia yang melakukan sesuatu atas kehendak bebasnya dalam suatu masyarakat yang memiliki kontrak sosial – merujuk pada kebebasan seseorang untuk melakukan sesuatu hal yang buruk, walaupun ia tahu apa akibatnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa persoalan kemiskinan yang tidak ditanggulangi akan menghasilkan akibat-akibat lanjutan pada kehidupan masyarakat Jakarta secara keseluruhan.
Miskin: Kategori Abu-Abu?
Apa ukuran kemiskinan seseorang? Ukuran dan definisi kemiskinan adalah hal yang abu-abu atau belum ada standar pasti. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari entitas manusia sebagai makhluk yang kapitalistik: selalu menginginkan ini dan itu serta tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya.
Seorang yang sudah berkecukupan hidupnya sekalipun, seringkali merasa miskin kalau belum punya mobil lebih dari dua, atau rumah lebih dari dua. Maka, tidak heran korupsi – yang adalah tindakan kriminal – menjadi fenomena yang lahir karena kondisi ‘miskin’ orang-orang yang merasa hidupnya belum berkecukupan ini.
Pada tahun 70-an hingga tahun 80-an, memiliki barang mewah seperti sepeda motor atau bahkan televisi di rumah sudah menggambarkan status sosial seseorang sebagai orang kaya. Namun, saat ini, sepeda motor dan televisi tidak bisa lagi dijadikan ukuran tingkat kemiskinan seseorang.
Tahun 90-an, memiliki handphone sudah menggambarkan status seseorang sebagai orang berpunya. Namun, saat ini, handphone tidak bisa dijadikan ukuran tingkat kemiskinan seseorang. Jika dulu orang yang berpakaian modis dan bergaya dianggap sebagai orang kaya. Namun, saat ini pakaian bagus yang harganya murah ada di mana-mana. Lalu, bagaiamana sebenarnya kondisi ‘miskin’ itu?
UNDP (United Nations Development Programme) menyebutkan bahwa standar kemiskinaan ekstrem adalah orang dengan pendapatan di bawah 1 dollar per hari (Rp 13 ribu-an). Dunia internasional umumnya menggunakan angka 2 dollar per hari sebagai pendapatan minimal untuk kategori orang miskin.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan ada 14 kriteria kemiskinan. Jika seseorang masuk dalam 9 kriteria atau lebih, maka orang tersebut sudah bisa dikategorikan sebagai penduduk miskin.
BPS menggunakan pendekatan ekonomi dalam mendefinisikan kemiskinan. Menurut BPS, orang miskin adalah orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan minimumnya, baik kebutuhan makanan maupun kebutuhan lainnya. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah jumlah rupiah yang dibutuhkan agar seseorang dapat mengonsumsi 2.100 kalori per hari selama sebulan. Standar 2.100 kalori adalah rata-rata kalori per hari yang dibutuhkan oleh manusia agar bisa hidup sehat. Sementara itu garis kemiskinan non-makanan ditentukan berdasarkan perhitungan mengenai kebutuhan dasar seperti perumahan, pakaian, kesehatan, dan transportasi.
Namun demikian, definisi BPS tersebut dianggap terlalu sempit. Kemiskinan merupakan persoalan yang sangat kompleks dan tidak semata-mata berhubungan dengan rendahnya pendapatan dan tingkat konsumsi masyarakat. Selain ekonomi, kemiskinan juga berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan, akses kesehatan, ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam dalam proses pengambilan keputusan publik, ketidakmampuan menyampaikan aspirasi, serta berbagai masalah yang berkaitan dengan pembangunan manusia.
Politik Kemiskinan di Ibukota
Ibukota sebuah negara tidak bisa lepas dari banyak persoalan. Urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota adalah hal yang tidak bisa dihindari sebagai akibat magnet ekonomi di ibukota. Sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi, masalah-masalah sosial dan ekonomi akan lahir sebagai akibat dari peningkatan jumlah penduduk tersebut. Tanpa kebijakan publik yang baik, persoalan ibukota akan menjadi seperti selokan keruh yang dipenuhi sampah: tersumbat dan tak akan pernah bisa dialiri air dengan lancar.
Banyak ibukota negara di dunia yang cukup berhasil dalam tata kelola persoalan-persoalan ibukota, termasuk dalam hal pengentasan kemiskinan. Kuala Lumpur misalnya adalah salah satu ibukota yang cukup berhasil dengan program-program pengentasan kemiskinan. Kebijakan publik yang baik dan pengentasan kemiskinan yang terus digalakkan membuat Kuala Lumpur dan kota-kota dalam lingkaran ibukota Malaysia bisa mengatasi masalah kemiskinan.
"..yang harus dilakukan adalah mengurangi kemiskinan, bukan mengurangi orang miskin," – Anies Baswedan #RabuB3rsama https://t.co/9u1uDN9NCa
— #AniesSandi4DKI1 (@abangsandi2017) January 11, 2017
Pada tahun 2008, angka kemiskinan di Kuala Lumpur dan kota-kota sekitarnya mencapai angka 2 %. Namun, jumlah tersebut hanya tinggal 0,3 % pada tahun 2014. Bandingkan dengan persentase penduduk miskin di Jakarta. Pada tahun 2009 angka penduduk miskin di Jakarta mencapi angka 3,80 %. Tahun 2015, jumlah tersebut masih berada pada kisaran yang sama. Jika kebijakan publiknya baik, harusnya Jakarta bisa mengikuti apa yang terjadi di Kuala Lumpur. Tetapi, mengapa hal ini tidak terjadi?
Ada banyak faktor yang bisa dijadikan alasan. Dari sisi kebijakan, mungkin saja kebijakan publik untuk pengentasan kemiskinan di Jakarta tidak berjalan dengan baik. Dari sisi urbanisasi, bisa jadi hal ini disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk yang masuk ke Jakarta – walaupun hal ini harus dibuktikan lagi, mengingat banyak orang yang bekerja di Jakarta, namun tinggal di wilayah-wilayah pinggiran Jakarta. Atau, jangan-jangan juga kemiskinan di Jakarta sengaja dikondisikan menjadi sarana bagi politisi-politisi untuk menebar janji demi menggalang suara saat Pilkada? Banyak politisi lebih dianggap merakyat kalau bisa berkunjung ke wilayah yang kumuh dan terpinggirkan. Maka, biarkan saja, agar tiap Pilkada bisa menang dukungan. Apakah demikian? Mungkin ini alasan paling gila dan paling tidak masuk akal. Tapi, melihat kondisi stagnasi pengentasan kemiskinan di Jakarta, tidak ada salahnya untuk tetap menduga-duga.
Pilkada dan Program Pengentasan Kemiskinan di Jakarta
Pada teorinya, kemiskinan lahir dalam masyarakat kapitalistik sebagai akibat adanya kesenjangan yang lahir dalam sistem ekonomi pasar. Kemajuan ekonomi membuat kaum kapitalis atau pemilik modal menjadi semakin kaya, sementara para pekerja dan masyarakat kecil cenderung semakin miskin. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk menjamin masyarakatnya dapat menikmati kesejahteraan yang adil dan merata.
Situasi tiap saya blusukan dari titik ke titik, ibu-ibu selalu terdepan. pic.twitter.com/YBQTgzhThE
— Ahok Basuki TPurnama (@basuki_btp) February 10, 2017
Persoalan kemiskinan di Jakarta adalah masalah yang tidak bisa dianggap remeh. Suatu saat, kemiskinan yang tidak ditanggulangi secara serius akan melahirkan persoalan yang lebih besar. Kita harus belajar dari kota-kota besar dengan pengentasan kemiskinan dan kependudukan yang tidak diatur dengan baik, misalnya Manila yang penduduk miskinnya mencapai seperempat dari total keseluruhan populasi kota pada tahun 2013.
Oleh karena itu, sebelum ikut memilih pemimpin pada hari Rabu, 15 Februari 2017 nanti, mari melihat program-program pengentasan kemiskinan yang diajukan oleh masing-masing pasangan calon yang akan bersaing nanti. Manakah program-program yang lebih baik dan mampu menjawabi persoalan kemiskinan di Jakarta? Ada yang mengusung program-program Bantuan Tunai, ada yang pake kartu-kartu sakti, ada pula yang programnya disebut Oke Oce. Mana yang lebih baik? Hanya masyarakat yang bisa menilai. Yang jelas, jangan sampai masyarakat memilih pemimpin yang hanya tahu berjanji dan berjanji saja, tanpa jelas kapan akan mewujudnyatakan janji tersebut.
Jika masyarakat Jakarta tidak cerdas memilih pemimpin, maka persoalan kemiskinan akan melahirkan masalah-masalah sosial lain yang akan dirasakan oleh masyarakat sendiri. Kisah Pak Tarjo dari daerah Cipulir mungkin bukan satu-satunya kisah miris masyarakat Jakarta yang terpinggirkan. Namun, tanpa kebijakan publik yang baik, akan ada banyak Pak Tarjo lain yang terlantar di ibukota. Apa itu yang kita inginkan? (S13)