Islam menjadi tiket politik di pemilu 2019. Hal tersebut nampak dari bagaimana permainan isu Islam kencang dihembuskan dari ke dua kubu. Hasil survei peta kekuatan parpol 2019 menunjukkan terjadi peningkatan suara di parpol Islam pasca pemilu. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam harus diperhitungkan dalam kontestasi politik hari-hari ini.
Pinterpolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]erdasarkan hasil rilisan beberapa lembaga survei kredibel di Indonesia, akan ada sekitar 9 partai politik (parpol) yang lolos parliamentary threshold. Artinya dari mereka lah nantinya akan disuplai para legislator yang mengisi Senayan.
Di antaranya yaitu PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, PKS, PAN, PPP, dan Demokrat. Sedang yang tersingkir yaitu, PBB, Hanura, PKPI, berserta partai peserta pemilu perdana yang tidak ada satupun dari mereka yang lolos seperti PSI, Perindo, Partai Garuda, Berkarya.
Yang menarik adalah bahwa terjadi kenaikan suara partai-partai Islam di pertarungan pemilu 2019 ini. Hal tersebut mengejutkan banyak pihak, sebab tidak pernah tercuat di mata pengamat. Justru banyak yang memprediksikan partai pengusung utama yang akan menggerus suara partai lain, semacam kanibalisme parpol, di mana kedua belah capres diusung oleh partai nasionalis, yaitu PDI-P dan Gerindra.
Nyatanya, baik PDIP dan Gerindra tidak mengalami kenaikan yang signifikan seperti yang diprediksikan oleh beberapa lembaga survei sebelumnya, yang menyebut PDIP akan bertengger di kisaran angka 25%, dan Gerindra di angka 15%. PDIP yang di tahun 2014 mendapatkan 19,46%, pemilu kali ini mendapat 19,82% saja, sedang Gerindra naik dari 11,81% dan mendapat 12,75%.
Berdasarkan hasil dari hitung cepat Cyrus Network bekerja sama dengan CSIS, PKB yang berada di kubu Jokowi berada di urutan keempat dengan perolehan suara 9,66%. Nasib mujur juga dialami oleh partai pengisi kubu oposisi yaitu PKS yang mengalami kenaikan dari 6,79% ke 8,89%.
Fakta ini tidak berdiri sendirian, pengusung beberapa partai nasionalis mengalami penurunan suara, di antaranya yaitu Demokrat, partai yang pernah berkuasa bersama SBY selama 10 tahun, Hanura yang semenjak 2014 lalu ada di kubu penguasa, dan Golkar yang menjadi runner-up di 2014 dengan perolehan suara 14,75% anjlok menjadi hanya 11,05%.
PAN dan PPP tetap bisa bertahan, PAN mengalami sedikit penurunan yang tidak signifikan, sedang PPP turun namun tetap bisa bertahan di atas 4%. Dari 3 partai lama yang terdepak, hanya PBB yang berideologi Islam, PKPI dan Hanura sama sama beraliran nasionalis.
Jika suara seluruh parpol Islam yang masuk di parlemen dijumlahkan, akan menghasilkan sekitar 30% suara nasional, atau 57 juta suara. Hal tersebut menandakan ada sepertiga dari penduduk Indonesia di Pemilu 2019 merasa aspirasi mereka terwakilkan melalui partai-partai berideologi Islam.
Artinya terjadi animo masyarakat terhadap partai-partai dengan ideologi Islam di pemilu 2019.
Ambisi Kuasa PKB dan PKS di Pilpres 2019
PKB dan PKS menjadi contoh nyata di Indonesia. PKS lahir dari ideologi Islam, berbeda dari PKB, PKS memiliki corak Islam modern. Mereka sering dikaitkan dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tokoh-tokoh seperti Hassan Al-Banna dan Yusuf Al-Qardhawi menjadi salah satu pedoman pemikiran di lingkungan kader PKS.
Seperti Ikhwanul Muslimin, PKS merasa bahwa ajaran agama Islam memiliki nilai universalitas, sehingga bisa diterima seluruh golongan yang majemuk. Dan perjuangan mencetakkan produk syariah ini menggunakan jalan demokrasi.
Islam yang diserukan PKS cenderung untuk bisa diterima di kota-kota besar dengan tingkat intelektualitas menengah ke atas. Alasan mengapa PKS memiliki banyak kader di kampus, mereka juga menggunakan kaderisasi berjenjang yang sangat rapi. Lembaga Dakwah Kampus (LDK) sudah lama sekali disinyalir sebagai underbow dari PKS.
Pada praksisnya PKS bisa lebih dekat dengan PAN sebagai partai yang juga berasaskan pada Islam modern, dengan back-up terbesarnya dari kader Muhammadiyah. Jika ideologi mereka mirip dengan PAN, visi mereka senada dengan FPI yang menginginkan hukum syariah ditegakkan.
Berbeda dari PKS, PKB memiliki basis, corak ideologi, dan tujuan yang nampaknya berseberangan. PKB berbasis pada massa NU, massa yang lebih banyak tinggal di perkampungan dengan tingkat pendidikan menengah ke bawah.
NU memiliki citra sebagai kelompok Islam yang cenderung kultural, Islam yang harus diapropriasikan dengan budaya setempat. Alasan ini yang menjadikan basis NU menjadi besar, dia mudah diterima oleh banyak kalangan.
Dengan berbasis pada NU, PKB banyak mencangkokkan pikiran di dalam ormas islam tersebut ke dalam tubuhnya, salah satunya dengan tidak mengusung hukum Islam sebagai basis bernegara.
PKB menggunakan Islam kultural sebagai produk yang ditawarkan ke masyarakat, Islam yang damai, demi meraup suara. Tak luput Ma’ruf Amin dikultuskan sebagai bagian dari patronase politik sebab dia sebagai tokoh Kiai sepuh NU.
Berbeda dari PKS yang melabuhkan pilihannya ke Prabowo, sebab corak dan visi mereka lebih condong untuk tidak mengalami siteru dengan barisan pendukung lain di dalam kubu tersebut. PKS menggunakan Islam modern yang rasional sebagai tawaran yang mereka berikan.
Yg pro BBM naik: PD 148 suara, Golkar 106, PAN 46, PPP 38, dan PKB 28 | yg tolak BBM naik: PDIP 94 suara, PKS 57, Gerindra 26, dan Hanura 17
— zulfanny (@zulfanny) June 17, 2013
Corak Islam di Kedua Kubu
Islam sebagai tiket politik di pemilu 2019 ini memang sudah terbaca sedari awal, bahwa gerakan konservatisme sedang mendapatkan panggungnya. Gejala ini tidak hanya dirasakan di Indonesia, negara-negara yang memiliki kerangka senada, dengan komposisi penduduk muslim besar dan menggunakan sistem demokrasi, layaknya Turki dan Mesir juga mengalami gejala yang mirip, naiknya ideologi Islam.
Di Indonesia sendiri, narasi Islam dapat terlihat dari gelanggang Pilpres 2019. Sedari awal, kedua kubu memang menggunakan narasi Islam sebagai label yang diperjualbelikan dalam kontestasi efek elektoral.
Dengan sangat kentara, kubu penantang mendapatkan sokongan yang begitu besar dari GNPF Ulama 212, gerakan yang banyak dimotori oleh kalangan Islam garis keras seperti Habib Rizieq dari organisasi FPI.
Pencapresan Prabowo bahkan mendapatkan rekomendasi resmi dari Ijtima Ulama yang berisikan habib dan tokoh ulama dari seluruh Indonesia, yang juga sebagian besar merupakan alumni gerakan 212. Di reuni 212, ketika Prabowo maju sebagai capres, hanya Prabowo yang diundang dan diberikan kesempatan menyampaikan orasi, bukan kubu petahana.
Pada kampanye akbar Prabowo di GBK, acara juga diawali dengan sholat subuh berjamaah. Di detik-detik terakhir, Prabowo mendapatkan banyak endorse dari beberapa ustaz kondang seperti Ustaz Abdul Somad, Ustaz Adi Hidayat, juga KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym).
Setali tiga uang, kubu petahana juga mempergunakan Islam sebagai narasi utamanya. Jokowi datang ke pesantren-pesantren NU di seluruh Indonesia. Suara NU memang selama ini lebih banyak ke kubu petahana, basis Jokowi adalah pada Islam kultural. Jokowi rajin bertemu dengan berbagai kiai, termasuk yang beberapa kali nampak adalah Kiai Maimun Zubair, tokoh besar ulama NU dari PPP.
Pemilihan Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya juga adalah strategi politik yang dimainkan demi mendongkrak suara. Ma’ruf Amin adalah mantan Rais ‘Aam Syuriah NU juga Ketua Umum MUI.
Gerak-gerik Jokowi juga di beberapa kesempatan mencoba menunjukkan kesalehannya. Mulai dari kunjungannya ke Afghanistan dan bertindak sebagai imam di sana, pengumbaran kemesraannya dengan Raja Arab Saudi ketika melakukan lawatan ke Indonesia lewat vlog Youtube nya, dan penjamakan informasi bahwa Jokowi semenjak dari 2007 sudah berpuasa sunnah Senin-Kamis dari testimoni Yusuf Mansur.
Bahkan Jokowi sempat bernyanyi deen assalam yang dipopulerkan Nissa Sabyan sebagai bagian dari coba-coba menggenapkan keislamannya yang tidak hanya di kalangan tua, namun juga generasi muda.
Di masa tenang, baik petahana yang terwakili dari Jokowi, dan oposisi yaitu Sandiaga Uno memilih pola yang sama untuk melaksanakan umroh di Makkah. Salah satu ritus tertinggi dalam Islam.
Suara parpol Islam naik, pertanda kenaikan ideologi Islam? Share on XInilah yang bagi Shadi Hamid tulis dalam bukunya Islamic Exceptionalism sebagai sebuah gerakan global naiknya Islam di negara demokratis dengan mayoritas umat Islam, dan dia menganggap bahwa Islam adalah tiket dalam mengawali politik di negara sejenis ini.
Ada angin yang menjadikan Islam sedang menjadi narasi besar di Indonesia. Arus ini harus ditunggangi demi tetap hidup dalam alam politik Indonesia. Naiknya identitas primordial semacam ini tidak lepas dari kegagalan globalisme dunia dan perdamaian negara-bangsa di tingkat global. Yang sektoral sedang naik, maka masuk dan bertanding di gelanggang politik Indonesia wajib menggunakan tiket Islam.
Hal tersebut dapat menjadi penjelasan mengapa suara partai-partai berhaluan Islam seperti PKB dan PKS bisa tetap aman meski digempur partai nasionalis yang memiliki figur capres. Kartu Islamisme tetap merupakan kartu yang penting untuk memenangkan pertarungan politik di negeri ini.
Pada titik tersebut, PKB dan PKS seperti menikmati peningkatan populisme Islam seperti yang digambarkan oleh Vedi Hadiz.
Pada akhirnya, patut ditunggu bagaimana politik Islam ini akan bermain dalam jangka panjang. Apakah kartu ini akan tetap dominan dan berpengaruh menjadi pertanyaan yang harus dijawab selama lima tahun ke depan. (N45)