Site icon PinterPolitik.com

Politik Jokowi di Balik MRT

Presiden Jokowi ketika mengunjungi proyek MRT. Foto: Istimewa

Sejak tahun 2016, Jokowi telah enam kali mengunjungi proyek MRT. Ternyata Jokowi punya agenda politik yang tersembunyi, apakah itu? 


PinterPolitik.com

[dropcap]J[/dropcap]akarta adalah salah satu kota terbesar di Asia yang tidak memiliki Mass Rapid Transit (MRT). Sebagai salah satu jenis transportasi umum, MRT diyakini mampu mengurangi problem kemacetan di Jakarta selama ini. Jakarta memang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Terpusatnya modal di Jakarta, telah membuat banyak orang di Indonesia untuk datang mengadu nasib di kota yang dulu dikenal dengan nama Batavia ini.

Terpusatnya modal dan segala hal di Jakarta sekaligus telah memicu istilah Jakarta-sentris. Jakarta-sentris adalah peninggalan Hindia Belanda, dan hingga kini elite-elite politik di Indonesia masih saja menjadikan Jakarta sebagai Ibukota negara yang penuh dengan problematika, terutama masalah kemacetan.

Pembangunan MRT adalah bagian dari solusi negara untuk mengurangi problematika tersebut. Tapi, tak banyak orang yang berpikir bahwa proyek ini sekaligus menjadi agenda politik Jokowi.

Lantas, pernahkah masyarakat bertanya-tanya, apa yang membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap gencar dalam pembangunan proyek Mass Rapid Train (MRT)? Padahal merosotnya nilai rupiah terhadap dolar tentu membebani alokasi anggaran untuk proyek yang menelan sekitar 1,5 miliar dolar AS tersebut. Misalnya saja, impor bor dari Jepang yang dipasok oleh perusahaan Japan Tunnel System Corporation (JTSC).

Selain bor, pemerintah juga mengimpor batu alam andesit yang digunakan untuk jalur pedestrian di stasiun MRT koridor Jalan Jenderal Sudirman hingga Jalan MH Thamrin. Ini belum ditambah dengan jumlah impor tenaga kerja untuk mengerjakan proyek tersebut.

Secara keseluruhan, besarnya porsi impor Indonesia dapat dilihat dari kondisi neraca perdagangan per Januari-Mei 2018 yang tercatat mengalami defisit sebesar 2,83 miliar dolar. Alih-alih menunjukan langkah antisipatif, pemerintah malah tampak tidak mempermasalahkan gejolak tersebut.

Data menunjukkan, impor yang begitu masif ternyata tak berbanding lurus dengan penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Tercatat, serapan tenaga kerja pada tahun 2015 sebesar 7,72 juta jiwa atau sekitar 6,39 persen. Tahun 2016 sebesar 7,71 persen atau turun 0,01 jiwa, sementara pada 2017 sektor ini hanya menyerap 7,16 juta jiwa. Artinya dalam periode 2015-2017 tenaga kerja di sektor konstruksi menyusut 0,56 juta orang.

Lantas, apa yang membuat pemerintah tak begitu peduli terkait fenomena ekonomi saat ini?

Ada tiga kemungkinan, pertama karena sudut pandang yang terbentuk bahwa gejolak ekonomi saat ini merupakan akibat dari instabilitas ekonomi global sehingga pemerintah tak perlu ribut-ribut atau dengan kata lain meyerahkan saja situasi ini pada mekanisme pasar.

Kedua, bisa saja ada kesengajaan bahwa dolar dibiarkan saja terus menguat. Kalau begini siapa yang diuntungkan? Tentu adalah para pemodal-pemodal besar yang memiliki simpanan dalam bentuk dolar (valas). Semakin besar nilai dolar, profitabilitas yang didapat otomatis akan semakin fantastis.

Kemungkinan ketiga adalah pemerintah enggan membicarakan situasi ekonomi, karena tentu akan berpengaruh pada kredibilitas politik Jokowi jelang Pilpres 2019 sehingga wacana tentang kemerosotan ekonomi setidaknya perlu diredam terlebih dahulu.

Proyek Politik

Nah, soal kredilibilitas politik Jokowi tentu ada hubungan dengan pengerjaan proyek MRT. Proyek ini dipegang oleh seorang yang bernama William Sabandar sejak 2016. William diangkat menjadi Direktur Utama PT MRT menggantikan Dono Boestani yang telah menjabat sejak 2013.

William Sabandar diangkat oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), namun menurut Ahok pengangkatan William adalah permintaan Komisaris PT MRT. Belum diketahui seberapa dekat hubungan Ahok dengan William Sabandar.

Namun yang jelas, pengangkatan William tak terlepas dari prestasinya ketika memimpin proyek rekonstruksi di Nias, Aceh pasca bencana Tsunami. Proyek MRT memang sudah lama direncanakan bahkan sebelum Jokowi menjadi orang nomor satu di Jakarta, namun dengan bantuan pendonor seperti Japan International Cooperation Agency (JICA), Jokowi berhasil memulai proyek tersebut pada Mei 2013 silam.

Dalam teori ekonomi Big Push yang dicetuskan oleh Paul Rosenstein-Rodan, memang diperlukan sebuah “dorongan kuat” untuk mencegah hambatan pembangunan ekonomi. Dorongan kuat ini bisa berupa investasi dan atau program-program yang tepat sasaran.

Ide pembangunan MRT memang telah gencar dilakukan oleh Fauzi Bowo sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta, namun jika ditelisik ke belakang ide transportasi massal ini pertama kali dicetuskan oleh mantan Presiden RI, BJ. Habibie sejak 1986. Kala itu Habibie menjabat sebagai Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Beberapa studi yang pernah dilakukan Habibe terkait ide proyek transportasi massal ini adalah: Jakarta Urban Transport Program (1986-1987), Integrated Transport System Improvement by Railway and Feeder Service (1988-1989), Transport Network Planning and Regulation (1989-1992), dan Jakarta Mass Transit System Study (1989-1992). Studi-studi ini kemudian dilanjutkan oleh Sutiyoso selama menjabat sebagai Gubernur hingga kemudian dieksekusi oleh Joko Widodo.

Dari sisi ini, MRT dapat dianggap sebagai big push yang diperlukan untuk meningkatkan proses pembangunan ekonomi. Akan tetapi, sulit untuk tidak melihat bahwa ada muatan politik di balik proyek ini.

Jokowi tampak betul-betul memanfaatkan proyek ini untuk mendulang suara politik pada Pilpres 2019, pasalnya sejauh ini Jokowi telah melakukan enam kali kunjungan sejak proyek ini dipimpin oleh William Sabandar. Menurut William, dalam setiap kunjungan Jokowi selalu melontarkan pertanyaan yang sama: apakah proyek ini akan selesai tepat waktu?

Berdasarkan jadwal, mega proyek ini akan rampung pada 31 Maret 2019 atau 27 hari sebelum pemilihan legislatif dan Presiden. Tentu, jika ditelaah lebih dalam, permintaan Jokowi untuk segera menyelesaikan proyek MRT tidak terlepas dari momen politik 2019 nanti.

Pada Maret 2018 silam, Jokowi juga pernah mengajak mitra politiknya, yakni ketua umum partai Nasdem untuk meninjau langsung perkembangan proyek ini. Hal ini mengisyaratkan bahwa Jokowi ingin melibatkan partai-partai pendukungnya sehingga kesan yang muncul adalah partai-partai politik pro pemerintah juga memiliki andil dalam proyek tersebut. Tentunya, ajakan Jokowi sekaligus akan meningkatkan elektabilitas Nasdem di mata publik sehingga menguntungkan Jokowi pada Pilpres 2019.

Sebelum itu, Ahok juga pernah menggunakan proyek MRT sebagai bahan kampanye politik dalam Pilkada DKI. Dalam akun Instagram, Ahok pernah menulis: Rute Lebak Bulus-Bundaran HI tidak sampai 30 menit. Antar kereta lima menit. Anda jadi punya waktu lebih berada di rumah bersama keluarga”.

Dimensi politik dalam proyek ini sekaligus mengkonfirmasi bahwa Jokowi tentu akan mati-matian mempercepat pengerjaan proyek tersebut meskipun ongkos yang dibayar makin mahal. Proyek ini juga disebut-sebut telah membuat pedang kaki lima yang berjualan di sekitar lokasi proyek terpaksa harus mencari lokasi baru.

Politik blusukan yang dilakukan oleh Jokowi selama ini memang berhasil mendapatkan hati masyarakat. Rakyat telah terbius dengan retorika khas Jawa yang lemah lembut, pahadal faktanya banyak juga kebijakan Jokowi yang tidak pro terhadap rakyat miskin.

Jika diperhatikan, pemerintah saat ini tidak lagi begitu intens untuk membicarakan masalah ekonomi. Tentu, ini karena problem ekonomi saat ini ditakutkan akan mempengaruhi elektabilitas Jokowi jelang Pilpres 2019.

Oleh karena itu, dari sisi politik, sangat wajar jika Jokowi mendorong agar MRT selesai tepat waktu. Mantan Wali Kota Solo ini akan semakin kuat statusnya sebagai “Bapak Infrastruktur” melalui proyek tersebut. Dengan begitu, jalannya menuju periode kedua menjadi lebih lapang. (A34)

Exit mobile version