Dengarkan artikel ini:
Para hakim melakukan “mogok” bertajuk cuti bersama. Mereka menuntut pemerintah menaikkan tunjangan dan gaji yang tidak berubah sejak tahun 2012. Bahkan berbagai sempalan kisah mencuat soal kesulitan-kesulitan hidup yang dihadapi oleh para hakim ini. Padahal mereka adalah pengawal supremasi hukum yang menjadi poin penting keberlangsungan Indonesia sebagai sebuah negara. Ini jadi kontras dengan konteks politik hukum yang “dimanfaatkan” Presiden Jokowi di sisa masa jabatan, terkait pencalonan anak-anaknya untuk jabatan politik.
Dalam beberapa hari terakhir, publik dikejutkan dengan aksi mogok bertajuk “cuti bersama” yang dilakukan serempak oleh para hakim di seluruh Indonesia. Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap stagnasi kesejahteraan mereka yang sejak tahun 2012 tak mengalami perubahan berarti.
Aksi ini jadi makin menarik perhatian pasca instansi lain, yakni Kementerian Keuangan – yang tupoksinya tentu berkaitan dengan urusan anggaran negara – baru saja menaikkan tunjangan para pegawainya hingga 300 persen. Sementara banyak dari antara para hakim di Indonesia yang kehidupannya masih memprihatinkan.
Di tengah sorotan publik terhadap kesejahteraan aparat penegak hukum ini, terselip kisah-kisah ironis yang menggelitik, seperti pernyataan hakim Rangga Lukita di DPR bahwa tunjangan hakim lebih kecil dibandingkan uang saku Rafathar, anak selebriti terkenal Raffi Ahmad. Walau tampak seperti candaan, pernyataan ini justru menggambarkan kondisi kritis yang dihadapi para hakim—penjaga keadilan yang kesejahteraannya terabaikan.
Ironisnya, kondisi ini bertolak belakang dengan arah politik hukum yang dijalankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di penghujung kekuasaannya. Beberapa langkah hukum yang melibatkan kekuasaan Jokowi belakangan menjadi sorotan, seperti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, dan surat dari Mahkamah Agung (MA) yang mengubah aturan usia minimal di Pilkada demi memuluskan pencalonan putranya yang lain, Kaesang Pangarep, sebagai calon gubernur pada Pilkada 2024.
Dua peristiwa ini seolah menunjukkan bagaimana hukum dipengaruhi oleh kepentingan politik sang presiden, sebuah praktik yang tak asing dalam teori relasi kekuasaan dan hukum. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada titik tertentu, alasan ekonomi, pengaruh kekuasaan dan iming-iming tertentu bisa saja mengubah integritas para hakim.
Pertanyaannya adalah bagaimana memaknai kontras peristiwa-peristiwa ini?
Politik Hukum dan Sejahtera Hakim
Sudah lebih dari satu dekade para hakim di Indonesia harus puas dengan tunjangan dan gaji yang stagnan. Tahun 2012 menjadi penanda terakhir adanya perubahan signifikan dalam skema remunerasi para hakim. Sejak saat itu, tidak ada revisi atau kenaikan yang sepadan dengan beban kerja yang semakin berat, apalagi dengan inflasi dan peningkatan biaya hidup. Aksi mogok yang dilakukan para hakim ini menandai puncak kekecewaan mereka terhadap janji-janji perbaikan kesejahteraan yang tak kunjung terpenuhi.
Profesi hakim, yang seharusnya menjadi pilar penegakan hukum dan keadilan, justru menjadi sorotan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan. Dalam situasi seperti ini, godaan untuk terjerumus dalam praktik-praktik korupsi menjadi lebih besar. Kasus suap dan korupsi yang melibatkan hakim memang masih kerap terjadi di Indonesia, dan salah satu faktor utamanya adalah rendahnya kesejahteraan para aparat penegak hukum tersebut. Seorang hakim yang merasa tidak dipenuhi hak-haknya akan lebih rentan terhadap suap dan godaan kekuasaan lainnya.
Jika hakim sebagai garda terdepan dalam menegakkan hukum berada dalam kondisi ekonomi yang tidak sejahtera, maka fondasi keadilan itu sendiri menjadi rapuh. Keputusan hukum yang diambil berpotensi tidak didasari oleh prinsip keadilan murni, melainkan oleh kebutuhan pribadi yang mendesak, katakanlah jika diiming-imingi oleh uang suap dan lain sebagainya.
Di sisi lain, politik hukum di masa akhir kekuasaan Jokowi menunjukkan dinamika yang berbeda. Langkah-langkah hukum yang melibatkan putra-putranya, Gibran dan Kaesang, mencerminkan bagaimana hukum bisa menjadi alat politik yang diatur sesuai kepentingan kekuasaan.
MK, sebagai lembaga yang seharusnya menjadi penegak konstitusi, meloloskan putusan yang memungkinkan Gibran maju sebagai calon wakil presiden meski usianya di bawah syarat minimal 40 tahun. Begitu pula MA yang mengubah aturan usia minimal bagi calon kepala daerah untuk memfasilitasi pencalonan Kaesang.
Situasi ini memunculkan pertanyaan: apakah hukum masih bisa diandalkan sebagai instrumen yang netral, atau justru menjadi alat kekuasaan yang fleksibel, sesuai dengan kepentingan politik penguasa?
Roscoe Pound dan Hukum sebagai Alat Social Engineering
Pemikiran Roscoe Pound tentang hukum sebagai alat social engineering (rekayasa sosial) dapat membantu kita memahami fenomena ini. Menurut Pound, hukum tidak hanya berfungsi sebagai sarana penegakan aturan yang ada, tetapi juga sebagai alat untuk mengarahkan perubahan sosial. Dalam hal ini, hukum digunakan oleh pemerintah atau otoritas untuk membentuk dan mengatur perilaku masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan tertentu, baik itu tujuan politik, ekonomi, maupun sosial.
Konsep social engineering yang dikemukakan Pound bertumpu pada pemahaman bahwa hukum adalah instrumen yang dapat direkayasa untuk mencapai stabilitas atau perubahan dalam masyarakat. Hukum tidak hanya bersifat statis dan normatif, tetapi juga bisa bersifat dinamis dan pragmatis, tergantung pada kepentingan siapa yang memegang kekuasaan.
Dalam konteks politik hukum Jokowi, jelas terlihat bagaimana hukum digunakan untuk mencapai tujuan politik tertentu, khususnya dalam rangka memperkuat dinasti politik keluarga Jokowi. Baik putusan MK yang meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden, maupun perubahan aturan di MA yang memungkinkan Kaesang maju sebagai calon gubernur, merupakan contoh konkret dari bagaimana hukum direkayasa untuk menyesuaikan kepentingan politik penguasa.
Hukum dalam konteks ini tidak lagi menjadi alat untuk menegakkan keadilan yang objektif, melainkan sebagai sarana untuk mempengaruhi dinamika politik sesuai dengan arah yang diinginkan oleh elite kekuasaan.
Kondisi yang dihadapi para hakim di Indonesia menjadi semakin ironis ketika kita membandingkannya dengan politik hukum Jokowi. Para hakim, yang semestinya menjadi penjaga supremasi hukum, justru terpuruk dalam kondisi ekonomi yang stagnan, sementara para politisi yang memiliki akses ke kekuasaan mampu memanfaatkan hukum untuk kepentingan pribadi dan keluarga mereka.
Aksi mogok para hakim yang menuntut kesejahteraan sejatinya adalah refleksi dari kekecewaan terhadap sistem yang tidak adil. Kesenjangan antara kesejahteraan hakim dan politik hukum yang dimainkan oleh kekuasaan ini membawa dampak serius bagi masa depan penegakan hukum di Indonesia. Jika kesejahteraan hakim terus diabaikan, akan semakin banyak hakim yang tergoda untuk terlibat dalam kasus suap dan korupsi. Pada akhirnya, keadilan yang diperjuangkan dalam sistem hukum Indonesia akan semakin jauh dari harapan.
Sebaliknya, penggunaan hukum sebagai alat politik akan semakin merusak kepercayaan publik terhadap institusi hukum. Masyarakat akan semakin skeptis terhadap putusan-putusan hukum yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tinggi negara, terutama jika putusan-putusan tersebut tampak jelas menguntungkan penguasa dan keluarganya.
Untuk menghindari situasi yang lebih buruk, pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah konkret untuk meningkatkan kesejahteraan para hakim. Kenaikan gaji dan tunjangan yang layak menjadi keharusan, mengingat peran strategis para hakim dalam menjaga keadilan dan penegakan hukum. Tanpa kesejahteraan yang memadai, integritas dan kredibilitas para hakim akan terus terancam.
Di sisi lain, penegakan hukum di Indonesia harus kembali kepada prinsip-prinsip dasar keadilan, tanpa intervensi politik yang berlebihan. Hukum harus menjadi alat untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, bukan sekadar instrumen untuk mempertahankan kekuasaan segelintir elite.
Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)